I made this widget at MyFlashFetish.com.

Khilafah

Gempita Konferensi Rajab 1432 H

Rabu, 25 Mei 2011

Negara Islam: Fakta Normatif Dan Empiris




Oleh: Hafidz Abdurrahman

Ada sebagian intelektual yang menyatakan, bahwa Alquran dan Sunnah tidak pernah mewajibkan untuk mendirikan Negara Islam. Bahkan, ada yang menyatakan, bahwa Alquran dan Sunnah juga tidak pernah menyebut Negara Islam.

Pernyataan seperti ini bisa terjadi karena dua kemungkinan. Pertama, karena merasa tertuduh, terutama ketika Negara Islam telah menjadi monster yang menakutkan, sehingga takut. . Kedua, karena tidak tahu atau tidak menemukan, bahwa Negara Islam tersebut memang ada di dalam Alquran dan Sunnah.

Tentu, baik karena kemungkinan yang pertama maupun kedua, sama-sama tidak mewakili Islam. Bahkan, pandangan yang muncul dari keduanya sama-sama tidak mempunyai nilai apapun dalam ajaran Islam. Apalagi, masalah negara ini merupakan masalah ma’lum[un] min ad-din bi ad-dharurah (perkara agama yang sudah diyakini/diketahui kepentingannya). Karena itu, adanya negara ini hukumnya wajib. Kewajibannya pun telah disepakati oleh para ulama, baik Ahlussunnah, Syi’ah, Khawarij maupun Muktazilah (Lihat, al-Asy’ari, Maqalat al-Islamiyyin wa Ikhtilafi al-Mushallin, Juz II/149).

Imam an-Nawawi, dalam kitabnya, Raudhatu at-Thalibin wa ‘Umdatu al-Muftin menyatakan, bahwa mendirikan imamah hukumnya Fardhu Kifayah. Jika hanya ada satu orang (yang layak), maka dia wajib diangkat. Jika tidak ada yang mengajukannya, maka imamah itu wajib diusahakan (Lihat, an-Nawawi, Raudhatu at-Thalibin wa ‘Umdatu al-Muftin, Juz VIII/369). Imamah yang dimaksud oleh Imam an-Nawawi di sini tak lain adalah Khilafah, atau Negara Islam.

Karena itu, tidak ada perbedaan di kalangan ulama, bahwa Nabi Muhammad, selain sebagai Nabi dan Rasul, baginda SAW adalah kepala negara. Ini dibuktikan dengan firman Allah SWT yang menitahkan, bahwa tugas Nabi dan Rasul hanya tabligh (menyampaikan risalah): “Dan tidak lain kewajiban Rasul itu melainkan menyampaikan (amanat Allah) dengan terang.” (Q.s. an-Nur [24]: 54)

Tetapi, faktanya banyak nash Alquran memeritahkan kepada Baginda SAW untuk memotong tangan pencuri (QS al-Maidah [05]: 38), mencambuk pezina (QS an-Nur [24]: 3), memerintah berdasarkan hukum Allah (QS al-Maidah [05]: 49), memerangi kaum Kafir (QS at-Taubah [09]: 36), menumpas perusuh (QS al-Maidah [05]: 33). Sedangkan tugas-tugas di atas adalah tugas yang lazimnya dijalankan oleh kepala negara.

Dari dua kategori nash di atas, yaitu nash yang menyatakan Nabi Muhammad SAW sebagaimana Nabi dan Rasul yang lain hanya diberi tugas untuk tabligh, tetapi nash-nash lain memerintahkan Nabi Muhammad untuk melakukan tugas-tugas negara, maka bisa ditarik kesimpulan, bahwa Nabi Muhammad bukan hanya Nabi dan Rasul, tetapi juga kepala negara. Ini berbeda dengan Nabi Musa, Isa, Ibrahim, Nuh -‘alaihim as-salam, yang hanya diberi tugas untuk tabligh. Ini kemudian dipertegas oleh Nabi sendiri: “Dahulu Bani Israil diurus oleh para Nabi. Ketika seorang Nabi telah wafat, maka digantikan oleh Nabi yang lain. Bahwa, tidak akan ada seorang Nabi pun setelahku, dan akan ada para khalifah. Jumlah mereka pun banyak.” (HR Bukhari)

Sabda Nabi yang menyatakan, Wa innahu la nabiyya ba’di, wa sayakunu khulafa’ fa yaktsurun (Bahwa, tidak akan ada seorang Nabi pun setelahku, dan akan ada para khalifah. Jumlah mereka pun banyak) membuktikan, bahwa posisi Baginda SAW sebagai Nabi dan Rasul yang terakhir tidak tergantikan. Tetapi, posisi Baginda yang lain, yaitu kepala negara yang bisa digantikan. Dan pengganti Baginda SAW adalah Khalifah, yang memerintah secara berkesinambungan, sehingga jumlahnya banyak.

Semuanya ini membuktikan, bahwa ajaran tentang negara jelas dinyatakan dalam nash, khususnya Sunnah, dengan istilah Khilafah (HR Ahmad dari Nu’man bin Basyir), dan pemangkunya disebut Khalifah (HR Bukhari dari Abu Hurairah). Karena itu, istilah Khilafah dan Khalifah adalah istilah syariah, yang digunakan oleh nash syariah, sebagaimana Shalat, Zakat, Jihad dan Haji, untuk menyebut negara dengan konteks dan konotasi yang khas. Konteks dan konotasi Khilafah itu tak lain adalah negara kaum Muslim di seluruh dunia yang dibangun berdasarkan akidah Islam, untuk menerapkan hukum-hukum syariah dan mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia. Negara kesatuan, bukan federasi maupun persemakmuran; bukan monarki, baik absolut maupun parlementer; bukan pula republik, baik presidensiil maupun parlementer; bukan pula demokrasi, teokrasi, autokrasi maupun diktator. Itulah Khilafah Rasyidah ‘ala Minhaj an-Nubuwwah.

Tentang penggunaan istilah Negara Islam (ad-Daulah al-Islamiyyah), memang tidak pernah digunakan oleh Alquran dan Sunnah. Karena istilah Daulah adalah istilah baru, yang diambil dari khazanah di luar Islam. Awalnya istilah ini digunakan oleh para filosof Yunani Kuno, seperti Plato dan Aristoteles. Sementara umat Islam baru berinteraksi dengan filsafat Yunani, ketika mereka menaklukkan Mesir dan Syam pada zaman Umar bin al-Khatthab. Namun, istilah Daulah saat itu juga belum digunakan. Baru setelah buku-buku filsafat diterjemahkan ke dalam bahasa Arab pada zaman Khilafah Abbasiyah, mulailah istilah tersebut dikenal oleh kaum Muslim. Kata Daulah digunakan untuk menerjemahkan kata State, yang digunakan oleh Plato maupun Aristoteles dalam buku mereka.

Namun, karena istilah Daulah ini bisa misunderstanding, maka para ulama kaum Muslim ketika menggunakannya untuk menyebut Khilafah, mereka pun menggunakan kata Daulah dengan tambahan sifat Islamiyyah di belakangnya, sehingga mulailah kata ad-Daulah al-Islamiyyah digunakan untuk menyebut Khilafah. Ini bisa dilacak pada tulisan Ibn Qutaibah ad-Dainuri (w. 276 H), dalam kitabnya, al-Imamah wa as-Siyasah, yang ditulis pada pertengahan abad ke-3 Hijriyah. Boleh dikatakan, Ibn Qutaibahlah ulama yang pertama kali menggunakan istilah tersebut sebagai padanan dari istilah Khilafah.

Setelah itu, diikuti oleh Yaqut al-Hamawi (w. 626 H) dalam Mu’jam al-Buldan, Ibn Taimiyyah (w. 726 H) dalam Majmu’ al-Fatawa, Ibn Katsir (w. 774 H) dalam al-Bidayah wa an-Nihayah, dan Ibn Khaldun (w. 808 H) dalam Muqaddimah dan Tarikh Ibn Khaldun. Inilah fakta normatif eksistensi Negara Islam atau Khilafah dalam khazanah klasik. Selain fakta normatif, juga ada fakta empiris yang telah membuktikan eksistensinya, baik dalam bentuk perundang-undangan yang pernah diterapkan pada zamannya, maupun peninggalan fisik yang hingga kini masih berdiri kokoh di negeri-negeri kaum Muslim.

Maka, sangat memalukan jika ada intelektual atau ulama yang menyatakan, bahwa Alquran dan Sunnah tidak pernah mengajarkan tentang Negara Islam. Pernyataan yang sebenarnya tidak akan mengurangi sedikit pun kelengkapan dan keagungan ajaran Islam. Sebaliknya, justru meruntuhkan kredibilitas mereka sebagai intelektual atau ulama. Wajar, jika karena alasan yang sama, Hai’ah Kibar Ulama’ al-Azhar di masa lalu telah mencabut seluruh gelar dan ijazah yang telah diberikan kepada Ali bin Abd ar-Raziq. Wallahu a’lam.

Senin, 16 Mei 2011

Konferensi Rajab 1432 H, Di Seluruh Indonesia



Rangkaian Agenda Konferensi Rajab 1432 H, Di Seluruh Indonesia
Hidup Sejahtera di Bawah Naungan Khilafah


WAHAI ORANG-ORANG YANG BERIMAN, PENUHILAH PANGGILAN ALLAH DAN RASUL-NYA, KETIKA MEREKA MENYERUKAN KEPADA KALIAN APA YANG BISA MENGHIDUPKAN KALIAN. TERJEMAH QURAN SURAH AL-ANFAL [08] AYAT 24)



Tak ada Alasan untuk Mendiamkan Umat dalam keterpurukan ..
Sudah saatnya menyatukan hati, pemikiran, dan langkah untuk mengganti Sistem yg ada dan mewujudkan kehidupan yg lebih baik dan Diridhoi oleh Allah SWT. dalam Naungan Khilafah Islam.!

Satukan visi, tekad, dan langkah meraih kehidupan masa depan lebih baik bersama Hizbut Tahrir Indonesia dalam rangkaian kegiatan Konferensi Rajab 1432 H di berbagai kota di Indonesia.



Berikut jadwal konferensi Rajab yang dapat diikuti di kota Anda:

1. Kalimantan Selatan; Gedung Sultan Suriansyah (Indoor) = Kamis, 2 Juni 2011
2. Kendari, Sulawesi Utara; Monumen MTQ = Ahad, 12 Juni 2011
3. Samarinda, Kalimantan Timur; GOR Segiri = Ahad, 12 Juni 2011
4. Batam, Kepulauan Riau; Aula Poltek Batam = Ahad, 12 Juni 2011
5. Bandar Lampung, Lampung; GOR Sumpah Pemuda = Ahad, 12 Juni 2011
6. Kalimantan Tengah; Aula Bapelkes = Ahad, 12 Juni 2011
7. Palu; Aula SMK 1 = Ahad, 12 Juni 2011
8. Luwuk Banggal; Gedung Koni Luwuk = Ahad, 12 Juni 2011
9. Jaya Pura & Sorong; Hotel Maspaqco Jaya Pura = Ahad, 12 Juni 2011
10. Ketapang; Gedung Pancasila Ketapang = Ahad, 12 Juni 2011
11. Palembang, Sumatera Selatan; Asrama Haji Palembang = Sabtu, 18 Juni 2011
12. Purwokerto, Solo, Semarang, DIY; Jogja Expo Center (JEC) = Ahad, 19 Juni 2011
13. Riau; Grand Ball Room Pangeran Hotel Pekanbaru = Ahad, 19 Juni 2011
14. Tanjung Pinang; Aula Kantor Gubernur Kepulauan Riau = Ahad, 19 Juni 2011
15. Sumatera Barat; Balai Seminar UIN (Padang) = Ahad, 19 Juni 2011
16. Bangka Belitung; GOR Babel = Ahad, 19 Juni 2011
17. Bengkulu; Gd Teater Tertutup Taman Budaya Kota Bengkulu = Ahad, 19 Juni 2011
18. Lubuk Linggau; Eks Gd Bioskop Sindang Lubuk Linggau = Ahad, 19 Juni 2011
19. Jambi; STIKES Baiturrohim Jambi = Ahad, 19 Juni 2011
20. NAD; Aula Dayan Daod = Ahad, 19 Juni 2011
21. Ternate; Hotel Vellya = Ahad, 19 Juni 2011
22. NTB; Auditorium UNRAM (Mataram) = Ahad, 19 Juni 2011
23. Pasuruan, gresik, Jember, Madura, Malang, Blitar, Kediri, Madiun, Surabaya, Singaraja, Bali; Deltras Sidoarjo = Ahad, 26 Juni 2011
24. Pontianak; Gd Amphi Teater Fak Kedokteran UNTAN = 26 Juni 2011
25. Gorontalo & Manado; Gedung Serba Guna UNG = Ahad, 26 Juni 2011
26. Sumatera Utara; Selecta (Medan) = Ahad, 26 Juni 2011
27. Sulawesi Selatan; Celebes Covention Center (Makasar) = Ahad, 26 Juni 2011
28. Bandung, Tasikmalaya, Cirebon; Stadion Jalak Harupat (Bandung) = Rabu, 29 Juni 2011
29. Jabodetabek, Purwakarta, Banten; Stadion Lebak Bulus (Jakarta) = Rabu, 29 Juni 2011


NB:
Ikuti rangkaian kegiatan kami di berbagai kota besar di Indonesia: Forum Dialog Terbuka, Forum Ulama, Forum Pengusaha, Forum Intelektual, Forum Mahasiswa, Training, Seminar, Workshop, Kajian dan Diskusi, video dan radio streaming, dll

Untuk informasi lebih lanjut silahkan menghubungi / Koordinasi dengan Syabab / Syabah (aktivis) Hizbut Tahrir Indonesia setempat.

atau

Kantor Pusat HTI: Crown Palace : JL. Prof.Dr.Soepomo No.231 Jakarta Selatan 12790.
Telp (+62-21) 83787370
Fax (+62-21) 83787372
Email : Info@hizbut-tahrir.or.id
Website: www.hizbut-tahrir.or.id
Email: Info@hizbut-tahrir.or.id
Facebook: www.facebook.com/hidupsejahteradibawahnaungankhilafah
Twitter: @ismailyusanto

Rabu, 11 Mei 2011

Negara Islam: Lokal Atau Global?



Oleh: Hafidz Abdurrahman

Fenomena mencuatnya kembali isu NII (Negara Islam Indonesia) dengan segala kontroversinya, ikut mencuatkan kembali opini tentang bentuk Negara Islam. Menyimak namanya, NII atau Negara Islam Indonesia, maka opini yang terbangun darinya adalah sebuat negara Islam lokal. Selain berbagai penyesatan yang menyertainya, dipeliharanya isu NII ini juga bisa menjadi stigma tersendiri bagi umat Islam yang memperjuangkan tegaknya negara Rasulullah SAW itu. Tulisan ini sendiri bukan untuk mengurai semua isu yang berkembang seputar NII, tetapi hanya mengurai gagasan negara Islam yang sebenarnya justru bertentangan dengan ajaran Islam.

Ini wajar saja, karena Kartosuwiryo yang dinobatkan sebagai imam saat itu, bukanlah seorang pemikir dan mujtahid. Bahkan, sebagaimana yang tampak pada Qanun Asasi yang dideklarasikan oleh NII Kartosuwiryo, jelas dinyatakan bahwa negara Islam Indonesia berbentuk Republik (Jumhuriyyah) (Bab I, pasal 1, ayat 2). Selain itu, syariat Islam juga hanya diberlakukan kepada kaum Muslim (Bab I, pasal 1, ayat 3). Di dalam qanun yang sama juga dinyatakan, bahwa pemerintahan dijalankan oleh Imam dan Dewan Imamah (Bab I, pasal 3, ayat 2 dan Bab IV, pasal 10 juga pasal 11, ayat 2). Semakin lengkap kesalahannya, ketika qanun yang sama menegaskan, bahwa Imam adalah orang Indonesia asli (Bab IV, pasal 12, ayat 1). Ini mempertegas konsep nation state NII.

Dari hasil analisa terhadap Qanun Asasi NII Kartosuwiryo ini tampak bahwa negara Islam yang dideklarasikan itu tidak jelas bentuknya. Mengacu kepada bentuk negara, berdasarkan teori tata negara, bentuk negara ada tiga, yaitu kesatuan, federasi atau persemakmuran. Namun, tidak jelas, negara yang dimaksud berbentuk apa? Sedangkan Islam telah menetapkan, bahwa bentuk Negara Islam (Khilafah) adalah negara kesatuan, bukan federasi atau persemakmuran. Meskipun wilayahnya terdiri dari berbagai wilayah yang membentang hingga 2/3 belahan dunia. Karena Khilafah merupakan satu-satunya negara kaum Muslim, dengan seorang kepala negara, meski didiami oleh suku dan bangsa yang berbeda-beda.

Penegasan ini dinyatakan oleh Nabi, “Jika ada dua khalifah telah dibai’at, maka bunuhlah yang terakhir di antara keduanya.” (HR. Muslim dari Abu Sa’id al-Khudri). Sabda Nabi ini dijadikan dasar oleh para ulama untuk menetapkan bentuk negara, bahwa negara Khilafah bukanlah federasi atau persemakmuran, tetapi negara kesatuan. Dalam komentarnya, Imam an-Nawawi menegaskan, “Hadits ini berisi larangan pendiriannya (imamah/khilafah) untuk dua orang.” (Lihat, an-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, Juz XII/191). Hadits yang sama juga dijadikan dasar oleh al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dan al-‘Allamah Syaikh Abd al-Qadim Zallum, bahwa negara Khilafah adalah negara kesatuan (Lihat, an-Nabhani, Muqaddimatu ad-Dustur, hal. 89).

Konsep negara kesatuan ini meniscayakan hanya ada satu negara bagi kaum Muslim di seluruh dunia. Karena itu, Negara Khilafah ini didefinisikan oleh al-‘Allamah Syaikh an-Nabhani dan ‘Abd al-Qadim Zallum dengan, “Kepemimpinan umum bagi kaum Muslim di seluruh dunia untuk menegakkan hukum-hukum syariat Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia.” (Lihat, an-Nabhani dan Zallum, Nidzam al-Hukm fi al-Islam, hal. 35). Satu negara dengan satu kepala negara, yaitu Khalifah serta satu UUD dan perundang-undangan, yaitu hukum syariah yang berlaku di seluruh wilayahnya. Tidak ada peraturan daerah (perda), yang berbeda satu dengan yang lain, dan hanya berlaku untuk penduduk di daerah tertentu, bukan untuk yang lain, sebagaimana dalam sistem federasi.

Karena negara kesatuan ini terdiri dari berbagai suku dan bangsa, dengan wilayah yang terbentang di seluruh dunia, maka Negara Khilafah ini juga bukan nation state, sebagaimana yang dinyatakan oleh NII dalam Qanun Asasi-nya. Sebagai negara kesatuan, kepala negaranya adalah Muslim yang menjadi warga negara Khilafah, bisa berbangsa Indonesia, Malaysia, Turki, Pakistan, Palestina, Suriah, Mesir, Spanyol atau yang lain. Ketika Nabi ditanya, apakah kekuasaan sepeninggal baginda akan diserahkan kepada Bani Amir bin Sha’sha’ah, dengan tegas Nabi menyatakan, “Sesungguhnya urusan milik Allah. Allah akan berikan kepada siapa saja yang Dia kehendaki.” (Lihat, Ibn Hisyam, as-Sirah an-Nabawiyyah, Juz II/38). Sabda Nabi ini menjadi dasar, bahwa syarat kepala negara dari suku atau bangsa tertentu, jelas telah ditolak oleh Nabi SAW. Kecuali Quraisy, karena ada nas yang menyatakan demikian. Meski, ini juga tidak bersifat mutlak, tetapi hanya merupakan syarat afdhaliyyah (keutamaan).

Berdasarkan paparan di atas bisa disimpulkan, bahwa Negara Khilafah ini merupakan negara global, bukan negara lokal. Meskipun merupakan negara global, Khilafah juga tidak berbentuk persemakmuran, seperti Inggris atau Prancis; juga tidak berbentuk federasi, seperti Malaysia atau Amerika Serikat; juga tidak berbentuk liga bangsa-bangsa, seperti PBB, sebagaimana yang pernah dinyatakan oleh Muhammad al-Ghazali dan Ikhwan al-Muslimin. Tetapi, negara Khilafah merupakan bentuk negara dan sistem pemerintahan yang khas dan unik. Berbeda dengan bentuk dan sistem pemerintahan manapun di muka bumi ini.

Negara Khilafah juga tidak berbentuk kerajaan (monarchi), yang dipimpin oleh seorang raja, baik sebagai kepala negara maupun kepala pemerintahan, sebagaimana dalam sistem monarchi absolut, seperti Kerajaan Arab Saudi; atau hanya sebagai kepala negara, bukan kepala pemerintahan, sebagaimana dalam sistem monarchi parlementer, seperti Kerajaan Malaysia. Khilafah juga tidak berbentuk republik, yang dipimpin oleh presiden, baik dalam sistem presidensial, seperti RI pada zaman Soeharto, maupun dalam sistem parlementer, seperti RI pada zaman Soekarno, dengan PM Natsir, dan lain-lain.

Khilafah juga bukan sistem demokrasi, yang menganut konsep trias politika, dengan kedaulatan di tangan rakyat. Sebab, kedaulatan dalam sistem pemerintahan Islam berada di tangan syariah. Khilafah juga bukan sistem teokrasi, yang memosisikan kepala negaranya sebagai wakil tuhan, dan tidak bisa melakukan kesalahan. Karena kepala negara Khilafah adalah manusia biasa, dan bisa bersalah sebagaimana manusia yang lainnya.

Selain tidak mengenal trias politik (split of power), pembagian kekuasaan, yaitu legislatif, eksekutif dan yudikatif, Islam juga tidak mengenal model kepemimpinan kolegial (kolektif) sebagaimana dalam sistem demokrasi, atau konsep Dewan Imamah dalam konsep NII. Karena kepempimpinan dalam Islam bersifat tunggal (al-qiyadah fardiyyah) pada diri Khalifah. Khalifah dibantu oleh para Mu’awin (pembantu), baik di bidang pemerintahan, seperti Mu’awin Tafwidh, maupun di bidang administrasi, seperti Mu’awin Tanfidz.

Namun, posisi Mu’awin berbeda dengan menteri kabinet, atau dalam bahasa Malaysia, Jamaah Menteri. Karena dengan tegas Nabi menyatakan, “Jika ada tiga orang bepergian, maka hendaknya mereka mengangkat salah seorang di antara mereka menjadi pemimpin.” (HR. Ibn Huzaimah). Lafadz, “salah seorang di antara mereka (ahadahum)” mempunyai mafhum mukhalafah (konotasi terbalik), yaitu larangan mengangkat lebih dari seorang menjadi pemimpin. Hadits ini juga menjadi dasar, bahwa kepemimpinan dalam Islam bersifat tunggal, bukan kolektif atau kolegial.

Meski demikian, harus diberi catatan, bahwa tidak berarti dengan konsep kepemimpinan tunggal, Khilafah akan menjadi negara yang korup, sebagaimana dalam teori politik Kapitalis yang oportunis. Karena, di sana ada fungsi check and balance yang selalu dijalankan oleh Majelis Umat, partai politik dan umat. Bahkan, ada fungsi pemakzulan yang bisa dilakukan oleh Mahkamah Mazalim. Dengan begitu, potensi terjadinya kekuasaan yang korup itu telah tertutup rapat dalam sistem Khilafah. Ini telah dibuktikan dalam sejarah keemasan Islam. Bukan sekedar teori, mimpi apalagi fantasi.