Senin, 16 Agustus 2010
RI Belum Merdeka dari Jeratan Utang
INILAH.COM, Jakarta – RI merdeka 65 tahun tak berarti bebas dari jajahan utang. Celakanya, pemerintah justru bergeming dengan pencintraan. Katanya, rasio utang turun terhadap PDB.
Dani Setiawan, Ketua Koalisi Anti Utang (KAU) menilai, pemerintah selalu mengedepankan citra dalam mengurus utang daripada kerja kongkrit mengatasinya. Pemerintah selalu menebar siasat pencitraan, dengan mengatakan, kondisi utang aman.
Sebab, menurut Dani, dengan menggunakan produk domestik bruto (PDB) Indonesia yang sebesar Rp6.253,79 triliun, rasio utang RI turun jadi 26%. “Padahal, yang dibandingkan adalah rasio utang terhadap PDB sedangkan utang terus bertambah,” katanya kepada INILAH.COM, di Jakarta, Jumat (13/8).
Dani memaparkan, jumlah utang RI semakin membesar. Pada semester pertama 2010, utang RI bertambah Rp34,97 triliun dari posisi 2009, dari Rp1.590 triliun jadi Rp1.625 triliun. “Siasat pencitraan itu, sama sekali tidak mencerminkan membengkaknya utang yang berdampak pada beban anggaran,” tukasnya.
Akibatnya, lanjut Dani, beban fiskal pemerintah semakin memburuk. Sebab, selama 5 tahun terakhir dari 2005 hingga 2009, akumulasi beban cicilan pokok dan bunga utang dalam APBN mencapai Rp879,22 triliun. “Angka itu gabungan utang luar negeri maupun dalam negeri,” ujarnya.
Untuk 2010 saja, imbuh Dani, pemerintah merencanakan pembayaran cicilan utang pokok dan bunga sebesar Rp237 triliun. Sedangkan anggaran belanja pemerintah pusat hanya Rp725 triliun. “Jadi, hampir setengah dari belanja pemerintah pusat, digunakan untuk membayar cicilan pokok dan bunga utang,” ucap Dani.
Keadaan ini dinilainya sebagai kerawanan dan ancaman besar dalam ekonomi Indonesia. “Sebab, anggaran untuk belanja publik, tidak mendapat prioritas utama dibandingkan prioritas pembayaran cicilan utang yang selalu jadi nomor satu,” timpalnya.
Alhasil, lanjut Dani, pemberantasan kemiskinan dan penyediaan lapangan kerja baru bukan lagi jadi tugas pemerintah jika dilihat dari postur anggaran semacam itu. Ke depan, tanggung jawab itu, mungkin akan diserahkan ke swasta atau investor asing. “Penjajahan baru melalui mekanisme utang!” tandas Dani.
Di sisi lain, karakter tambahan utang baru ke luar negeri biasanya dalam bentuk program atau biasa disebut development policy loan. Ini merupakan kerjasama pemerintah dengan Bank Dunia, ADB, Jepang dan lain-lain.
“Sejak 2004, development policy loan mengontrol dan mengarahkan kebijakan ekonomi RI, agar sesuai dengan keinginan dari pihak kreditor,” ungkapnya.
Kontrol itu berupa perintah untuk segera memotong subsidi energi seperti listrik dan Bahan Bakar Minyak (BBM). Selain itu juga berupa intervensi seperti, perintah untuk segera merevisi aturan-aturan mengenai Daftar Negatif Investasi agar lebih terbuka dan bebas bagi asing. “Semua itu tertulis dalam utang development policy loan itu,” urai Dani.
Dari sisi utang dalam negeri pun bertambah kacau. Sebab, dalam penerbitan obligasi negara pun, sudah bergeser fungsinya. Pada mulanya, obligasi digunakan untuk menutupi defisit anggaran. “Dengan semakin banyaknya kepemilikan asing di Surat Utang Negara (SUN) dan di tengah perlambatan ekonomi Eropa dan AS, RI jadi pasar potensial obligasi bagi para spekulan,” imbuhnya.
Setelah krisis ekonomi Eropa dan AS pecah, kepemilikan asing di SUN terus meningkat. Hingga Agustus 2010, kepemilikan asing di SUN mencapai Rp177 triliun dengan bunga 8% sangat jauh dari AS 0,58%. “SUN menjadi instrumen pasar keuangan bagi para spekulan dan bukan lagi untuk pembiayaan defisit APBN,” jelas Dani.
Latif Adam, Koordinator Tim Kajian Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengatakan, utang telah menggerogoti kemandirian ekonomi.
Sebab, pada saat utang lobi kesepakatan antara kreditor dengan debitor ada persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi. “Lobi ini tidak pernah transparan, ada agenda atau konsesi apa bagi kreditor di balik pemberian utang,” uajarnya.
Di sisi lain, Latif mengakui, rasio utang RI terhadap PDB mengalami penurunan. Tapi, ini jadi politik pencintraan bahwa pemerintah berhasil menekan rasio utang terhadap PDB. “Padahal, yang pas untuk mengukur rasio utang adalah besaran utang terhadap PNB (Produk Nasional Bruto),” timpalnya.
PDB mencerminkan, masyarakat Indonesia dan asing memiliki kewajiban membayar utang. Padahal asing tidak. Sedangkan PNB, lebih merepresentasikan rakyat yang harus membayar utang. “Saat ini, rasio utang terhadap PNB tidak pernah disebut-sebut,” pungkas Latif. [mdr]
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Utang deui, utang deui saha anu ngutangna ? Padahal kan rakyatmah tara ngutang ?. Kamanakeun wae atuh kakayaan alam urang teh ? Naha dijual.....?
BalasHapusLeres pisan K'Dede Pamarentah urang teh ngajual sabagian kekayan negara urang teh dijualan contona Tambang Emas, Minyak, Batu Bara jeung sajabana. Anu ngutangnamah para kapitalis / pengusaha di bebankeuna nya ka rakyat. Kitu saur abimah K'Dede.
BalasHapus