I made this widget at MyFlashFetish.com.

Khilafah

Gempita Konferensi Rajab 1432 H

Jumat, 30 September 2011

Bomber Solo: Siapa Mereka? (Membaca Anatomi Kelompok Bomber dan Follower)

Oleh: Harits Abu Ulya (Pemerhati Kontra-Terorisme & Direktur CIIA (The Community Of Ideological Islamic Analyst)

Akhirnya Mabes Polri (Selasa, 27/9) memastikan siapa pelaku Bom GBIS Kepunton Solo. Ia adalah Ahmad Yosepa alias Hayat, ia termasuk satu dari lima orang DPO peristiwa pengeboman masjid Azd Dzikra Mapolresta Cirebon pada 15 April 2011. Diluar itu, spekulasi bermunculan tentang siapa sebenarnya para pelaku ini? Demikian termasuk spekulasi lainya yang muncul. Jika kita inventarisir spekulasi-spekulasi terkait bom Solo kali ini, ada beberapa poin: Pertama, siapakah Hayat sebenarnya? Dan dari jaringan atau kelompok manakah ia? Apa masih terkait dengan jaringan JI atau lainya? Kedua, apakah aksi Hayat itu murni inisiatifnya dan stiril dari rekayasa intelijen? Ketiga; adakah kaitanya dengan peristiwa Ambon paska Idul Fitri kemarin? Keempat; apa hubunganya dengan rencana DPR melegislasi RUU Intelijen dan proyek massif deradikalisasi BNPT? Menurut saya (penulis) point-point di atas bisa dipisah dalam dua wilayah. Pertama, adalah siapa hakikat pelaku dan bagaimana langkah-langkah aksinya dan kedua adalah implikasi-implikasi politiknya. Implikasi ini bisa saja adalah plan yang sudah disiapkan satu rangkaian dengan peristiwa bom Solo, dengan asumsi jika bom bunuh diri itu adalah by design. Atau implikasi itu adalah plan yang dibuat sebagai respon cepat pada momentum yang tepat, inilah kerja para follower dalam isu terorisme di Indonesia. Para follower bekerja sedemikian rupa, untuk mencapai target yang maksimal dengan berbagai kompensasinya. Untuk mengeja jawaban empat point diatas dan relevansi antar point tersebut, saya perlu paparkan fakta dan realita dari elaborasi (riset) lapangan: Fakta kelompok dan hubungan antar mereka Pada paparan beberapa fakta, saya (penulis) melokalisir pada person-person yang terkait kasus Bom Cirebon dan Bom GBIS Solo karena disana kita temukan irisan dan korelasi antar tandzim (sel). Ada tiga jaringan (tandzim) yang bergerak dengan amaliyah “jihad fardiyahnya” yakni; Tim Hisbah Solo, Kelompok Cirebon dan Tim Ightiyalat Klaten, (ightiyalat: melakukan jihad, baik dalam bentuk pembunuhan dari individu atau pembunuhan rahasia sasaran individu) . Di akhir 2009 seseorang yang bernama Musolah tercatat ikut pengajian Tim Hisbah beberapa kali di Masjid al Anshor, Semangi, Solo, yang akhirnya ia pulang balik ke Cirebon. Saat itu Tim Hisbah yang basisnya di Solo di pimpin oleh Sigit Qordowi, cuma tidak terang bagaimana pertama kali pertemuan antar mereka terjadi. Cuma perlu dicatat bahwa perjumpaan itu bisa dengan berbagai kemungkinan. Apalagi saat sekarang banyak medium (missal; jejaring sosial) memudahkan komunikasi antar person. Di Bulan Desember 2009 sesorang yang bernama Atok membentuk Tim Ightilayat di Klaten, yang kemudian di bulan Mei 2010 Tim Ightiyalat mulai mencoba belajar merakit bom dengan Heri Sigu Samboja, seseorang yang lahir dari keluarga yang diduga kuat anggota JI, ia bergabung dengan Noordin M Top, dan sempat belajar merakit bom dengan Dr Azhari, akhirnya Heri SS ditangkap ditahun 2004, dipengadilan di vonis 7 tahun penjara, kemudian bebas di tahun 2008. Pada bulan September 2010 Tim Ightiyalat yang dibentuk oleh Atok berfusi dengan Tim Hisbah untuk melakukan amaliyah (serangan) terhadap polisi dan gereja. Ada catatan sebelumnya di bulan September 2009 Syarif (pelaku bom Mapolresta Cirebon), Musolah dan seorang lagi yang bernama Yadi di duga terlibat perusakan toko Alfamart Cirebon karena alasan menjual miras dalam sebuah sweeping yang mereka lakukan bersama beberapa person dari komponen lainya. Kemudian pada awal bulan Desember 2010 upaya amaliyah yang direncanakan kelompok gabungan dua jaringan (Tim Hisbah dan Ightiyalat Klaten) yakni pemboman di Sukoharjo gagal. Tapi ini tidak menyurutkan langkah mereka untuk melakukan amaliyah-amaliyah berikutnya karena terbukti di pertengahan bulan Desember 2010, Sigit Qordowi dari Tim Hisbah meminta anak buahnya yang berinisial EJ untuk membeli senjata. Kemudian EJ menelpon Musolah di Cirebon dan 2 kali di bulan Desember 2010 dan Februari 2011 mereka mendapatkan senjata. Di akhir Februari anak-anak Klaten (jaringan Klaten) minta tolong dari EJ untuk mencari tempat tinggal karena seorang yang bernama Atok dari tim Ightiyalat baru di tangkap. Akhirnya EJ menindaklanjuti dengan meminta tolong kepada Musolah, akhirnya kemudian orang tersebut pindah ke Cirebon. Di bulan Maret 2011 Sigit Qordowi mencoba untuk mengusahakan senjata lagi dan kembali meminta EJ untuk mencari, akhirnya tanggal 10 April 2011 EJ ke Cirebon untuk mengambil pesanan senjata dari tangan Musolah kemudian dia kembali pulang. Di tanggal 15 April 2011 Peristiwa bom bunuh diri di Cirebon terjadi, saat itu Musolah menghubungi EJ via telpon dan memintanya untuk turun ke lapangan (Cirebon). Disana EJ diminta mencari tempat yang lebih aman di wilayah Solo untuk 2 orang teman dari Musolah yaitu bernama Yadi dan Hayat alias Raharjo (alias Achmad Yosepa) karena mereka ikut menolong atau membantu Muh. Syarif (pelaku bom Cirebon), sementara Musolah sendiri menghilang lari ke wilayah Tegal Jawa Tengah. Antara tanggal 17 s/d 19 April 2011 EJ berusaha mencari tempat untuk mereka menjual bakso namun tidak berhasil dan justru pada tanggal 19 April 2011 keberadaan Musolah terhendus oleh aparat bahkan kemudian tertangkap. Akhirnya informasi tertangkapnya Musolah ini mendorong Hayat lari ke Karang Anyar, sementara Yadi lari ke Bandung. Sementara EJ sendiri di tanggal 12 Mei 2011 ditangkap dan di hari berikutnya tanggal 13 Mei 2011 Sigit Qordowi tewas tertembak oleh Densus 88 di Sukoharjo. Dan akhirnya publik melihat peristiwa pada tanggal 25 September 2011 terjadi aksi bom di GBIS Solo dan Hayat alias Achmad Yosepa alias Raharjo alias Achmad Abu Daud dipastikan oleh Mabes Polri paska uji DNA sebagai pelakunya. Dan masih ada DPO lainya dalam perburuan aparat Densus88; Amir Ashabul Kahfi Cirebon, Yadi alias Hasan (diduga menyembunyikan pelaku bom Klaten dan memerintahkan untuk memberikan pelatihan merakit bom), Heru Komarudin (di duga perakit bom yang dipakai M.Sarif di Mapolresta Cirebon), Beni Asri dan Nanang Irawan alias Nang Ndut alias Gendut alias Rian (dua orang ini di duga yang terlibat menyembunyikan rangkaian bom). Dan diduga juga seorang yang bernama Sohir (terpidana Bom Bali yang sudah bebas) menjadi tempat belajar merakit bom Hayat dan termasuk Sarif sebelumnya, karena Sohir dikenal cukup piawai merakit bom. Sementara bocoran intelijen MI6 Inggris mensinyalir kota Surabaya dan Semarang menjadi sasaran potensial untuk aksi berikutnya. Mengeja Spekulasi Dari fakta-fakta ini kita mencoba mengeja jawaban point diatas. Pertama, siapakah Hayat sebenarnya? Dan dari jaringan atau kelompok manakah ia? Apa masih terkait dengan jaringan JI atau lainya? Hayat adalah termasuk DPO kasus Bom Cirebon, anak pertama dari tiga bersaudara, dan sejak kecil ia ikut ayahnya yang bernama M.Daud Turani dan ibunya bernama Hindun transmigrasi ke Kalimantan.Hayat memiliki nama asli Pino Damayanto di akte kelahiran dan karena sering sakit kemudian diganti nama menjadi Ahmad Urip, ia dilahirkan di Losari, Cirebon 19 Oktober 1980 dan beralamat di Jl Pandesan kota Cirebon. Kedua orang tuanya sendiri sudah lama tidak berjumpa atau berhubungan dengan Yosepa.Pendidikannya dari awal di SD Losari kemudian dilanjutkan SMP saat di Kalimantan, dan masa SMA nya di Ciledug Kabupaten Cirebon.Yosepa tidak pernah mondok, berbeda dengan isu diluar yang menyatakan Yosepa pernah mondok di Ngruki selama tiga tahun.Sejauh yang terungkap, jualan bakso adalah salah satu pekerjaan yang ia tekuni sekalipun tidak sukses. Saat di Cirebon Hayat pernah mengikuti MMI dan kemudian berafiliasi ke JAT (terlepas apakah bagi MMI atau JAT sendiri, Hayat diakui sebagai anggotanya atau tidak, karena di JAT sendiri ada mekanisme penerimaan seseorang bisa menjadi anggotanya. Dan kalimat mengikuti tidak selalu berarti menjadi anggotanya). Hayat sering bersama Sarif (pelaku bom Cirebon) dalam berbagai aksi sekalipun ia tidak seagresif Sarif, namun kesamaan visi yang dimiliki antar mereka menjadikan mereka membangun “tandzim” sendiri melepaskan diri dari kelompok yang sebelumnya mereka berafiliasi. Maka saya (penulis) memberanikan diri untuk memberi catatan; bahwa mereka tidak terkait dengan kelompok gerakan Islam yang ada (seperti tuduhan sebagian pihak yakni yang dimaksud gerakan tersebut adalah MMI dan JAT). Mereka ada dalam simpul-simpul yang penulis ungkap diatas (jejaring Cirebon,Solo dan Klaten). Sebuah tandzim baru yang dilahirkan oleh situasi, sebuah entitas baru yang mencoba untuk eksis membawa ideologi jihad versi mereka. Mereka adalah entitas dari produk zaman, mereka adalah manefestasi dan artikulasi percikan dari umat Islam yang dalam kontek sekarang menjadi korban imperialism global dan lokal. Mereka memahami kondisi tersebut perlu respon, tanpa memperdulikan keabsahan aksi mereka secara syar’I begitu juga implikasi-implikasi politiknya (yang faktanya hari ini langkah mereka menjadi kontraproduktif terhadap Islam dan perjuangan Islam, atau minimal menjadi legitimasi kelompok pembenci Islam semakin massif langkahnya untuk mengaborsi geliat Islam dan umatnya). Jika mereka pernah bersua beberapa person yang latarbelakangnya di duga anggota JI, tentu tidak bisa di vonis bahwa mereka adalah produk JI atau JI itu sendiri. Tidak harus JI yang bisa stimulus lahirnya tandzim baru dalam ranah jihad, sikon politik yang mendzalimi umat Islam juga bisa mengispirasi siapapun dari umat Islam yang memiliki ghiroh (semangat) untuk membangun jaringan (tandzim). Menghimpun orang-orang yang sevisi dan melakukan aksi sebagai respond dan jawaban mereka terhadap sikon politik yang ada. Dan kita tentu tidak bisa membuat logika yang premature, misalkan; seorang koruptor pernah kuliah di UI atau UGM, tentu tidak terima jika institusi UI dan UGM divonis adalah koruptor atau sarang koruptor. Dan begitu juga sebaliknya, seorang jebolan UI dan UGM kemudian dia menjadi koruptor tentu bukan karena dia belajar bagaimana dia korupsi atau UI dan UGM mengajari korupsi. Tidak ada hubungan timbal balik otomatis dalam konteks ini. Bisa jadi mereka berinteraksi dengan lintas tandzim (baik yang sirri maupun yang terbuka), kemudian mereka terinspirasi keluar dari tandzim itu semua.Dan berikutnya mengkonstruksi “ideologi” baru bagi kelompoknya.Dan yang tidak boleh di abaikan sama sekali adalah adanya kemungkinan diantara mereka ada penyusupan oleh intelijen, sehingga entitas mereka adalah produk intelijen dengan berbagai kepentingan diluar kendali mereka (mengingat lahirnya JI juga terindikasi ada kontribusi agen/intelijen, begitu juga kasus lainya dan dalam hal ini perlu elaborasi terpisah lebih jauh) . Tentang urusan kemampuan mereka menyiapkan dan merakit bom, dunia maya menjadi tempat selancar yang baik. Di sana cukup banyak guiden untuk menjadikan seorang mahir atau minimal punya kemampuan dasar (seperti pasukan komando) dalam masalah bom.Hal ini terbukti dari kelompok Pepi (bom serpong).Tidak harus belajar langsung kepada seorang guru yang berpengalaman dibidang bom (alumni Afghanistan, Kamp Hudzaibiyah, atau konflik Ambon dan Poso). Bahkan dalam hal keterkaitan dengan kelompok jihadis Ambon atau Poso, penulis melakukan riset tidak menemukan keterkaitan langsung atau tidak. Mereka yang ada diPoso atau Ambon diluar pusaran amaliyah “jihad Fardiyah” kelompok Hayat cs. Terlalu naïf jika mereka di vonis satu jaringan misalkan hanya karena kesamaan bahan baku peledak dan tehnik perakitannya. Atau hanya kesamaan sama-sama memiliki visi jihad. Atau masuk jauh pada asumsi misalkan karena sama-sama memiliki ideologi Islam Radikal fundamentalis. Masih perlu bukti lebih akurat, tidak hanya berdasarkan asumsi dengan demikian mudah mengeneralisir. Kedua, apakah aksi Hayat itu murni inisiatifnya dan stiril dari rekayasa intelijen? Sekaligus relevansinya dengan kasus Ambon yang terbaru? Dari pola dan pergerakan mereka, cenderung ini adalah kelanjutan program kelompok Hayat sebelumnya. Disamping mereka sadar betul dalam perburuan dan menjadikan ruang gerak mereka semakin sempit dan terbatas. Dan ditambah persepsi yang tidak positif terhadap aparat (khususnya Densus88), yaitu kecondongan arogansi dan eksekusi mati terhadap orang-orang yang terduga terlibat aksi bom bunuh diri (apalagi jika ada korban didalamnya dari anggota Tribrata/Polisi). Maka dalam sikon seperti ini, akan mendorong seseorang pada pilihan fatal yaitu aksi bom, seperti rencana semula mereka.Di sisi lain mereka sudah seperti kehilangan induk, tampa lagi ada komando (komandan). Karena sebagian besar “komandan” sudah di penjara, sehingga yang masih diluar “ngalor-ngidul” (istilah orang jawa; seorang yang kehilangan orentasi/bingung). Jika ada dugaan sebagian pihak bahwa ini rekayasa atau pembiaran, bisa jadi logis karena laporan intelijen mengungkap adanya pergerakan kelompo mereka. Pada 14 Agustus di ungkap dalam laporan intelijen bahwa ada 5 orang yang di baiat dan 9 orang remaja yang belum dibaiat namun hadir dalam agenda itu. Jadi ada pergerakan di beberapa tempat.Jika dikaitkan dengan posisi tragedi Ambon paska idul fitri tidak terlalu relevan, namun bisa dimaknai posisi Ambon menjadi momentum keluarnya mereka kepermukaan untuk melaksanakan aksinya.Terlepas apakah peristiwa Ambon itu by design atau tidak (penulis, mendapatkan informasi yang mengindikasikan kasus Ambon dijadikan pancingan untuk mengeluarkan DPO dan termasuk untuk melahirkan para Jihadis baru muncul dipermukaan).Apalagi ditambah sikon di Ambon sebelum aksi bom di Solo terjadi teror bom secara beruntun di Karang Panjang, Terminal Mahardhika, Gereja Maranatha dan Gereja di Jalan Karang Panjang dari mulai hari Minggu sampai hari Senin malam. Jika hendak mendiskusikan lebih jauh tentang “lemahnya” intelijen yang menjadikan Presiden SBY geram. Ada kemungkinan lemahnya kordinasi antar institusi intelijen terjadi, mengingat pola kerja Densus88 (yang 70% lebih fungsi mereka di intelijen) selama ini berdasarkan dugaan atau asumsi seseorang memiliki potensi ancaman, maka ia bisa diaborsi sebelum beraksi. Namun kali ini seolah kecolongan dan padahal terungkap sebelumnya adanya informasi intelijen di bulan Agustus tentang kemungkinan pergerakan dan aksi dari kelompok-kelompok tertentu (dan tidak keluar dari kelompok yang penulis ungkap diatas).Bisa juga munculnya dugaan (logika), terjadi gap atau persaingan antar institusi atau personel intelijen yang ada, hingga berakibat lemahnya kordinasi dan efeknya tidak bisa melakukan usaha preventif sebelum aksi bom Solo. Ketiga; Apa hubunganya dengan rencana DPR melegislasi RUU Intelijen dan proyek massif deradikalisasi BNPT? Tentang point ini penulis lebih tepat mengatakan para follower yang konsen di bidang kontra-terorisme yang berada diberbagai lembaga dan institusi lagi sedang bekerja dan menemukan momentumnya. Peristiwa bom Solo kali ini kalau bisa dijadikan penguatan asumsi RUU Intelijen harus segera di sahkan oleh DPR setelah sebelumnya di finalisasi secara tertutup oleh tim DPR dan Pemerintah. Dan bahkan kemudian memperkuat serta melegitimasi proyek kontra-terorisme dalam bentuk soft power berikutnya yaitu deradikalisasi yang dikomandani oleh BPNT. Seperti dalam kesempatan tertutup BNPT (Ansyad Mbai) dengan Komisi III DPR-RI mengusulkan anggaran 126 Miliar rupiah untuk proyek ini, dan menarget 800 ribu masjid dan 40 ribu pesantren menjadi partner BNPT, bahkan sudah membuat MOU dengan beberapa ormas Islam untuk proyek deradikalisasi. Sang Presiden-RI; orang yang cukup peka kesempatan. Banyak pihak membaca langkahnya menyikapi bom Solo sangat bernuansa politik. Dan begitulah adanya, karena disana ada ketimpangan jika sang Presiden di baca bagaimana sikap ia terhadap kasus lainya yang serupa. Misalkan rakyat tidak melihat sikap tegas presiden terhadap kerusuhan di Ambon yang menewaskan beberapa orang muslim, yang di picu kematian tidak wajar tukang ojek yang beragama muslim (yang sampai tulisan ini dibuat juga belum di publish siapa pelaku pembunuhan tukang ojek tersebut). Atau bagaimana sikap sang presiden terhadap kelompok bersenjata di Papua yang beraksi menewaskan beberapa orang termasuk didalamnya aparat kepolisian dan TNI.Sangat sumbang dan timpang memang, semua rakyat membaca langkah dan sikap dia hanya untuk mengalihkan perhatian rakyat terhadap rusak, bopeng dan jebloknya pemerintahan dia yang terjebak dalam pusaran skandal mega korupsi. Sang Presiden seperti seorang follower sejati, mengetahui waktu yang tepat untuk menggeser perhatian rakyat dari skandal politik pemerintahan ke urusan bom petasan yang di dramatisir seolah membahayakan toleransi, pluralism dan demokrasi. Kalau ada upaya pengkaitan dengan kelompok ormas tertentu, ini juga pekerjaan para follower yang sejak awal sangat bernafsu ingin mengaborsi kelompok-kelompok Islam tersebut (misal; MMI dan JAT atau kelompok lainya yang di cap radikal fundamentalis). Ini terlihat opini yang digiring oleh media, dan bahasa-bahasa tendensius yang mereka gunakan. Di akhir tulisan ini, penulis mau katakan; saatnya penguasa dan para politikus muslim yang terlibat dalam sebuah keputusan penting menyangkut nasib kehidupan sosial politik rakyat Indonesia yang notabene mayoritas adalah muslim, agar bersikap obyektif, jujur dan menjadikan akidah yang ada dalam dirinya menjadi maqoyis (standar) dalam tiap keputusannya. Sudah terlalu lama Islam dan umatnya terdiskriditkan dengan isu terorisme. Jangan sampai Indonesia betul-betul berubah menjadi “state terrorism” dan akhirnya berhadapan secara diametrikal dengan umat Islam. Kekuasaan itu sementara, dan hisab Allah SWT itu pasti, maka tidak beriman orang yang tidak amanah dengan kekuasaan. Wallahu a’lam bishowab

Sabtu, 10 September 2011

Amerika dan Khilafah: Masa Lalu & Masa Kini

Oleh : Sharique Naeem Dalam percaturan politik internasional saat ini, Amerika terus menunjukkan dirinya sebagai kekuatan global tunggal yang tak tertandingi. Meskipun negeri itu sedang mengalami kesulitan dan ekonominya memburuk, dan menderita kemunduran dalam perang yang panjang di Irak dan Afghanistan, namun tetap mengklaim dirinya sebagai negara adidaya. Dalam beberapa tahun terakhir, Amerika telah membuka front perang baru. Mulai dari meningkatkan pertempuran di Somalia, penyerangan dengan pesawat tanpa awak di Yaman dan Pakistan, dan penyerangan terhadap Libya, Amerika telah bertindak sendirian, maupun dengan para sekutu NATO-nya. Dunia Muslim dilanda serangan badai negeri-negeri imperialis. Meskipun memiliki sumber daya yang sangat besar, Dunia Muslim telah menyaksikan gejolak di negerinya sendiri, sebagai akibat dari para penguasanya yang menjadi kacung Amerika dan memberikan apa saja yang dituntut Amerika. Ini adalah realitas suram negeri-negeri muslim dalam menghadapi Amerika saat ini. Adalah fakta yang tidak bisa dipungkiri, bahwa secara historis umat Islam pernah menjadi kekuatan utama dunia selama berabad-abad, di bawah naungan Khilafah. Banyak yang telah ditulis dan diketahui tentang zaman umat Islam yang gemilang di bawah naungan Khilafah. Pusat-pusat pembelajaran yang didirikan di Baghdad, Kairo, Maroko dan negara-negara lain dikenal dalam sejarah. Perkembangan ilmiah yang luar biasa telah dicapai umat Islam pada zamannya dalam masa yang panjang. Namun sedikit yang menjadi perhatian jika berkaitan dengan sebuah negara adidaya pada masa lalu, yakni Khilafah jika dibandingkan dengan kekuatan superpower pada masa kini, yakni Amerika. Akar sejarah Amerika dan hubungannya dengan dunia luar biasanya mengacu ke zaman Christopher Columbus, yang dianggap berjasa dalam memimpin penemuan benua Amerika. Namun, berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa sekitar tujuh abad sebelum kunjungan Columbus, para penjelajah Muslim dari negeri Khilafah telah mendarat di Amerika, dan mulai memiliki nenek moyangnya di negeri itu. Berbagai penggalian arkeologi, termasuk penemuan koin-koin, banyak peralatan dan perkakas telah menunjukkan keberadaan kaum Muslim di Amerika. Juga, analisis linguistik dan filologis bahasa dan penggunaan nama-nama permukiman di Amerika menunjukkan kemiripan dengan yang digunakan oleh umat Islam pada zaman Kekhalifahan Abbasiyah. Penemuan-penemuan dari penelitian Profesor Barry Fell (dari Harvard University, anggota Society of Scientific & Archeological Discoveries) telah menyoroti kenyataan bahwa umat Islam tiba di benua itu pada zaman Utsman, Khalifah ketiga. Profesor Fells menyajikan sejumlah fakta untuk mendukung jejak sejarah ini. Penemuan-penemuan itu termasuk penggalian arkeologi di Colorado, New Mexico dan Indian bersama dengan tulisan-tulisan, gambar-gambar pada batu-batu dalam kaligrafi Kufic (dari Afrika Utara yang berbahasa Arab), yang menunjukkan bahwa umat Islam tidak hanya datang dari negeri Khilafah dan menetap di wilayah tersebut, tetapi mereka juga mendirikan lembaga-lembaga pengajaran yang memberi pelajaran pada mata pelajaran seperti matematika, geografi, navigasi, sejarah dll. Hal ini juga diketahui, bahwa Khilafah telah mendorong pembentukan pusat-pusat pembelajaran di seluruh wilayah negeri itu. Peta Piri Reis yang terkenal juga diambil sebagai bukti kehadiran kaum Muslim di Amerika, karena ia merupakan peta kecil Amerika, yang memuat pengukuran akurat atas jarak antara Afrika dan Amerika. Juga menurut Salvatore Michael Trento (mantan direktur Pusat Penelitian arkeologi di Middletown, New York) sebelum melakukan pelayaran pertamanya ke Amerika, Columbus telah membaca buku Roger Bacon dari Universitas Oxford, yang memuat kompilasi dari berbagai sumber berbahasa Arab, tentang wilayah geografis di seberang Atlantik itu. Pada penelitian arkeologi yang dilakukan oleh Profesor Heizer dan Baumhoff California University pada penggalian di Nevada, ditemukan tulisan-tulisan dalam bahasa Arab dan tulisan bergaya Naskhi Cufic. Terdapat kesamaan kaligrafi antara berbagai gaya penulisan nama Nabi (Muhammad) yang ditemukan selama periode yang beragam, khususnya yang berkaitan dengan Afrika dan Amerika. (Misalnya Gambar A ditemukan di al-Ain Lahag, Maroko dan Gambar B ditemukan di Timor Sungai Walker; keduanya saat ini berada di University of California, juga Gambar C ditemukan di Nevada dan Gambar C dan D ditemukan di Churchill County dan juga saat ini diawetkan di University of California); Semua prasasti itu merujuk pada abad kedelapan dan kesembilan, dan semuanya menggambarkan kemiripan dalam gaya antara Afrika Utara dan Amerika Utara, dan karenanya menunjukkan bahwa sejumlah besar umat Islam telah melakukan perjalanan dari Afrika ke Amerika. Dari sumber-sumber Islam, rincian-rincian seperti itu jarang ditemukan, dan sebagian besar kesimpulan tersebut di atas telah didasarkan pada bukti-bukti arkeologi. Beberapa peneliti berpendapat, bahwa pada abad kedua belas suku Athapcan, yang terdiri dari penduduk asli Navajo dan Apache, telah menyerbu wilayah yang didiami oleh orang-orang Arab. Kemudian, para pemukim Muslim itu harus melarikan diri, atau diasingkan ke arah selatan. Penemuan lain yang mengejutkan atas kehadiran Muslim di Amerika, adalah pada tahun 1787, ketika Pendeta Tadeus Mason Harris mendapatkan beberapa koin yang ditemukan oleh para pekerja selama pembangunan jalan di Massachusetts. Koin-koin itu dikirim ke perpustakaan Harvard College. Setelah dilakukan pemeriksaan, diketahui bahwa koin-koin itu sebenarnya adalah dirham Samarqand dari abad kedelapan dan kesembilan dan prasasti pada koin-koin itu menyatakan ‘La ilaha ill-Allah MUHAMMADUN Rasulullah’ (Tidak ada tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah Rasul-Nya) dan Bismillah (Dengan nama Allah). Hal ini menunjukkan bahwa Khilafah memiliki sistem moneter yang digunakan bahkan di wilayah-wilayah terjauh dari daerah dimana kaum Muslim bepergian. Columbus dan para penjelajah Spanyol dan Portugis lainnya, telah diuntungkan dari pengetahuan berbasis geografis dan navigasi yang dipersiapkan oleh kaum Muslim. Misalnya karya Al-Masudi Muruj’uz-Zahab(871-957 CE), yang didasarkan atas kompilasi dari para pedagang Muslim dari seluruh Asia dan Afrika. Selain itu, dua kapten kapal Columbus pada pelayaran pertamanya, dalam kenyataannya, adalah dua orang Muslim: Martin Alonso Pinzon yang bertanggung jawab atas kapal Pinta, sementara saudaranya Vicente Yanez Pinzon adalah kapten yang ditunjuk untuk kapal Nina; keduanya berasal dari Dinasti Maroko Marinid, yang merupakan keturunan dari Sultan Abu Zayan Muhammad III (r. 1362-1366). Terdapat juga catatan dari para misionaris abad keenam belas di Amerika yang mengungkapkan bahwa tambang tembaga lokal di Virginia, Tennessee dan Wisconsin dioperasikan oleh orang-orang dari Timur Tengah, yang dihormati oleh penduduk asli. Juga penelitian menunjukkan bahwa sejumlah 565 nama, 484 di Amerika dan 81 di Kanada, yakni nama-nama kota, desa, gunung, sungai dan danau dll secara etimologis berasal dari bahasa Arab, yang ditunjuk oleh para penduduk setempat jauh sebelum kedatangan Columbus. Banyak dari nama-nama ini sebenarnya sama dengan nama-nama tempat-tempat suci Islam misalnya Mecca di Indiana, Medina di Idaho, Medina di New York dll. Struktur rumah dan gedung yang ditemukan dalam penggalian arkeologi yang dilakukan di Afrika Utara dan Amerika Utara menunjukkan tingkat kesamaan antara bangunan-bangunan abad kesembilan. Misalnya struktur rumah Berber dari Pegunungan Atlas, Maroko adalah persis sama dengan sebuah rumah di New Mexico. Kesamaan yang persis terlihat antara Kastil Montezuma yang ditemukan di Arizona dan sisa-sisa reruntuhan yang ditemukan di Mesa Verde di Colorado dengan struktur umum bangunan-bangunan Berber. Profesor Cyrus Thomas (Smithsonian Institute) menunjukkan dalam salah satu penelitiannya bahwa terdapat kesamaan antara sebuah pondok kecil yang dibangun dari tumpukan batu yang ditemukan di Ellenville, New York dengan sebuah kabin, yang juga terbuat dari batu, yang ditemukan di sekitar Aqabah, Arabia Selatan, yang menunjukkan sekitar abad kedelapan. Dalam banyak sumber-sumber Islam, meskipun referensi mengenai Amerika hampir tidak didokumentasikan, penting dicatat bahwa selama periode Kekhalifahan Andalusia, umat Islam di Spanyol dan Afrika Utara telah membuat banyak perjalanan ke luar negeri. Hal ini sangat mungkin bahwa banyak dari mereka sebenarnya bepergian menuju Amerika. Benteng Islam terakhir di Spanyol, Granada, jatuh sebelum terjadinya Inkuisisi Spanyol yang didirikan pada tahun 1492. Inkuisisi itu, yang memaksa banyak orang non-Kristen untuk pindah agama menjadi Katolik atau menghadapi pengasingan sebagai satu-satunya cara untuk menyelamatkan diri dari tindakan kejam. Selama periode ini, pada tahun 1539 suatu titah Raja Spanyol Charles V, dipraktekkan menjadi kenyataan yakni titah yang melarang imigrasi kaum Muslim ke pemukiman di Barat, perintah ini kemudian diperluas dengan mengusir semua Muslim dari luar negeri di Koloni Spanyol tahun 1543. Semua ini, ditambah dengan bukti-bukti lain menunjukkan kehadiran kaum Muslim di Spanyol yang berbahasa Spanyol Amerika sebelum tahun 1550. Meskipun kaum Muslim menderita kerugian teritorial di Spanyol, kehadiran mereka di wilayah-wilayah seperti Amerika, rupanya tidak diperkuat. Namun di jantung peradaban Islam, Khilafah terus menjadi mercusuar yang merupakan peradaban yang kaya dan dihormati. Otoritas politik kekhalifahan mendominasi koridor-koridor kekuatan dari wilayah-wilayah yang kemudian menjadi penting di arena internasional. Lebih dari dua abad kemudian, kekuasaan politik Kekhalifahan, masih kuat berdiri. Pada tahun 1783, Amerika mengerahkan kapal-kapal pertama angkatan lautnya, yang mulai berlayar di perairan internasional. Dalam waktu dua tahun, kapal-kapal itu ditangkap oleh angkatan laut Kekhalifahan Utsmani, dekat Aljazair. Hal ini penting untuk dicatat, bahwa Angkatan Laut Kekhalifahan itu berasal dari wilayah yang termasuk governorat Afrika Utara dari Aljazair, Tunisia, dan Tripoli, yang berada di bawah pemerintahan Khilafah Utsmaniyah. Sebagai perbandingan mencolok, wilayah ini pada hari ini, adalah wilayah terbaru dari front perang yang dibuka oleh Amerika dan NATO yang mengincar lokasi yang strategis dan cadangan minyak, meskipun tujuan itu disamarkan dengan dalih mendukung pemberontakan yang sah dalam melawan diktator Gaddafi. Penangkapan kapal-kapal Amerika, membawa Amerika ke dalam konflik langsung, dan karenanya hubungan tingkat negara dengan negara Khilafah menjadi perlu. Pada tahun 1786 Thomas Jefferson, yang kemudian menjadi Duta Besar Amerika untuk Prancis, dan John Adams, yang kemudian menjadi Duta Besar Amerika untuk Inggris, bertemu di London dengan Sidi Haji Abdul Rahman Adja, Duta Besar Khilafah untuk Inggris, dalam rangka untuk menegosiasikan sebuah perjanjian perdamaian, yang akan didasarkan pada pendanaan dari pemungutan suara di Kongres. Ini mungkin merupakan kontak tingkat tinggi pertama antara pejabat tinggi Amerika dan Khilafah. Setelah pertemuan itu, kedua orang yang merupakan Presiden Amerika masa depan, melaporkan kepada Kongres AS, dan memberikan informasi mengenai alasan permusuhan umat Islam terhadap Amerika dengan kata-kata ini: “… bahwa (kekhalifahan) didirikan berdasarkan Hukum Nabi mereka, bahwa hal itu ditulis dalam Al-Qur’an mereka, bahwa semua negara yang tidak mengakui otoritas mereka adalah negara yang berdosa, bahwa adalah hak dan kewajiban mereka untuk berperang terhadap negara-negara itu di mana saja mereka bisa ditemukan … dan bahwa setiap Musselman (Muslim) yang terbunuh dalam peperangan pasti akan masuk surga.” Kesan pertama dari umat Islam, yang bersatu di bawah naungan Khilafah, pada para duta besar Amerika adalah sangat berlawanan dengan realitas pada saat ini, dimana para penguasa negeri-negeri Muslim bersaing untuk dihargai oleh para duta besar Amerika. Dan seperti yang diungkapkan Wikileaks para penguasa yang memalukan itu mencari dan meminta semua jenis bantuan, dan kemudian berterima kasih kepada para duta besar mereka atas bantuan dalam mencapai jenjang kekuasaan. Selain itu, mereka melaporkan persaingan di dalam negeri mereka kepada para dubes itu, dan mencari bantuan untuk mengatasi satu sama lain. Dalam hal status quo, kaum muslimin di bawah kekhalifahan sangat berbeda dengan realitas pada hari ini. Pada tahun 1793, Amerika sekali lagi memasuki wilayah perairan yang didominasi oleh Khilafah, dan kali ini 12 kapal Angkatan Laut Amerika ditangkap. Untuk menanggapi hal ini, Kongres Amerika memberikan mandat pada Presiden Washington, pada bulan Maret 1794 untuk membelanjakan hingga 700.000 koin emas dengan tujuan membangun kapal-kapal untuk armada angkatan laut yang kuat yang terbuat dari baja. Namun, armada ini hilang lagi dalam konfrontasi dengan Angkatan Laut Khilafah itu. Sejak itu Amerika telah menyadari mereka berhadapan dengan kekuatan negara adidaya : Khilafah. Setahun kemudian Amerika Serikat menandatangani Perjanjian Barbary dengan negara Khilafah. Kata Barbary merujuk pada governorat Afrika Utara untuk wilayah Aljazair, Tunisia, dan Tripoli, yang berada di bawah pemerintahan Khilafah Utsmaniyah. Ketentuan dalam Perjanjian Barbery itu mewajibkan Amerika untuk membayar sejumlah besar uang kepada Khilafah sebagai imbalan izin untuk berlayar di Samudra Atlantik dan Laut Mediterania dan mengembalikan kapal-kapal yang ditangkap, mulai dengan pembayaran dengan methode one off payment yang bernilai $ 992.463. Sebagai imbalannya, Pemerintah Amerika harus membayar lagi $ 642.000 yang setara dengan emas. Selain itu, Amerika setuju untuk membayar pajak tahunan (upeti) senilai $ 12 000 dalam bentuk emas. Sangat menarik untuk dicatat, bahwa Khilafah lebih lanjut menegaskan supremasi diplomatiknya, dengan mewajibkan Amerika untuk membayar upeti tahunan, menurut kalender Islam dan bukan menurut kalender Kristen. Selanjutnya, sebagai tebusan untuk tentara Amerika yang ditangkap, Amerika harus membayar $ 585.000 dibayar. Selain dari upeti yang bernilai sangat besar ini, Amerika setuju untuk membangun dan memberikan dengan biaya sendiri armada kapal baja bagi Khilafah. Karena kapal-kapal ini terbuat dari baja, dan biaya untuk tiang-tiangnya, dan papan-papan yang berat, sangat besar dan bahan-bahannya sulit untuk didapatkan, dan ditambah dengan biaya transportasi yang besar, yang pernah diberikan Amerika sebenarnya negara itu telah membayar tiga puluh kali lipat perkiraan harga dalam perjanjian itu. Perjanjian ini kemudian sesuai dengan status quo kekuasaan yang ditulis dalam bahasa negara Khilafah, yaitu bahasa Turki dan ditandatangani oleh Presiden Washington. Perjanjian itu merupakan satu-satunya dokumen hukum Amerika yang pernah dibuat dalam bahasa asing, dan yang menarik adalah ini merupakan satu-satunya perjanjian yang pernah ditanda tangani Amerika yang menyetujui untuk membayar pajak tahunan kepada bangsa lain. Perjanjian itu tetap berlaku, sampai Khilafah runtuh. Pada tahun 1862, perjanjian penting yang lain ditandatangani. Abraham Lincoln menandatangani Perjanjian Perdagangan dan Navigasi dengan Khilafah Utsmaniyah. Perjanjian itu berkaitan dengan masalah perniagaan, perdagangan dan navigasi. Hal yang menarik tentang perjanjian ini adalah di dalamnya ada klausul yang menunjukkan bagaimana Amerika dengan panjang lebar mengatakan bahwa negara itu bukanlah negara yang memusuhi dengan cara apapun bagi Khilafah. Pasal 11 perjanjian itu menyebutkan: “Karena Pemerintah Amerika Serikat tidak, dalam arti apapun, didirikan berdasarkan agama Kristen, karena tidak memiliki karakter bermusuhan dengan hukum, agama, atau ketenangan, dari Mussulmen (Muslim), dan, negara Amerika yang disebut dalam perjanjian ini tidak pernah terlibat dalam setiap perang, atau melakukan tindakan permusuhan terhadap bangsa yang beragama Islam, hal yang dinyatakan oleh para pihak dalam perjanjian, sehingga tidak ada alasan yang timbul dari pendapat keagamaan, yang akan menghasilkan gangguan keharmonisan diantara kedua negara .“ Ketika baru menjabat di kantor pemerintahan, pada tahun 1876, Sultan berpartisipasi dalam seratus tahun kemerdekaan Amerika, dengan mengirimkan koleksi besar buku-buku Utsmani untuk dipamerkan di Philadelphia, buku-buku itu kemudian disumbangkan kepada Universitas New York. Pada masa Sultan Abdul Hamid II (1876-1909), meskipun Khilafah telah menjadi lemah secara signifikan dikarenakan kondisi masa lalu, negara itu masih menjaga pengaruhnya pada politik internasional, dan dikenal sebagai kekuatan terkemuka, dalam bidang budaya, politik maupun militer. Khalifah Abdul Hamid II terkenal karena penolakannya untuk menjual tanah Palestina kepada Zionis dan dihormati tidak hanya oleh kalangan muslim tetapi juga oleh kalangan non-Muslim. Pada tahun 1893, saat menandai ulang tahun ke-empat ratus penemuan benua Amerika, Khalifah Abdul Hamid adalah kepala negara asing pertama untuk menerima undangan untuk menghadiri Columbian Exposition yang diadakan di Chicago. Khalifah tidak hadir, namun sekitar seribu orang dari Yerusalem mengunjungi pameran itu. Di Chicago, sekitar tahun yang sama, pada acara acara pengukuhan Parlemen Agama-Agama Dunia (World Parliament of Religions), delegasi kekhalifahan memamerkan koleksi besar barang-barang Khilafah Utsmani dan juga membangun sebuah masjid kecil. Abdul Hamid, dalam masa jabatannya pernah bertanya kepada duta besar Amerika di Istanbul, Samuel Sullivan Cox dan penyelenggara Sensus Amerika modern, untuk memperkenalkan perkembangan ilmu statistik kepada umat Islam. Menariknya, pada saat salah seorang diplomat Amerika A.M. Keiley dinyatakan persona non grata oleh pemerintah Austro-Hungaria hanya karena “keturunan Yahudi”, Duta Besar Amerika Oscar S. Straus (seorang diplomat Yahudi) disambut oleh Khilafah. Khilafah juga memiliki jangkauan dan pengaruh atas kaum Muslim yang tinggal di luar wilayahnya, di daerah yang jauh terpencil. Pada musim semi tahun 1899, Amerika meminta bantuan dari kekhalifahan, dalam ekspedisi melawan wilayah Filipina yang dikontrol oleh Spanyol. Sekretaris Negara Amerika John Hay menulis kepada Oscar S. Straus, dan bertanya apakah “Sultan dalam situasi yang mungkin dibujuk untuk memerintahkan orang-orang Islam dari Filipina, yang selalu menolak Spanyol, untuk datang dengan sukarela agar bisa berada di bawah kendali kami.” Straus kemudian secara resmi mengunjungi khalifah dan merujuk kepada perjanjian sebelumnya. Pasal 21 perjanjian antara Tripoli dan Amerika Serikat berbunyi: “Karena Pemerintah Amerika Serikat tidak, dalam arti apapun, didirikan berdasarkan agama Kristen, karena tidak memiliki karakter bermusuhan dengan hukum, agama, atau ketenangan, dari Mussulmen (Muslim), dan, negara Amerika yang disebut dalam perjanjian ini tidak pernah terlibat dalam setiap perang, atau melakukan tindakan permusuhan terhadap bangsa yang beragama Islam, hal dinyatakan oleh para pihak dalam perjanjian, bahwa tidak ada alasan yang timbul dari pendapat keagamaan, yang akan menghasilkan gangguan keharmonisan diantara kedua negara.“ Dalam perjanjian itu, Abdul Hamid menjelaskan posisinya tentang masalah Filipina, dengan mengatakan bahwa “orang-orang Islam yang bersangkutan mengakuinya sebagai Khalifah kaum Muslim dan dia merasa yakin mereka akan mengikuti sarannya.”. Setelah instruksi ini, Duta Besar Staus menulis: “Orang Islam Sulu …menolak untuk bergabung dengan para pemberontak dan telah menempatkan diri di bawah kendali tentara kita, dengan demikian mengakui kedaulatan Amerika.” Letnan Kolonel John P. Finley (yang menjabat Gubernur Amerika untuk Provinsi Zamboanga di Filipina selama sepuluh tahun) menulis sebuah artikel yang diterbitkan dalam edisi April 1915 pada Journal of Race Development yang menyoroti peristiwa ini. Finley menulis: “Pada awal perang dengan Spanyol, Pemerintah Amerika Serikat tidak menyadari keberadaan setiap orang Islam di Filipina. Ketika fakta ini ditemukan dan disampaikan kepada Duta Besar kami di Turki, Oscar S. Straus, dari New York, dia kemudian melihat kemungkinan yang terbentang di depan kita sebagai jihad (perang suci)…. Dia kemudian membicarakannya dengan Sultan Abdul Hamid, dan memintanya sebagai Khalifah dalam agama Islam untuk bertindak atas nama para pengikut Islam di Filipina…. Sultan sebagai Khalifah mengirimkan pesan untuk dikirim kepada orang-orang Islam di Kepulauan Filipina yang melarang mereka untuk masuk ke dalam setiap permusuhan terhadap Amerika, karena gangguan atas agama mereka tidak dibenarkan di bawah kekuasaan Amerika. “ Setelah konflik usai, Presiden McKinley mengirim surat pribadi yang mengucapkan terima kasih kepada Duta Besar Straus karena bekerja dengan sangat bagus, menyatakan bahwa ia telah menyelamatkan Amerika Serikat “setidaknya dua puluh ribu tentara dari medan pertempuran.” Semua ini telah dimungkinkan, karena posisi politik Khalifah, Abdul Hamid II. Sejarah interaksi kekhalifahan dengan Amerika, mengungkapkan banyak informasi tentang status global kaum Muslim yang dihargai. Pada hari ini, situasi Internasional menjadi bertentangan dengan masa lalu yang merupakan masa keagungan umat Islam. Namun, pada saat penghapusan kekhalifahan pada tahun 1924, Amerika dengan cepat menyambut gerakan itu, dan bersekutu dengan Mustafa Kemal, dalam upaya untuk menciptakan sebuah negara bangsa Turki yang sekuler. Pada tahun 1938, Duta Besar Amerika Joseph Clark berdiri dengan Mustafa Kemal dan menyatakan “Nama Mustafa Kamal akan selamanya dikaitkan dengan pembangunan, pendiri Turki, negara Turki baru yang modern, dan selamanya akan tertulis dengan tidak terhapuskan pada perjalanan sejarah”. Mustafa Kamal menambahkan: “Bangsa Turki adalah bangsa yang demokratis secara alami, saya tidak meragukan bahwa bangsa Amerika yang telah begitu jauh terlibat dalam hal yang ideal ini, yang merupakan kerabat negara Turki dalam mencapai tujuannya.” Kamal yang sekuler, menyimpulkan aliansi baru itu dengan mengatakan: “ini bisa mengarah kepada dunia yang penuh cinta dengan menghapus semua prasangka lama dan semua negara berada dalam kedamaian dan kemakmuran” Rantai peristiwa yang menyertainya secara diametris berlawanan dengan apa yang Kamal nyatakan dengan liciknya. Dunia Muslim melihat penjarahan sumber daya alamnya, negerinya dikerat-kerat, dan sejak itu penindasan di tangan para diktator terjadi dengan seterusnya selama beberapa dekade. Selain itu, banyak negara-bangsa yang keluar dari naungan khalifah, dan akhirnya selama bertahun-tahun menghadapi intervensi militer langsung oleh Amerika. Somalia, Sudan, Afghanistan, Pakistan, Irak, Libya dan Yaman adalah diantara negara-negara bangsa yang menderita hebat akibat intervensi negara-negara imperialis. Dengan penghapusan kekhalifahan, pada hampir satu abad lalu, interaksi antara Amerika dan Khilafah telah terkubur, dan dunia Muslim kewalahan menghadapi banyaknya masalah. Pada hari ini, status quo saat ini berada di ambang suatu tantangan besar baru. Ketika merasakan tantangan ini, kaum imperialis, yang dipelopori oleh Amerika, mulai mengganggu dan membongkar perkembangan dari tantangan ini. Dalam beberapa tahun terakhir, Barat telah berusaha untuk mendiskreditkan ide Kekhalifahan. Fitnah yang berulang atas ide sebuah negara super Islam yang bersatu dapat diamati dari pernyataan-pernyataan para politisi kunci dan para pembuat opini di Barat. Dalam kata-kata mantan presiden Bush “Khilafah ini akan menjadi Imperium Islam totaliter yang meliputi semua negeri-negeri muslim saat ini dan yang dulunya adalah negeri-negeri Muslim, yang membentang dari Eropa hingga Afrika Utara, dari Timur Tengah hingga Asia Tenggara.”. Dalam bulan November 2004 Henry Kissinger dalam sebuah wawancara, mengungkapkan pandangannya dengan menyatakan: “… apa yang kita sebut sebagai terorisme di Amerika Serikat, tetapi sebenarnya adalah pemberontakan Islam radikal terhadap dunia sekuler, dan terhadap dunia yang demokratis, atas nama pendirian semacam Kekhalifahan “. Yang menarik, pada tahun yang sama (Desember 2004) dikeluarkan laporan setebal 123-halaman yang berjudul “Mapping the Global Future” oleh National Intelligence Council (NIC) dari CIA. Laporan itu mencakup antara lain skenario, kemungkinan terbentuknya suatu “Kekhalifahan Baru” tahun 2020. Laporan tersebut, ditujukan “untuk mempersiapkan pemerintahan Bush bagi tantangan-tantangan masa depan, dan telah disampaikan kepada Presiden AS, para anggota Kongres, para anggota kabinet dan para pejabat kunci yang terlibat dalam pembuatan kebijakan” Selain menarik perhatian para politisi dan pembuat opini kunci, ancaman Khilafah juga telah disorot pada September 2005 oleh Angkatan Darat AS Jenderal John Abizaid, (Kepala Komando Pusat AS) dan juga oleh Jenderal Richard Myers (Ketua Kepala Staf Gabungan). Pada tahun 2007, Gubernur Amerika Mitt Romney mengatakan: “Bagi Islam radikal, terdapat konflik dan tujuan menyeluruh - yang menggantikan semua negara-negara Islam modern dengan sebuah Kekhalifahan, dengan menghancurkan Amerika, dan menaklukkan dunia.” Pada tahun ini, pada tahun 2011, dengan munculnya pemberontakan di Timur Tengah, Media Barat telah gembira dan aktif dengan menggambarkan bahwa rakyat Arab memandang ke depan menuju demokrasi. Namun, Profesor di Harvard, Niall Ferguson dalam sebuah wawancara dengan The Telegraph, memperingatkan bahwa menjelang tahun 2021 hanya ada “kemungkinan kecil kita mendapatkan demokrasi gaya Barat di Timur Tengah”. Dia menambahkan bahwa “Lebih mengkhawatirkan ketika berpikir tentang “kebangkitan kembali Kekhalifahan “. Prediksi Profesor Niall itu tampaknya masuk akal, dan gagasan munculnya sebuah Kekhalifahan diperkuat oleh banyak jajak pendapat (misalnya oleh World Public Opinion, Pew Global dll) yang dilakukan di dunia Muslim, yang menunjukkan aspirasi umat Islam untuk hidup di bawah Hukum Islam, dan negara yang bersatu. Di antara banyak pernyataan oleh para tokoh terkemuka di Amerika adalah pernyataan Donald Rumsfeld yang menyatakan pada bulan Februari 2011: “Kami menghadapi musuh yang kejam, para Islamis radikal ada di sana, mereka berniat untuk mencoba untuk mendirikan Khilafah di dunia ini dan secara fundamental mengubah sifat negara bangsa “. Rumsfeld mengakui bahwa “kita enggan untuk terlibat dalam perang pemikiran” Hari ini, di saat orang-orang yang berada di koridor kekuasaan di Barat sedang berusaha untuk memfitnah ide kekhalifahan, dan menciptakan narasi negatif tentang hal itu, sangat penting untuk disadari, bahwa sejarah adalah kesaksian dari sosok dan kecakapan kekhalifahan sehingga membantah jika ada narasi yang menjelek-jelekannya. Benar bahwa kekhalifahan, setelah terbentuk akan berusaha untuk menyatukan negara-negara Muslim, tapi adalah salah untuk meremehkannya sebagai negara yang regresif atau anti-modern. Ketika Kekhalifahan didirikan, ia akan menggabungkan dunia Muslim, dan dengan cepat memanfaatkan segala sumber daya untuk pengembangan infrastruktur, dan industri pertanian. Munculnya negara Islam yang canggih ini juga akan berusaha mempensiunkan posisi strategis negara imperialis Amerika dari panggung internasional secara umum dan wilayah-wilayah Muslim pada khususnya. Namun, ini tidak berarti bahwa Khilafah akan terlibat untuk melakukan demonisasi atas warga negara berdasarkan ras, budaya, atau sejarahnya. Sejarah menunjukkan menunjukkan informasi yang luas tentang kemurahan hati kekhalifahan, terhadap bangsa-bangsa lain yang mencari bantuan. Juga, sebuah evaluasi ulang dari sejarah Amerika situ sendiri menjelaskan ke dalam budaya progresif dan kaya bahwa para penjelajah dari Khilafah sampai ke negerinya. Pada hari, adalah ironis bagaimana mungkin sebagian orang di Barat mencoba untuk mencoreng citra kekhalifahan sebagai entitas penuh dengan kekerasan, sementara pada saat yang sama mengekspor demokrasi dan memuliakannya melalui invasi terang-terangan. Tahun ini, di satu sisi ada negara-negara kapitalis Barat yang secara internal tersentak oleh pergolakan ekonomi dan terbelenggu dengan peperangan di luar negeri, dan di sisi lain ada kaum muslim yang berani melawan penindasan para tiran, hingga menyebabkan jatuhnya diktator satu demi satu. Dalam skenario seperti ini realisasi Kekhalifahan, semakin semakin dekat. (translated by riza). Sharique Naeem adalah seorang insinyur otomatisasi, dan seorang komentator politik, dan penulis. Tulisan-tulisannya telah diterbitkan di surat-surat kabar nasional Pakistan, Bangladesh, India, Yaman & Iran. Dia dapat dihubungi di atshariq_n@hotmail.com Referensi: [1] Donald Rumsfeld http://www.rushlimbaugh.com/home/daily/site_020811/content/01125106.guest.html [2] Governor Romney (Elected in 2002 as the 70th Governor of the Commonwealth of Massachusetts, ) (Governor Mitt Romney, Remarks At The George Herbert Walker Bush Presidential Library, 4/10/2007) [3] Niall Ferguson http://www.telegraph.co.uk/finance/financevideo/8367183/Niall-Ferguson-In-2021-well-be-amazed-how-much-the-world-has-changed.html [4] Treaty of tripoli http://www.stephenjaygould.org/ctrl/treaty_tripoli.html [5] John Adams http://www.islam-watch.org/ThomasJefferson/Founding_Fathers_Fight_Islam.htm [6] NIC Report: http://www.cia.gov/nic/NIC_globaltrend2020_s3.html#scen [7] Henry Kissinger: http://nobelprize.org/peace/laureates/1973/kissinger-bio.html [8] Bukti-bukti Arkeologi http://www.fountainmagazine.com/article.php?ARTICLEID=823 [9] Barbery Treaty http://avalon.law.yale.edu/18th_century/bar1795n.asp

Jumat, 09 September 2011

Di Balik ''Permainan'' Penentuan Idul Fitri 1432 H

JAKARTA (voa-islam.com) - Idul Fitri1432 Hijriah kali ini diwarnai perbedaan mendasar. Ada yang sejak awal menetapkan 1 Syawal 1432 H jatuh pada hari Selasa 30 Agustus 2011, namun ada juga yang keesokan harinya, Rabu 31 Agustus 2011. Pemerintah melalui sidang itsbat yang digelar Senin malam 29 Agustus 2011, memutuskan bahwa 1 Syawal 1432 H jatuh pada tanggal 31 Agustus 2011, sementara itu warna merah pada kalender sudah tercantum pada tanggal 30 Agustus 2011. Perbedaan penetapan 1 Syawal bukan kali ini saja terjadi. Misalnya pada Idul Fitri1428 H dan 1427 H. Pada Idul Fitri1428 H pemerintah sudah menetapkan tanggal merah 1 Syawal 1428 H bertepatan dengan tanggal 13 Oktober 2007. Sedangkan sebagian umat Islam menetapkan 1 Syawal 1428 H jatuh pada tanggal 12 Oktober 2007, yaitu satu hari sebelum tanggal merah. Begitu juga dengan Idul Fitri1427 H, keputusan 1 Syawal 1427 H versi pemerintah bertepatan dengan 24 Oktober 2006, sesuai dengan tanggalan merah yang sudah beredar sejak akhir tahun sebelumnya. Sedangkan sebagian umat Islam, menetapkan 1 Syawal 1427 H jatuh pada tanggal 23 Oktober 2006, satu hari sebelum tanggalan merah versi pemerintah. Kali ini, pada Idul Fitri1432 H, tanggalan merah versi pemerintah pada hari Selasa 30 Agustus 2011, bertepatan dengan tanggal 1 Syawal 1432 H versi ormas Muhammadiyah, dan ormas NU tingkat wilayah. Namun, pemerintah menetapkan tanggal 1 Syawal 1432 H bertepatan dengan tanggal 31 Agustus 2011, yang juga tanggalan merah. Karena biasanya warna merah pada penanggalan libur hari raya versi pemerintah dicantumkan dua hari berturut-turut. Apa yang menyebabkan terjadinya perbedaan? Ada yang menduga, karena adanya perbedaan antara NU dan Muhammadiyah. Ada juga yang menduga, peralatan yang digunakan di dalam melihat hilal sudah kurang layak. Ada juga yang menduga perbedaan itu timbul akibat adanya perbedaan metode (hisab wujudul hilal dan imkan rukyat). Benarkah perbedaan-perbedaan itu yang menjadi penyebab lahirnya Idul Fitri ganda? Faktanya tidaklah demikian. Mari kita runtut kejadian-kejadiannya:  Pada Idul Fitri1427 H. Saat itu ormas Muhammadiyah menetapkan 1 Syawal 1427 H bertepatan dengan 23 Oktober 2006, satu hari sebelum tanggal merah. Sementara itu, PBNU memutuskan 1 Syawal 24 Oktober 2006, bersesuaian dengan tanggal merah dan keputusan pemerintah. Keputusan PBNU itu disampaikan oleh Ketua Lajnah Falakiyyah PBNU KH Ahmad Ghazalie Masroeri saat jumpa pers di Kantor PBNU Kramat, Jakarta Pusat, pada hari Kamis tanggal 19 Oktober 2006. Beberapa hari sebelumnya, Ketua Pengurus Wilayah NU (PWNU) Jawa Timur, Sholeh Hayat, mengatakan bila mengacu pada hasil hisab, Lebaran kemungkinan besar jatuh 23 Oktober 2006 (Republika online edisi Senin, 16 Oktober 2006).  Faktanya, di berbagai wilayah NU, banyak warga NU yang berlebaran pada hari yang sama dengan warga Muhammadiyah, yaitu 23 Oktober 2006, karena mereka meyakini telah melihat hilal. Artinya, kalau toh ada perbedaan antara Muhammadiyah dan NU, itu terjadi di tingkat elite.  Begitu juga pada saat Idul Fitri1432 H. Sejak jauh hari Muhammadiyah sudah menetapkan tanggal 1 Syawal 1432 H jatuh pada hari Selasa 30 Agustus 2011. Sedangkan PBNU menetapkan 31 Agustus 2011. Meski demikian, banyak warga NU yang berlebaran sama dengan warga Muhammadiyah, yaitu pada hari Selasa tanggal 30 Agustus 2011. Karena mereka meyakini telah melihat hilal.  Salah satu diantaranya sebagaimana ditunjukkan oleh KH Maulana Kamal Yusuf (Rois Suriah PW NU DKI Jakarta). Sebagaimana diberitakan Republika online (edisi Selasa, 30 Agustus 2011 15:26 WIB), KH Maulana Kamal Yusuf mengatakan, hari Selasa (30 Agustus 2011) sudah masuk 1 Syawal 1432 H. Bahkan saat itu ia menganjurkan kepada umat Islam yang masih berpuasa untuk segera berbuka.  Kepastian tentang tanggal 1 Syawal jatuh pada hari Selasa 30 Agustus 2011, karena didasarkan fakta sudah terlihatnya hilal pada hari Senin (29 Agustus 2011): hilal terlihat tepat saat waktu Maghrib, dengan posisi miring ke selatan dalam keadaan vertikal, dengan durasi selama 5 menit. Rukyatul hilal yang berlangsung di Ponpes Al Husainiah, Kampung Baru, Cakung, Jakarta Timur, dilakukan dengan tiga metode rukyat. Masing–masing, 4,35 derajat, 3 derajat, dan 2 derajat. Ketiga saksi dengan metode masing-masing mengaku melihat hilal. Namun menurut KH Maulana Kamal Yusuf, ternyata petugas dari Pengadilan Agama Jakarta Timur yang saat itu juga berada di lokasi, tidak bersedia mengambil sumpah ketiga saksi yang telah melihat hilal. Bahkan, ia meninggalkan tempat rukyat sebelum mengambil sumpah. Akhirnya, KH Maulana Kamal Yusuf ((Rois Suriah PW NU DKI Jakarta)) bersama dengan Habib Rizieq Shihab (Ketua FPI) dan KH Mahfud Assirun (pimpinan Ponpes Al Itqon), mengambil sumpah ketiga saksi tersebut. Hasil rukyat Cakung itu kemudian disampaikan oleh Ahmad Jauhari (Direktur Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah Kementerian Agama) di depan Sidang Itsbat. Namun, ditolak. Pemerintah tetap berpendirian bahwa hilal tidak mungkin dirukyat, karena posisinya di bawah ufuk. Padahal, tim Cakung yang merukyat, melihat hilal di atas ufuk. ..Hasil rukyat Cakung itu kemudian disampaikan oleh Ahmad Jauhari (Direktur Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah Kementerian Agama) di depan Sidang Itsbat. Namun, ditolak. Pemerintah tetap berpendirian bahwa hilal tidak mungkin dirukyat, karena posisinya di bawah ufuk.. Sikap pemerintah (dan peserta sidang itsbat) yang seperti itu, menimbulkan tanggapan. Salah satunya: “Idul Fitri 1Syawal 1432 H yang sesuai dengan syari'ah adalah 30 Agustus 2011, karena hilal telah tampak. Penolakan sosok yang mengaku ulama terhadap fakta ini, menunjukkan bahwa dia bodoh dan sombong. Keputusannya HARAM diikuti. Kesepakatan tidak boleh mengalahkan fakta. Itu namanya dzalim, semena-mena dan menyesatkan…” Reaksi bernada kesal itu memang wajar, karena kegiatan merukyat hilal di Ponpes Al Husainiah, Cakung, Jakarta Timur (pimpinan KH Muhammad Syafi’i) ini, sudah berlangsung sejak 50 tahun. Bahkan mereka melakukan rukyat setiap bulan untuk mencocokkan dengan perhitungan hisab. KH Muhammad Syafi’i sendiri, menurut KH Maulana Kamal Yusuf, mampu melakukan hisab rukyat dengan 11 cara. Ma’ruf Amin, salah satu elite MUI (Majelis Ulama Indonesia) yang mengikuti sidang itsbat, jelas-jelas menolak fakta terlihatnya hilal sebagaimana terjadi di Cakung (Jakarta Timur), dan Jepara (Jawa Tengah). Menurut Ma’ruf Amin, yang pernah menyatakan bahwa aliran sesat LDII sudah waras ini, “… kesaksian mereka yang melihat hilal, di saat hasil hisab menafikan kemungkinan hilal terlihat, maka hasil pengamatan yang mengaku menyaksikan tidak bisa diterima…” Kalau Ma’ruf Amin berkata begitu, berarti dia adalah menunjukkan ketidak konsistenannya terhadap dirinya sendiri. Kenapa dia mau hadir dalam sidang itsbat itu? Toh siapapun dan dengan alat secanggih apapun, berarti harus ditolak, kalau seperti pendirian Ma’ruf Amin yang dia ucapkan itu. Tidak bisa diterima. Lha kalau pendirian Ma’ruf Amin seperti itu, seharusnya yang wajar alurnya adalah dia (Ma’ruf Amin) menolak diadakannya sidang itsbat, karena apapun hasilnya kesaksian mereka yang melihat hilal tidak bisa diterima, di saat hasil hisab menafikan kemungkinan hilal terlihat. Atau setidak-tidaknya, Ma’ruf Amin konsekuen terhadap pendapatnya itu, hingga tidak mau hadir apalagi bicara. Itu kalau memang dia ini orang yang konsekuen. Apa yang dilakukan dan diucapkan oleh Ma’ruf Amin itu benar-benar tidak masuk akal bagi orang yang masih berfikir. Lebih menyedihkan lagi, kelakuan dan ucapan dia –yang secara akal sehat sangat aneh-- itu justru jadi bahan utama (karena dia orang terkemuka di MUI) dalam memutuskan Idul Fitri untuk 200-an juta Ummat Islam di Indoesia. Seandainya alasan Ma’ruf Amin menolak kesaksian orang-orang yang telah disumpah bahwa mereka telah melihat hilal itu karena Ma’ruf Amin telah memiliki bukti-bukti shahih bahwa mereka itu adalah para pendusta, maka penolakan Ma’ruf Amin yang diandaikan ini pun masih perlu dilihat lagi. Karena dia bukan hakim. Di balik itu, kejujuran Ma’ruf Amin pun sudah dipertanyakan, karena jelas-jelas dia dikenal menyuara yang tidak konsisten mengenai aliran sesat LDII dan cenderung membela aliran sesat itu, padahal MUI sendiri telah mengeluarkan rekomendasi MUI 2005 bahwa LDII adalah aliran sesat yang membahayakan aqidah sebagaimana Ahmadiyah, maka MUI mendesak Pemerintah agar membubarkannya. Kesombongan Ma’ruf Amin yang juga merupakan elite NU juga ditunjukkan oleh KH Ahmad Ghazalie Masroerie (Ketua Lajnah Falakiyyah PBNU). Menurut dia, NU hanya memberikan mandat kepada dua delegasi yaitu Abdul Faiz Lc MA dan Hamdan Munawwir. Karena kedua orang tadi tidak memberikan laporan melihat hilal, maka laporan terlihatnya hilal di Jepara oleh pihak lain dinyatakan ditolak. Sedangkan laporan dari Cakung yang menyatakan hilal sudah tampak, menurut KH Ahmad Ghazalie Masroerie, tidak bisa dibenarkan. Selain akurasinya diragukan, juga karena yang mengambil sumpah bukan hakim. Itu artinya, penolakan itu lebih didasarkan kepada alasan teknis. Seraya mengabaikan substansi. Astaghfirullah…Bukankah dia dapat juga usul agar orang-orang yang menyatakan melihat hilal itu disumpah oleh hakim? Toh mereka tidak akan menolak bila disumpah oleh hakim. Maka alur yang benar, mestinya, karena yang mengambil sumpah bukan hakim, maka diusulkan agar yang menyumpah mereka itu hakim. Itu alur yang benar secara akal, bila tanpa niatan dari semula untuk menolaknya entah karena apa sebenarnya. ..Menurut Dr Ali Jum’ah (Mufti Agung Mesir), sebagaimana dikutip VOA-Islam dari surat kabar Al-Wafd, rumor tidak sahnya rukyatul hilal 1 Syawal di dunia Arab baru-baru ini, adalah konspirasi Zionis Israel untuk mengacak-acak Islam.. Berdasarkan pandangan “ulama” penolak fakta tadi, maka Menteri Agama mewakili pemerintah memutuskan bahwa Idul Fitri1 Syawal 1432 H jatuh pada hari Rabu tanggal 31 Agustus 2011. Maka sejumlah pihak pun mengikuti keputusan itu dengan alasan demi menjaga persatuan dan kesatuan umat. Salah satu diantaranya sebagaimana disuarakan oleh Pimpinan Umum Hidayatullah, melalui maklumatnya yang ditandatangani oleh Abdurrahman Muhammad. Menurut dia, “…Dengan kapasitas dan peralatan teknologi modern yang digunakan, insya-Allah validitas hasilnya lebih dapat dipertanggungjawabkan.” Sikap Abdurrahman Muhammad itu diperkuat oleh Abdul Kholik, Lc (anggota Dewan Syuro Hidayatullah), yang mengatakan bahwa keputusan Hidayatullah itu diambil berdasarkan Sidang Majelis Mudzakarah Hidayatullah menyangkut penentuan awal Ramadhan, Syawwal dan Dzulhijjah sebelumnya di mana Hidayatullah akan mengikuti keputusan sidang itsbat yang mempertemukan semua (mayoritas) golongan sebagai representasi umat di bawah koordinasi pemerintah. Sikap pimpinan Hidayatullah seperti itu, bagi sebagian orang sangat mengherankan dan bahkan menyedihkan. Karena selama ini Hidayatullah diharapkan menjadi salah satu basis Islam yang teguh pendirian, berpegang kepada syari’at Allah, bukan kesepakatan bersama yang dibangun di atas pendapat ulama sombong, yang berani menyatakan si aliran sesat anu sudah tidak sesat lagi, padahal masih juga setia dengan kesesatannya. (lihat nahimunkar.com, Aliran Sesat LDII Semakin Berani Ma’ruf Amin dan Jusuf Kalla Perlu Waspada, 25 FEBRUARY 2009, http://nahimunkar.com/aliran-sesat-ldii-semakin-berani-ma%E2%80%99ruf-amin-dan-jusuf-kalla-perlu-waspada/) Seorang pengamat, Muhammad Umar Abduh, menyikapi gejala ini dengan tudingan: “Idul Fitri sengaja dibuat berbeda karena pemerintah (SBY) ingin show of force kepada Muhammadiyah yang selama ini kritis, dengan memainkan keputusan 1 Syawal 1432 H. Kebetulan ada sejumlah ulama jahat yang mau diperalat untuk keperluan ini (Ma'ruf Amin, Suryadharma Ali, dan oknum ulama NU lainnya, serta sejumlah pakar maupun cendikiawan yang ikut sidang itsbat). Politisi (penguasa) mempermainkan agama untuk kepentingan politik praktisnya. supaya tetap dipakai di kabinet, terlalu...” (http://www.facebook.com/profile.php?id=1086842769) Tudingan Muhammad Umar Abduh pada laman facebook-nya, seperti bersambut pesan dengan pemberitaan VOA-Islam edisi 04 September 2011. Menurut Dr Ali Jum’ah (Mufti Agung Mesir), sebagaimana dikutip VOA-Islam dari surat kabar Al-Wafd, rumor tidak sahnya rukyatul hilal 1 Syawal di dunia Arab baru-baru ini, adalah konspirasi Zionis Israel untuk mengacak-acak Islam. Entitas Zionis berada di belakang rumor ketidakabsahan hilal Syawal, yang dibesar-besarkan oleh media baru-baru ini. Menurut Dr Ali Jum’ah, Darul Ifta’ telah menerjunkan sembilan komite di semua penjuru Republik Mesir untuk memonitor hilal pada Senin sore lalu. Satu komite terdiri dari 11 spesialis dalam ilmu astronomi (falak) dan hukum Islam. Kesembilan komite itu diterjunkan ke Toshka, Sohag, Kota 6 Oktober, Moqattam, Observatorium Helwan, Laut Merah dan Marsa Matrouh. Hasilnya, hilal terlihat dengan mata telanjang di dua tempat, masing-masing di Toshka dan Sohag. Namun, kesaksian itu berusaha dimentahkan pihak Israel, dengan mengatakan bahwa yang dilihat oleh komite adalah planet Saturnus bukan hilal Syawal. Israel melakukan ini untuk menciptakan perpecahan di antara kaum Muslim, karena mereka melihat tanda-tanda akan bersatunya kaum Muslim di dalam menetapkan 1 Syawal. ..Dari fenomena ini dapat saja ditarik kesimpulan, bahwa pihak pemerintahlah yang menjadi penyebab terjadi perpecahan dan perbedaan di kalangan umat. Tentu saja dengan mendapat dukungan dari para ulama jahat sebagaimana telah terdengar di mana-mana adanya sosok yang membela aliran sesat, kemungkinan ada yang berprinsip “maju tak gentar membela yang bayar…”. Akibatnya, Ummat Islam lah yang jadi korban.. Fenomena menafikan kesaksian hilal yang terjadi di dunia Arab, ternyata terjadi juga di Indonesia. Sosok “Israel” dan “entitas zionis” yang hadir pada sidang itsbat 29 Agustus 2011, melakukan upaya yang mirip yaitu mementahkan kesaksian sejumlah orang yang sudah berpengalaman melakukan rukyatul hilal selama puluhan tahun. Bahkan sebelum sidang itsbat berlangsung, Deva Octavian (peneliti senior di Observatorium Bosscha, Bandung, Jawa Barat) sudah berani ‘memutuskan’ bahwa Idul Fitri1 Syawal 1432 Hijriah akan terjadi pada 31 Agustus 2011. Menurut Deva, tinggi bulan saat matahari terbenam pada tanggal 29 Agustus 2011 di seluruh wilayah Indonesia kurang dari dua derajat. Berdasarkan hal tersebut, hilal tidak mungkin dilihat di wilayah Indonesia. Maka, 1 Syawal 1432 Hijriah terjadi pada 30 Agustus setelah maghrib. (eramuslim.com edisi Senin, 29/08/2011 10:30 WIB). Beberapa hari sebelumnya (27 Agustus 2011), Prof. Dr. Thomas Djamaluddin dalam sebuah tulisannya yang cenderung menyalahkan Muhammadiyah mengatakan, “…Kalau mau lebih spesifik merujuk akar masalah, sumber masalah utama adalah Muhammadiyah yang masih kukuh menggunakan hisab wujudul hilal…” (http://www.dakwatuna.com/2011/08/14299/muhammadiyah-terbelenggu-wujudul-hilal-metode-lama-yang-mematikan-tajdid-hisab/). Menurut Thomas pula, selama Muhammadiyah masih bersikukuh dengan kriteria wujudul hilalnya, kita selalu dihantui adanya perbedaan hari raya dan awal Ramadhan. Padahal, faktanya, keputusan Muhammadiyah tentang 1 Syawal yang mendasarkan pada kriteria wujudul hilal (posisi bulan sudah positif di atas ufuk, meski ketinggiannya masih sekitar batas kriteria visibilitas hilal), mendapat dukungan dari pelaksanaan rukyatul hilal di Cakung dan Jepara. Bahkan di sebagian besar negara Arab, negara tetangga Malaysia, dan sebagainya. Maka tidak bisa disalahkan bila upaya-upaya yang dilakukan Prof. Dr. Thomas Djamaluddin, Deva Octavian, Ma’ruf Amin, KH Ahmad Ghazalie Masroerie, Suryadharma Ali, dan sebagainya, oleh sebagian kalangan justru dinilai sejalan dengan upaya-upaya kalangan zionis Israel yang berusaha membuat ragu-ragu kalangan Islam terhadap keputusan 1 Syawal. Tentu dalam rangka merusak persatuan Islam. Dari fenomena ini dapat saja ditarik kesimpulan, bahwa pihak pemerintahlah yang menjadi penyebab terjadi perpecahan dan perbedaan di kalangan umat. Tentu saja dengan mendapat dukungan dari para ulama jahat sebagaimana telah terdengar di mana-mana adanya sosok yang membela aliran sesat, kemungkinan ada yang berprinsip “maju tak gentar membela yang bayar…”. Akibatnya, Ummat Islam lah yang jadi korban. Di balik kejadian Di balik kejadian ini, ada dua hal yang tampaknya saling bertentangan, dan dua-duanya tidak sesuai dengan syari’at. Masih ditambah lagi kemungkinan kepentingan di balik itu. Hingga peta kesalahan-kesalahanya terlihat sebagai berikut: 1. Ada pihak yang dari awalnya sudah mengumumkan hari raya Idul Fitri dengan modal hisab. Ini jelas tidak sesuai dengan hadits yang telah jelas mengenai awal puasa maupun Idul Fitri itu dengan rukyatul hilal. Kalau terhalang awan, maka disempurnakan bulannya (30 hari). Hadits itu hadits khusus tentang awal Ramadhan dan Idul Fitri, jadi dalam pemakaiannya harus didahulukan ketimbang dalil umum. 2. Pihak yang menolak kesaksian orang yang melihat hilal padahal sudah disumpah, sedang menolaknya itu berdasarkan hisab. Bukan karena cacatnya sifat dari orang-orang yang merukyat hilal, misalnya pendusta. Penolakan semacam ini justru menunjukkan: mendahulukan hisab ketimbang rukyah. Namun hasilnya aneh. Yang nomor satu tadi Idul Fitrinya Hari Selasa, namun pihak penolak ini hari rayanya Rabu. Padahal sebenarnya sama-sama mendahulukan hisab, namun mungkin karena beda kepentingan, maka hasilnya beda. Jadi kedua pihak itu ada dua kemungkinan salah: a. Mengandalkan hisab, b. membela kepentingan. 3. Pihak pemerintah yang mengambil keputusan untuk Ummat Islam yang jumlahnya 200-an juta Muslimin, berlandaskan penolakan terhadap kesaksian para pelaku yang menyaksikan hilal, sedang tokoh penolak itu alasannya sama sekali tidak mendasar, di samping diragukan kejujurannya seperti dalam uraian di atas. (tede/haji/nahimunkar.com). foto: bandung-news.com

Rabu, 07 September 2011

Penetapan Lebaran Pemerintah Tidak Sah dan Melecehkan Syariat Islam?

JAKARTA (voa-islam.com) – Keputusan Pemerintah menetapkan 1 Syawal jatuh pada Rabu 31 Agustus 2011, dinilai tidak sah dan batal demi hukum karena menganulir Tim Rukyat yang telah melihat hilal Senin 29 Agustus. Pemerintah dikecam telah melecehkan syariat Islam dan melakukan kebohongan publik terhadap hasil Tim Rukyat Cakung dan Jepara. Hal itu diungkapkan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), menanggapi keputusan pemerintah yang menetapkan 1 Syawal dengan menganulir hasil penglihatan hilal oleh Tim Rukyat Cakung Jakarta Timur. “Keputusan sidang itsbat Kementerian Agama RI tanggal 29 Agustus 2011 batal demi Hukum,” jelas Ustadz Irfan Suryohadi Awwas, Ketua Lajnah Tanfidziyah MMI dalam pesan singkatnya kepada voa-islam.com, Selasa (30/8/2011). ....Keputusan sidang itsbat Kementerian Agama RI tanggal 29 Agustus 2011 batal demi Hukum... Menurut Irfan, keputusan sidang itsbat pemerintah itu tidak sah karena menolak kesaksian Tim Ru’yat di Cakung, Jakarta Timur yang memberikan keterangan di bawah sumpah bahwa pada hari Senin 29 Agustus 2011, mereka sudah melihat hilal. Tim rukyat yang dimaksud Irfan adalah para ustadz dari Front Pembela Islam (FPI), Tim Masjid Ramadhan dan Majelis Mujahidin Jakarta Timur. Bila Senin sudah terlihat hilal, maka seharusnya Selasa sudah masuk Syawal dan umat Islam harus berlebaran pada hari itu. Dengan mengumumkan 1 Syawal jatuh pada 31 Agustus, padahal hilal sudah terlihat hari Senin 29 Agustus, lanjut Irfan, maka berarti sidang itsbat Kementerian Agama telah melakukan kebohongan publik. “Mereka telah melakukan kebohongan publik dengan tidak mengundang saksi-saksi yang melihat hilal,” kecam Irfan. Ditinjau dari pandangan Islam, jelas Irfan, sikap Kemenag dalam sidang itsbat itu benar-benar melecehkan ajaran Rasulullah SAW yang mewajibkan mengikuti persaksian seorang saksi dalam menentukan 1 Syawal dan awal Ramadhan. ...Mereka telah melakukan kebohongan publik dengan tidak mengundang saksi-saksi yang melihat hilal... “Mereka melecehkan sabda Rasulullah SAW yang menyatakan walaupun hanya satu orang saja yang berani disumpah sudah melihat hilal, maka itu sah,” jelasnya. Sabda Nabi Muhammad yang dimaksud Irfan adalah hadits dari Abdullah bin Umar RA yang diriwayatkan Abu Dawud dalam kitab “Shaum” bab “Persaksian Satu Orang Dalam Menentukan Hilal Ramadhan” sebagai berikut: "Ketika orang-orang sibuk melihat-lihat kemunculan hilal, kukabarkan kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bahwa aku telah melihat hilal. Beliau pun berpuasa dan memerintahkan manusia untuk berpuasa." Seperti diberitakan voa-islam.com sebelumnya, dalam sidang itsbat 29 Agustus Pemerintah yang menetapkan 1 Syawal jatuh pada 31 Agustus dengan menganulir hasil penglihatan hilal yang dilakukan Tim Rukyat Cakung Jaktim dan Jepara Jateng. Tim Rukyat di Cakung, Jakarta Timur telah melihat hilal antara jam 17.57 sampai 18.02 WIB dengan tinggi hilal hakiki 04'03'26,06", dilihat oleh tiga orang saksi: H Maulana Latif SPdI, Nabil Ss dan Rian Apriano. Ketiga saksi tersebut diambil sumpahnya oleh KH Maulana Kamal Yusuf (Rois Syuriah PWNU DKI Jakarta), didampingi Ketua Umum Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab, dan Pimpinan Pondok Pesantrean Al-Itqon, KH Mahfud Assirun. Pengambilan sumpah dilakukan di Pondok Pesantren Al-Husainiah, Kampung Baru, Cakung, Jakarta Timur. Tim Rukyat di Cakung itu melakukan dengan tiga metode rukyat. Masing-masing, 4,35 derajat, 3 derajat, dan 2 derajat. Ketiga saksi dengan metode masing-masing mengaku melihat hilal. Hasil rukyat di Cakung itu sempat dilaporkan oleh Direktur Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah Kemenag, Ahmad Jauhari, di depan Sidang Itsbat. Namun pemerintah menganulir persaksian itu, karena menganggap hilal tidak mungkin dirukyat karena posisinya di bawah ufuk. Karena berpedoman pada hasil rukyat, maka KH Maulana Kamal Yusuf yang dikenal sebagai salah satu ulama besar Jakarta ini menyerukan kepada umat Islam yang masih berpuasa hari Selasa 30 Agustus 2011, agar segera berbuka puasa. Karena puasa pada 1 Syawal hukumnya haram. “Bagi yang saat ini masih berpuasa dianjurkan untuk segera berbuka. Karena haram hukumnya berpuasa pada 1 Syawal," tegasnya. Persaksian lain yang juga dianulir sidang itsbat adalah Tim Rukyat di Pantai Kartini, Kabupaten Jepara Jawa Tengah, yang memberikan kesaksian di bahwa sumpah bahwa mereka telah melihat hilal berada di sebelah kiri matahari pada pukul 17.39 selama 5 detik. Anggota tim yang melihat hilal adalah Saiful Mujab, yang merupakan tim rukyat dari akademisi dan juga dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Kudus. Persaksian tim yang terdiri dari Kemenag Kabupaten Jepara, Kudus, dan Pati, perwakilan dari Nahdlatul Ulama (NU), dan Badan Hisab dan Rukyat dari Jepara, Kudus, dan Pati, sejumlah tokoh Islam, MUI Jepara, dan Muspida Jepara itu juga sudah disampaikan ke Pemerintah Pusat melalui Pemerintah Provinsi Jateng. Namun persaksian di bawah sumpah itu tidak menghalangi pendirian Pemerintah untuk bersikukuh menetapkan 1 Syawal jatuh pada hari Rabu 31 Agustus 2011. [taz]