I made this widget at MyFlashFetish.com.

Khilafah

Gempita Konferensi Rajab 1432 H

Kamis, 27 Januari 2011

Pernyataan HTI Tentang Keprihatinan terhadap Kondisi Negara

KANTOR JURUBICARA
HIZBUT TAHRIR INDONESIA

Nomor: 191/PU/E/01/11
Jakarta, 20 Januari 2011 M

Pernyataan
HIZBUT TAHRIR INDONESIA

Tentang

Keprihatinan terhadap Kondisi Negara

Menilik berbagai persoalan aktual yang ada dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara dewasa ini, baik di lapangan ekonomi, politik, sosial, budaya, hukum maupun ideologi dan agama, tampak sekali bahwa pemerintah dan negara ini telah:

1. Gagal menyejahterakan rakyat.

Meski disebut oleh pemerintah bahwa angka kemiskinan terus turun, tapi secara kasat mata masih sangat banyak rakyat yang hidup dalam kemiskinan. Hal ini tampak misalnya ada lebih dari 70 juta rakyat miskin yang masih menerima raskin. Bahkan kini tengah terjadi krisis pangan, harga kebutuhan pokok meroket, daya beli rakyat menurun, ekonomi makin sulit. Sebanyak 4 juta anak Indonesia kurang gizi. Rakyat terpaksa berutang, mengurangi makan atau makan seadanya seperti nasi tiwul (yang telah mengakibatkan 6 orang meninggal) atau bunuh diri.

2. Gagal melindungi moralitas rakyat

Pornografi dan pornoaksi makin marak. Baik di dunia maya (internet) maupun di dunia nyata. Meski UU Pornografi telah diundangkan, tapi faktanya itu seperti macan ompong. Seks bebas seperti telah menjadi biasa. Lebih dari 51% pelajar di Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi), 54% di Surabaya, 47% di Bandung dan 52% di Medan mengaku telah melakukan hubungan seks sebelum nikah. Hal ini terjadi juga pada laki-laki dan perempuan dewasa. Sehingga banyak terjadi kehamilan di luar nikah dan berujung pada aborsi.

3. Gagal melindungi kekayaan rakyat

Kekayaan rakyat baik berupa minyak dan gas bumi, barang tambang maupun yang lainnya tidak banyak dinikmati oleh rakyat, tapi oleh segelintir orang, termasuk pihak asing melalui regulasi dan kebijakan yang tidak pro rakyat. Rencana pembatasan BBM bersubsidi misalnya, hanyalah akal-akalan pemerintah untuk memuluskan liberalisasi sektor migas dimana salah satu poin pentingnya adalah pencabutan subsidi. Bahwa rencana itu diperlukan untuk menekan subsidi tidaklah relevan karena faktanya yang lebih membebani APBN adalah pembayaran utang dan bunga utang serta keperluan lain. Misalnya, dana untuk 244 pilkada tahun 2010 sebesar Rp 55 Triliun, bandingkan dengan kebijakan pembatasan BBM subsidi yang hanya akan menghemat sekitar Rp 3,8 triliun.

4. Gagal memberantas korupsi dan mafia hukum

Korupsi makin menjadi-jadi. Dan ironinya banyak dilakukan oleh para pejabat yang berlangsung makin massif dan sistemik. Lihatlah, 148 kepala daerah sekarang ini jadi tersangka korupsi, diantaranya adalah 17 Gubernur. Kasus korupsi melahirkan korupsi baru melalui mafia hukum yang bisa mengatur kepolisian, kejaksaan, kehakiman dan pengacara. Itulah yang membuat banyak kasus korupsi yang tidak terungkap. Kasus skandal Bank Century atau mafia Perpajakan adalah salah satunya.

5. Gagal melindungi aqidah umat

Korban Pemurtadan dan Aliran Sesat terjadi dimana-mana. Hingga sekarang terdapat lebih dari 250 aliran sesat. Sementara, Ahmadiyah masih bebas bergerak padahal sudah dinyatakan sesat, serta Depag dan MUI sudah merekomendasikan untuk dibubarkan. Belum lagi berkembangnya berbagai tindak kemusyrikan serta paham Sepilis. Ini bukti bahwa negara gagal melindungi aqidah rakyat negeri ini yang mayoritas muslim.

6. Gagal membawa rakyat kepada jalan yang diridhai Allah

Dan yang paling utama adalah dengan tetap setia pada sekularisme dan kapitalisme negara juga telah gagal membawa rakyat ini kepada jalan yang diridhai oleh Allah SWT. Memang diakui bahwa kemerdekaan ini adalah atas berkat dan rahmat Allah SWT, tapi pada faktanya pengakuan itu tidak diikuti dengan ketundukan pada segenap aturan-aturan-Nya. Tetap saja, syariahnya disisihkan dan hukum jahiliah dipertahankan.

Berkenaan dengan hal di atas, Hizbut Tahrir Indonesia menyatakan:

1. Bahwa nyata, negara ini telah gagal menjalankan tugas pokok dan fungsi yang fundamental. Kegagalan ini disebabkan oleh dua faktor utama, yakni pemimpinnya yang tidak amanah serta buruknya sistem yang dipakai untuk mengatur negeri ini yakni sistem sekuler - kapitalisme. Oleh karena itu, bila benar-benar diinginkan perbaikan, maka tidak bisa tidak sistem yang telah gagal itu harus dibuang. Sebagai gantinya adalah sistem yang bersumber dari Dzat Yang Maha Benar, yang Maha Tahu sehingga tidak mungkin gagal, yakni syariah Islam. Juga harus dihadirkan pemimpin yang baik, yang mau tunduk pada syariah dan memimpin dengan penuh amanah.

2. Bahwa di sinilah pentingnya seruan “Selamatkan Indonesia Dengan Syariah.” Karena hanya dengan penerapan syariah secara kaffah di bawah naungan Khilafah sajalah, seluruh aspek kehidupan rakyat dan negara ini dapat diatur dengan sebaik-baiknya sedemikian sehingga seluruh kebaikan yang dicita-citakan dapat terujud. Oleh karena diserukan kepada seluruh komponen umat, untuk bersungguh-sungguh dengan penuh keikhlasan dan kesabaran memperjuangkan tegaknya syariah dan Khilafah di negeri ini.

Jurubicara Hizbut Tahrir Indonesia

Muhammad Ismail Yusanto

Hp: 0811119796 Email: Ismailyusanto@gmail.com

7 Bukti Kegagalan Ekonomi Kapitalisme Rezim SBY




Pemerintah SBY telah dituding berbohong oleh sejumlah tokoh agama. Mereka menilai sejumlah pernyataan Pemerintah SBY bertolak belakang dengan realitas yang dirasakan masyarakat. Pemerintah pun berang dengan tuduhan tersebut. Berbagai bantahan dilakukan termasuk mengundang sejumlah tokoh agama untuk meluruskan tuduhan tersebut.

Apakah pemerintah berbohong atau tidak bukan persoalan mendasar yang seharusnya dikritik oleh para tokoh agama dan para aktivis. Fakta bahwa di bawah sistem kapitalisme rezim SBY dan rezim-rezim sebelumnya tidak mampu membawa rakyat Indonesia menjadi sejahtera semestinya menjadi sorotan utama mereka.

Teramat banyak kegagalan sistem kapitalisme baik dalam bidang pemerintahan, politik luar negeri, hukum, ekonomi, dan pendidikan. Setidaknya ada tujuh hal yang menunjukkan kegagalan tersebut terutama dalam bidang ekonomi.

Pertama, Pemerintah mengklaim bahwa PDB terus tumbuh positif dan diperkirakan hingga 6 persen di tahun 2010. Padahal, inidikator makro tersebut pada faktanya merupakan pertumbuhan nilai tambah sejumlah sektor ekonomi yang bersifat agregat. PDB tidak pernah memperhitungkan siapa yang memproduksi barang tersebut apakah asing atau penduduk domestik, atau apakah pertumbuhan tersebut digerakkan oleh segelintir orang saja atau oleh mayoritas masyarakat. Besarnya jumlah PDB sama sekali tidak dapat menggambarkan kesejahteraan rakyat secara akurat. Buktinya meski PDB terbesar Indonesia terbesar ke-18 di dunia sebagiaman yang terus dibangga-banggakan oleh pemerintah, namun indikator kesejahteraan Human Development Index (HDI) UNDP masih menempatkan Indonesia pada urutan ke 108 dari 169 negara.

Kedua, Pemerintah mengklaim penduduk miskin di Indonesia terus berkurang dari tahun ke tahun. Pada tahun 2010 jumlahnya mencapai 13,3% atau 31 juta orang berada di bawah garis kemiskinan. Penduduk miskin menurut Pemerintah adalah penduduk yang pengeluaran perbulannya di bawah garis kemiskinan yang ditetapkan oleh BPS. Pada 2010 nilanya Rp 211,726 perkapita perbulan. Dengan kata lain, jika seseorang berpendapatan Rp 220,000 maka ia tidak lagi dikategorikan sebagai orang miskin. Padahal dalam kehidupan materialisme seperti saat ini dimana hampir seluruhnya diukur dengan materi, pendapatan tersebut tentu sangat kecil. Wajar jika dalam realitas banyak orang yang mengalami kesulitan di bidang ekonomi namun tidak masuk dalam kategori miskin. Jika standarnya kemiskinan dinaikkan menjadi US$ 2/hari atau dibawah Rp 540,000 maka dengan menggunakan data Susenas 2010, sebanyak 63% penduduk Indonesia miskin. Pembanding lain, berdasarkan Survey Rumah Tangga Sasaran Penerima Bantuan Langung Tunai (BLT) oleh BPS tahun 2008 diperkirakan 70 juta orang yang masuk kategori miskin dan hampir miskin (near poor). Angkanya lebih tinggi lagi jika dilihat dari penduduk yang membeli beras miskin pada 2009 yang mencapai 52 persen atau 123 juta orang.

Ketiga, Pemerintah juga mengklaim bahwa pelayanan di bidang kesehatan juga telah mampu memberikan jaminan kesehatan pada masyarakat miskin. Padahal berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasoinal 2009, hanya 44 persen penduduk di Indonesia yang melakukan obat jalan baik ke RS Pemerintah, RS swasta maupun ke Puskesmas atau klinik. Sebagian besar dari mereka justru melakukan pengobatan sendiri. Meski tidak ada rincian mengenai alasan mereka, namun sebagian dari mereka tentu merupakan orang-orang yang tidak mampu menjangkau layanan kesehatan yang bersifat komersil. Kalaupun orang-orang miskin mendapatkan pelayanan kesehatan gratis melalui Jamkesmas atau Kartu Miskin jumlahnya masih sangat kecil yakni sebesar 16,7 persen. Selain itu banyak dari penerima pelayanan kesehatan gratis tersebut tetap terbebani karena masih harus membayar berbagai biaya dari pelayanan kesehatan yang mereka dapatkan dan harus melakukan proes administrasi yang rumit dan berbelit-belit. Akibatnya, banyak penduduk yang menderita berbagai penyakit namun karena tidak mampu berobat dan tidak mampi mengurus pelayanan kesehatan gratis terpaksa terus menanggung penyakit mereka hingga tidak sedikit dari mereka yang meninggal dunia.

Keempat, Pemerintah juga kerap berbangga bahwa 20% dari APBN disalurkan untuk sektor pendidikan. Padahal dalam kenyataannya masih sangat melimpah anak usia sekolah yang tidak mampu mengecap bangku pendidikan yang masih teramat mahal bagi mereka. Betul bahwa sebagian besar penduduk usia SD telah mengecap pendidikan, namun di tingkat SMP dan SMU jumlahnya masih sangat rendah yang masing-masing sebesar 67 persen dan 45 persen (Susenas, 2009). Penyebab rendahnya partisipasi tersebut tidak lain karena keterbatasan biaya yang mereka miliki serta sarana pendidikan yang disediakan pemerintah yang belum memadai. Belum lagi isi kurikulum yang terbukti menyebabkan anak didik menjadi sangat sekuler sehingga jauh dari nilai-nilai Islam. Tidak heran jika berbagai tindak kejahatan seperti korupsi yang berkembang luas di tengah-tengah masyarakat justru banyak dilakukan oleh orang-orang terdidik.

Kelima, Pemerintah juga sering membanggakan penurunan jumlah angka pengangguran. Dari data statistik Tenaga Kerja BPS memang menunjukkan penurunan jumlah pengangguran secara persisten hingga menjadi 7,14% atau 8,3 juta angkatan kerja. Padahal jika dicermati definisi tenaga kerja yang digunakan oleh BPS jumlah tenaga kerja tersebut hanya memotret mereka yang berkerja minimal satu jam perhari dalam seminggu terakhir. Termasuk pula mereka yang membantu bekerja namun tidak dibayar. Dengan demikian, para pengatur lalu lintas ’swasta’, atau kuli yang bekerja minimal sejam perhari dalam satu minggu terakhir disebut sebagai tenaga kerja. Dengan kriteria demikian, maka sangat wajar jika angka penggangguran diklaim terus menurun namun tingkat kesejahteraan rakyat tidak membaik. Apalagi seiring dengan kegagalan pemerintah mengendalikan inflasi khususnya administered inflation (barang yang harganya diatur oleh pemerintah) seperti BBM dan TDL dan volatile inflation (inflasi barang yang bergejolak) seperti pangan, membuat pendapatan riil mereka yang bekerja terus menurun. Harga-harga membumbung tinggi sementara pendapatan nomil tidak berubah.

Keenam, Pemerintah juga mengklaim bahwa utang negara terus berkurang. Rasio utang terhadap PDB menurun hingga 26%. Terlepas dari perdebatan mengenai kepantasan menggunakan PDB sebagai alat ukuran besaran utang, namun yang pasti nominal utang Indonesia dari tahun ke tahun terus membengkak. Per Desember 2010 misalnya berdasarkan Data Departemen Keuangan, total utang pemerintah Indoneisa mencapai Rp 1675 triliun. Akibatnya APBN yang semestinya dialokasikan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat justru 20 persennya (Rp249 dari Rp1,230 triliun) terkuras untuk membayar pokok utang dan bunganya. Angka ini melampaui anggaran untuk pendidikan, kesehatan, dan berbagai bentuk subsidi seperti pangan, pupuk, listrik dan BBM.

Ketujuh Neraca Perdagangan Indonesia juga diklaim terus mengalami peningkatan oleh Pemerintah. Bahkan, nilai ekspor Oktober 2010 disebut-sebut paling tinggi dalam sejarah Indonesia yang menembus US$14 miliar. Memang ekspor Indonesia masih lebih besar daripada impornya. Namun demikian komoditas utama yang diekspor oleh Indonesia merupakan hasil sumber daya alam yang berbentuk bahan mentah atau setengah jadi. Mirip-mirip pada era kolonial, di mana Indonesia menjadi pengekspor utama rempah-rempah ke Eropa. Bedanya komoditas ekpsor kini lebih banyak bahan baku energi seperti migas, batu bara, bij besi, nikel dan minyak sawit. Ini menunjukkan bahwa Indonesia belum mampu menjadi negara industri yang dapat mengoptimalkan bahan baku tersebut untuk kegiatan industri yang menghasilkan nilai tambah yang lebih besar. Selain itu, komoditas sumber daya alam tersebut sebagian besar merupakan kekayaan milik umum yang dalam pandangan Islam seharusnya dikuasai oleh negara. Namun karena negara ini menganut sistem kapitalisme, kekayaan yang diperoleh dari penjualan tersebut justru lebih banyak dinikmati oleh para pengusaha swasta termasuk perusahaan asing-asing.

Walhasil rakyat Indonesia betul-betul menderita hidup dengan aturan kapitalisme sekuler. Semestinya kegagalan sistem kapitalisme dalam mensejahterahkan rakyat dengan penuh keberkahan tidak perlu terus berulang lagi jika rakyat Indonesia mau menjalankan tatanan kehidupan Islam yang sejalan dengan tuntunan aqidah mereka yakni sistem Khilafah Islam. Wallahu a’lam bishawab (Dr .Arim Nasim, Ketua Lajnah Mashlahiyah DPP Hizbut Tahrir Indonesia)

Selasa, 18 Januari 2011

VIDEO: Aksi Massa di Tunisia yang Diorganisir oleh Hizbut Tahrir

Dengan Kepergian Ben Ali, Apa Yang Terjadi Kemudian dengan Tunisia?



Hari ini, telah empat minggu situasi politik gaya lama di Tunisia memanas dan laporan terbaru mengatakan bahwa Presiden Zine al-Abidine Ben Ali kini telah meninggalkan negara itu menyusul demonstrasi besar di jalan-jalan menuntut pengunduran dirinya. Perdana Menteri Mohammed Ghannouchi tampil di TV dan mengumumkan bahwa ia akan menjalankan pemerintahan. Ada beberapa laporan bahwa lima orang telah tewas dalam beberapa jam terakhir.

Demonstrasi yang dimulai pada pertengahan Desember 2010 ini mempermasalahkan korupsi, inflasi dan pengangguran dan sejak itu seratus orang telah tewas oleh pasukan keamanan.

Pemerintahan Ben Ali, yang awalnya bereaksi dengan menentang demonstrasi semacam itu, terhentak oleh tingginya skala penentangan publik. Ben Ali, seorang diktator tulen, tidak mengizinkan adanya oposisi di dalam negeri.

Amerika Serikat dan Perancis, dua negara yang bersekutu secara prinsip berdiri mendukung Ben Ali melalui semua tindakan represi yang dilakukanya, pelarangan atas jilbab dan serangan terhadap segala perwujuan lain Islam, yang sejauh ini diam atas tindakannya. Memang, pernyatan dari Perancis bernada dukungan atas Ben Ali.

Media-media Barat, yang biasanya melaporkan pemberontakan-pemberontakan populer - seperti yang terjadi di Iran dan Burma - dengan gegap gempita, anehnya pada saat ini menjadi kurang bergairah. Mereka tampaknya tidak yakin apakah pemberontakan ini baik atau buruk seandainya pemerintahan represif yang merupakan sekutu Barat yang sekular itu jatuh!

Akibat-akibat sepeninggal Ben Ali sangat penting atas seluruh Dunia Arab. Sebagaimana yang ditulis oleh seorang komentator di Surat Kabar the Washington Post, yakni ancaman terbesar Amerika di Timur Tengah bukanlah peperangan, melainkan adalah revolusi. Kemarahan publik atas korupsi, pengangguran dan kediktatoran terjadi di Mesir, Aljazair, dan banyak negara di wilayah itu.

Harus diingat bahwa apa yang telah kita lihat sejauh ini adalah sebuah pengulangan tentang bagaimana Ben Ali mulai berkuasa 23 tahun yang lalu pada tahun 1987. Kemudian, presiden Habib Bourgiba, presiden yang juga tidak populer yang telah memerintah selama lebih dari 30 tahun dipaksa untuk meninggalkan jabatannya, dan digantikan oleh salah satu lingkaran orang dalam - Zine al-Abidine Ben Ali. Demikian pula hari ini, Perdana Menteri Ghannouchi, berasal dari lingkaran orang dalam Ben Ali, yang menggantikan Ben Ali.
Rakyat tidak dapat puas bahwa rekan dekat Ben Ali mengambil alih kekuasaan dan melanjutkan kebijakan ekonomi dan kebijakan-kebijakan lainnya dari Ben Ali sementara yang lainnya bermain-main dengan kekuasaan tanpa ada perubahan yang nyata.

Selain perubahan pada wajah, dunia Muslim membutuhkan perubahan dari demokrasi kediktatoran yang saat ini berjalan, dan sistem lainnya kepada sistem Khilafah Islam. Alternatif yang nyata atas status quo, di seluruh dunia Islam adalah sistem Khilafah Islam - yang akan memenuhi kebutuhan rakyat, bertanggung jawab, tidak bergantung pada Barat dan akan memulihkan stabilitas dan kemakmuran di wilayah tersebut.

وَاللَّهُ غَالِبٌ عَلَىٰ أَمْرِهِ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ

“Dan Allah berkuasa terhadap urusan-Nya, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahuinya”. [Yusuf, 12:21]