I made this widget at MyFlashFetish.com.

Khilafah

Gempita Konferensi Rajab 1432 H

Minggu, 29 April 2012

Politik Belah Bambu Ala Wapres Boediono




Ada pernyataan Wapres Boediono yang layak dikritisi belakangan ini. Dalam Muktamar ke-6 Dewan Mesjid Indonesia, Wapres Boediono melontarkan pernyataan kepada peserta agar masjid jangan sampai dikuasai kaum radikal.
Lengkapnya, pernyataan Boediono adalah sebagai berikut,Kita semua berkepentingan agar masjid dijaga jangan sampai jatuh ke tangan mereka yang menyebarkan gagasan yang tidak Islami, seperti radikalisme, fanatisme sektarian, permusuhan terhadap agama dan kepercayaan orang lain, dan anjuran-anjuran provokatif yang bisa berujung pada tindak kekerasan dan terorisme. Islam adalah agama yang sangat toleran.”(kompas.com, 28/4)
Selanjutnya sebagaimana dikutip situs kompas.com (28/4) dikatakannya, masjid juga ditantang untuk menyebarkan Islam sebagai agama yang damai dan penuh rahmat Ilahi. Dengan jumlah masjid dan musholla di seluruh Indonesia saat ini hampir mencapai satu juta, masjid diharapkan turut berperan dalam membangun karakter bangsa.
Apa yang disampaikan Boediono menggambarkan bahwa dalam kacamata pemerintah agenda war on terror (WOT) belumlah usai. Setelah penangkapan amir Jamaah Ansharut Tauhid (JAT) Ustadz Abu Bakar Ba’asyir, pemerintah dan aparat keamanan masih terus melakukan agenda WOT. Bukan saja memerangi apa yang dinamakan kelompok ‘teroris Islam’ secara fisik, pemerintah juga terus mengkampanyekan perang opini terhadap apa yang dinamakan kelompok radikal.
Pada bulan Maret, Ketua BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Teroris) Ansyad Mbai, juga menyatakan hal yang serupa. Dalam Seminar Internasional ‘Peran Ulama Pesantren dalam Mengatasi Terorisme Global’ di Apita Green Hotel Cirebon, Jawa Barat,  Mbai menyatakan bahwa meski umat masih mendengar tokoh NU, tapi tempat dakwah sudah diambilalih kelompok radikal (RMOL, 17/3). Ansyad juga menambahkan bukan hanya masjid, banyak pesantren dan kampus juga sudah disusupi ajaran Islam radikal.
Tentu kita patut bertanya apa itu ‘Islam radikal’ dan siapa yang dikategorikan sebagai kelompok ‘radikal Islam’. Karena frase itu memang tidak dikenal dalam ajaran Islam. Tahun 2004, Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta  menerbitkan buku berjudul “Gerakan Salafi Radikal di Indonesia” . Ada empat kelompok yang mendapat cap “salafi radikal” dalam buku ini, yaitu Front Pembela Islam (FPI), Laskar Jihad, Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), dan Hizbut Tahrir.
Akan tetapi bila ditelurusi lebih jauh, penetapan istilah radikal sama sekali jauh dari pembahasan ilmiah. Adalah kepentingan politik yang menjadi penentu sebuah kelompok dikategorikan radikal atau tidak. Sama politisnya dengan penggunaan istilah teroris yang selalu dilekatkan pada kelompok Islam tapi tidak pada kelompok lain meski sama-sama menggunakan senjata, mengganggu keamanan warga sipil dan meneyerang aparat. Kelompok pembebasan Papua (OPM) misalnya hingga sekarang tidak pernah dimasukkan oleh BNPT atau aparat keamanan sebagai kelompok teroris padahal jelas-jelas mereka melakukan teror terhadap warga sipil bahkan aparat keamanan.
Nampak jelas istilah Islam radikal digunakan hanya untuk kelompok yang menyuarakan penerapan syariat Islam, bukan pada kelompok lain. Pemerintah dan media massa misalnya tidak menyematkan kata radikal kepada kelompok GKI Yasmin yang ngotot menghendaki pembangunan gereja yang sudah ditolak warga, atau HKBP yang juga memaksakan kehendak pembangunan gereja di Ciketing Bekasi meski juga ditolak warga.
Cara berpikir seperti inilah yang juga digunakan oleh Wapres Boediono dan Ansyad Mbai untuk menggencarkan agenda war on teror. Baik Ansyad maupun Boediono tengah menggiring opini permusuhan terhadap kelompok Islam bukan saja kepada mereka yang melakukan aksi bersenjata, tapi juga yang mengusung pemikiran Islam kaffah. Yakni kelompok yang secara pemikiran menghendaki perubahan ke arah Islam secara kaffah, kritis terhadap pemerintah dan hegemoni Barat.
Di sisi lain pemerintah, termasuk BNPT mengakomodir kepentingan kelompok yang mau mengikuti kepentingan mereka dan tidak ‘rewel’ terhadap berbagai kebijakan negara yang salah arah dan membangkrutkan bangsa. Pemerintah terus merangkul kelompok yang dikenal dengan sebutan Islam moderat. Inilah politik belah bambu yang tengah diperagakan Boediono dan BNPT di tengah-tengah umat.
Bila umat tidak menyadari siasat belah bambu ini,  mereka akan tergiring ke dalam sikap saling curiga, bermusuhan, dan kontraproduktif. Umat akan curiga pada saudaranya yang melakukan amar ma’ruf nahi mungkar dan yang berjuang untuk menjadi muslim yang taat pada Allah. Pada akhirnya akan mengerdilkan ajaran Islam sebatas ritual ibadah yang dibarengi sikap pasrah terhadap berbagai kebijakan korup yang dilakukan penguasa. Karena ketika ada seorang muslim yang anti kemaksiatan seperti prostitusi, peredaran miras, korupsi, penjajahan, ia justru akan dimusuhi oleh kaum muslimin yang lain karena dituduh radikal.
Padahal , common enemy yang sebenarnya bukanlah ajaran Islam, tapi demokrasi dan liberalisme yang telah menyesengsarakan umat dan menghancurkan tatanan kehidupan Islam di negeri ini. Membuat umat menjadi miskin di tengah kekayaan alam yang berlimpah dan membuat masyarakat terbiasa dengan perilaku hedonisme seperti perzinaan, budaya minuman keras dan penyalahgunaan narkoba. Sayang, pemerintah nampaknya lebih senang dengan keadaan seperti ini lalu menjadikan kelompok yang tengah berjuang menegakkan kalimatullah sebagai ‘kambing hitam’ atas ketidakbecusan mereka.