I made this widget at MyFlashFetish.com.

Khilafah

Gempita Konferensi Rajab 1432 H

Minggu, 29 April 2012

Politik Belah Bambu Ala Wapres Boediono




Ada pernyataan Wapres Boediono yang layak dikritisi belakangan ini. Dalam Muktamar ke-6 Dewan Mesjid Indonesia, Wapres Boediono melontarkan pernyataan kepada peserta agar masjid jangan sampai dikuasai kaum radikal.
Lengkapnya, pernyataan Boediono adalah sebagai berikut,Kita semua berkepentingan agar masjid dijaga jangan sampai jatuh ke tangan mereka yang menyebarkan gagasan yang tidak Islami, seperti radikalisme, fanatisme sektarian, permusuhan terhadap agama dan kepercayaan orang lain, dan anjuran-anjuran provokatif yang bisa berujung pada tindak kekerasan dan terorisme. Islam adalah agama yang sangat toleran.”(kompas.com, 28/4)
Selanjutnya sebagaimana dikutip situs kompas.com (28/4) dikatakannya, masjid juga ditantang untuk menyebarkan Islam sebagai agama yang damai dan penuh rahmat Ilahi. Dengan jumlah masjid dan musholla di seluruh Indonesia saat ini hampir mencapai satu juta, masjid diharapkan turut berperan dalam membangun karakter bangsa.
Apa yang disampaikan Boediono menggambarkan bahwa dalam kacamata pemerintah agenda war on terror (WOT) belumlah usai. Setelah penangkapan amir Jamaah Ansharut Tauhid (JAT) Ustadz Abu Bakar Ba’asyir, pemerintah dan aparat keamanan masih terus melakukan agenda WOT. Bukan saja memerangi apa yang dinamakan kelompok ‘teroris Islam’ secara fisik, pemerintah juga terus mengkampanyekan perang opini terhadap apa yang dinamakan kelompok radikal.
Pada bulan Maret, Ketua BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Teroris) Ansyad Mbai, juga menyatakan hal yang serupa. Dalam Seminar Internasional ‘Peran Ulama Pesantren dalam Mengatasi Terorisme Global’ di Apita Green Hotel Cirebon, Jawa Barat,  Mbai menyatakan bahwa meski umat masih mendengar tokoh NU, tapi tempat dakwah sudah diambilalih kelompok radikal (RMOL, 17/3). Ansyad juga menambahkan bukan hanya masjid, banyak pesantren dan kampus juga sudah disusupi ajaran Islam radikal.
Tentu kita patut bertanya apa itu ‘Islam radikal’ dan siapa yang dikategorikan sebagai kelompok ‘radikal Islam’. Karena frase itu memang tidak dikenal dalam ajaran Islam. Tahun 2004, Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta  menerbitkan buku berjudul “Gerakan Salafi Radikal di Indonesia” . Ada empat kelompok yang mendapat cap “salafi radikal” dalam buku ini, yaitu Front Pembela Islam (FPI), Laskar Jihad, Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), dan Hizbut Tahrir.
Akan tetapi bila ditelurusi lebih jauh, penetapan istilah radikal sama sekali jauh dari pembahasan ilmiah. Adalah kepentingan politik yang menjadi penentu sebuah kelompok dikategorikan radikal atau tidak. Sama politisnya dengan penggunaan istilah teroris yang selalu dilekatkan pada kelompok Islam tapi tidak pada kelompok lain meski sama-sama menggunakan senjata, mengganggu keamanan warga sipil dan meneyerang aparat. Kelompok pembebasan Papua (OPM) misalnya hingga sekarang tidak pernah dimasukkan oleh BNPT atau aparat keamanan sebagai kelompok teroris padahal jelas-jelas mereka melakukan teror terhadap warga sipil bahkan aparat keamanan.
Nampak jelas istilah Islam radikal digunakan hanya untuk kelompok yang menyuarakan penerapan syariat Islam, bukan pada kelompok lain. Pemerintah dan media massa misalnya tidak menyematkan kata radikal kepada kelompok GKI Yasmin yang ngotot menghendaki pembangunan gereja yang sudah ditolak warga, atau HKBP yang juga memaksakan kehendak pembangunan gereja di Ciketing Bekasi meski juga ditolak warga.
Cara berpikir seperti inilah yang juga digunakan oleh Wapres Boediono dan Ansyad Mbai untuk menggencarkan agenda war on teror. Baik Ansyad maupun Boediono tengah menggiring opini permusuhan terhadap kelompok Islam bukan saja kepada mereka yang melakukan aksi bersenjata, tapi juga yang mengusung pemikiran Islam kaffah. Yakni kelompok yang secara pemikiran menghendaki perubahan ke arah Islam secara kaffah, kritis terhadap pemerintah dan hegemoni Barat.
Di sisi lain pemerintah, termasuk BNPT mengakomodir kepentingan kelompok yang mau mengikuti kepentingan mereka dan tidak ‘rewel’ terhadap berbagai kebijakan negara yang salah arah dan membangkrutkan bangsa. Pemerintah terus merangkul kelompok yang dikenal dengan sebutan Islam moderat. Inilah politik belah bambu yang tengah diperagakan Boediono dan BNPT di tengah-tengah umat.
Bila umat tidak menyadari siasat belah bambu ini,  mereka akan tergiring ke dalam sikap saling curiga, bermusuhan, dan kontraproduktif. Umat akan curiga pada saudaranya yang melakukan amar ma’ruf nahi mungkar dan yang berjuang untuk menjadi muslim yang taat pada Allah. Pada akhirnya akan mengerdilkan ajaran Islam sebatas ritual ibadah yang dibarengi sikap pasrah terhadap berbagai kebijakan korup yang dilakukan penguasa. Karena ketika ada seorang muslim yang anti kemaksiatan seperti prostitusi, peredaran miras, korupsi, penjajahan, ia justru akan dimusuhi oleh kaum muslimin yang lain karena dituduh radikal.
Padahal , common enemy yang sebenarnya bukanlah ajaran Islam, tapi demokrasi dan liberalisme yang telah menyesengsarakan umat dan menghancurkan tatanan kehidupan Islam di negeri ini. Membuat umat menjadi miskin di tengah kekayaan alam yang berlimpah dan membuat masyarakat terbiasa dengan perilaku hedonisme seperti perzinaan, budaya minuman keras dan penyalahgunaan narkoba. Sayang, pemerintah nampaknya lebih senang dengan keadaan seperti ini lalu menjadikan kelompok yang tengah berjuang menegakkan kalimatullah sebagai ‘kambing hitam’ atas ketidakbecusan mereka.

Selasa, 17 Januari 2012

Kaidah Politik Pragmatis: Kaidah Daripada


Oleh: Agus Trisa

Beberapa waktu yang lalu saya membuat status tentang kaidah daripada, sebuah ‘kaidah’ yang diusung oleh para penganut politik pragmatis. Pemikiran ini memang telah merasuk kuat ke dalam diri kaum muslimin sehingga menjadikannya sebagai pijakan berpikir, untuk hal apapun termasuk dalam hal pengurusan urusan umat (politik).


Islam adalah sebuah agama yang di dalamnya tidak hanya terdapat hubungan antara manusia dengan Allah, tetapi juga mengatur hubungan dirinya dengan orang lain. Di dalam Islam juga terdapat fikrah (pemikiran) dan thariqah (metode penerapan fikrah). Realitas masyarakat saat ini adalah masyarakat yang beragama Islam tetapi menggunakan ideologi sekuler.

Sehingga bisa dipastikan bahwa orang-orang yang setiap hari rajin salat, zakat, sedekah, zikir, menunaikan haji, dan lain sebagainya kebanyakan adalah orang-orang yang tidak menyetujui politik Islam, ekonomi Islam, sistem sosial Islam, politik luar negeri Islam, dan lain sebagainya. Akibatnya adalah terjadinya ketimpangan sosial. Perbuatan tidak menerapkan syariat Islam itulah yang telah menyebabkan masyarakat jatuh ke dalam ketimpangan sosial, politik, ekonomi, dan sebagainya.

Berdasarkan realitas tersebut, ada para aktivis muslim yang merasa “peduli’ terhadap kondisi tersebut. Tetapi ada semacam kebingungan, bagaimana mengubah realitas yang tidak Islami itu menjadi sesuatu yang Islami. Kemudian dipikirkanlah berbagai cara sehingga menghasilkan sebuah uslub amar makruf nahi munkar dengan menyatu ke dalam sistem. Perbuatan menyatu ke dalam sistem tersebut berangkat dari asal pemikiran yang sederhana.

Para aktivis itu pun kemudian berpikir bahwa: bagaimana mengubah realitas jika kita tidak masuk ke dalam sistem? Bagaimana akan mengubah realitas jika tidak diubah dari dalam? Mereka juga berpikir: Benar, Islam harus diterapkan menyeluruh, tetapi jika tidak bisa menyeluruh apakah harus meninggalkan semua syariat Islam itu alias tidak berbuat apa-apa?

Pemikiran-pemikiran seperti itu terus mengacaukan para aktivis sehingga menjadi sesuatu yang menyulitkan untuk berpikir jernih. Lalu dibuatlah pemikiran-pemikiran yang khas, yaitu menggunakan ‘kaidah daripada’. Para aktivis itu berpikir: ‘daripada tidak berbuat apa-apa, mendingan menyatu ke dalam sistem agar bisa berbuat apa-apa’, ‘daripada hanya berwacana tentang penegakan Islam, mendingan bekerja nyata’, ‘daripada berwacana tentang kesejahteraan rakyat, mendingan bekerja untuk kesejahteraan rakyat’, dan sebagainya.

Ada juga yang berpemikiran: ‘daripada dipimpin oleh orang kafir, mendingan dipimpin oleh orang yang beragama Islam’, ‘daripada dipimpin orang yang sekulernya banyak, mendingan dipimpin oleh orang yang sekulernya sedikit’, ‘daripada dipimpin orang laki-laki kafir, mendingan dipimpin perempuan tapi muslim’, dan sebagainya. Kaidah-kaidah sejenis selalu mengacaukan pra aktivis sehingga mereka pun terjebak di dalamnya. Merasa kesulitan keluar, dan malu untuk cabut dari pemikirannya, maka ditanggalkanlah berbagai atribut perjuangan Islam dan diadopsilah pragmatisme politik sekuler dengan menyatukan diri ke dalam sistem sekuler tersebut. Masya Allah..

Seolah-olah para aktivis itu dihadapkan pada sesuatu yang sama-sama buruk. Seolah-olah masuk ke dalam sistem itu buruk, dan berada di luar sistem itu juga buruk, tetapi keburukan di luar sistem itu lebih besar sehingga lebih memilih masuk ke dalam sistem yang dinilai keburukannya lebih kecil.

Ada juga asumsi-asumsi lain seperti berikut: Indonesia adalah negara sekuler. Agar jangan sampai dikuasai orang-orang yang sekulernya banyak, mendingan masuk ke sistem sekuler itu dan ‘menyekulerkan diri’ agar rakyat memilih dirinya yang lebih sedikit sekulernya.

Padahal, tidak jelas di dalam pandangan mereka: yang bahaya itu yang bagaimana dan yang tidak bahaya itu yang bagaimana. Mereka sebenarnya tidak memiliki kejelasan akan hal tersebut. Sehingga muncullah asumsi-asumsi yang kabur tentang berbagai macam definisi yang tidak sesuai dalam pandangan syariat.

Walhasil, pragmatisme menjadi sesuatu yang akan menjadikan para aktivis menjadi orang-orang yang mudah terbeli, bahkan membeli. Mereka mudah untuk dibeli orang lain, mudah ditawar pihak lain. Inilah pragmatisme politik itu. Bahkan kadang-kadang pragmatisme politik ini dibumbui dengan berbagai macam dalil atau ‘dalil’ yang mereka anggap bisa memperkuat argumen pragmatisme politik mereka.

Beberapa ‘dalil’ itu antara lain kaidah syara’ yang sangat terkenal, yaitu:
1)     Idzaa ta’aarodho syarrooni au dhororooni dafa’a asyaddadh dhororoini wa a’zhomasy syarroini
(Jika ada dua keburukan atau kemadharatan bertemu maka yang lebih berat madharatnya dan lebih besar keburukannya harus dihilangkan)

2)     Idzaa ta’aarodho mafsadataani ruu’iya a’ zhomuhumaa dhororon bi irtikaabi akhoffihimaa
(Jika ada dua kemafsadatan bertemu maka yang harus diperhatikan adalah yang lebih besar mafsadatnya, dengan melaksanakan yang lebih ringan-kemafsadatannya)

Kaidah yang atas, pada intinya memerintahkan kita agar kita memilih kemadharatan yang lebih kecil daripada kita mengalami kemadharatan yang lebih besar. Asumsinya begini: berjuang di dalam sistem kufur merupakan suatu kemudharatan. Tetapi ketika orang-orang yang tidak berpihak pada Islam berkuasa dalam sistem kufur ini, maka ini merupakan kemadharatan yang lebih besar daripada kemadharatan yang pertama. Sehingga, berdasarkan hal tersebut, mereka (orang-orang pragmatis) lalu menerapkan kaidah syara’ di atas. Asumsinya: dengan berjuang di dalam sistem kufur maka telah memilih kemudharatan atau kemafsadatan yang lebih kecil daripada kemudharatan/kemafsadatan yang kedua.

Ada juga kaidah yang lain yang juga digunakan mereka (orang-orang pragmatis), yaitu sebagai berikut.

3)     Maa laa yudroku kulluhu laa yutroku jalluhu
(Apa-apa yang tidak bisa diraih semuanya jangan ditinggalkan semuanya)

Asumsi orang-orang pragmatis begini: Kita (orang Islam) ingin meraih semua kekuasaan di negeri ini untuk diterapkan syariat Islam. Tetapi tidak bisa, sebab dihalang-halangi orang-orang yang tidak berpihak pada Islam. Dengan berdasarkan kaidah di atas, kita (umat Islam) jangan meninggalkan kekuasaan semuanya, paling tidak, ada satu atau dua kekuasaan yang bisa dipegang orang-orang yang memperjuangkan syariat Islam.

Demikianlah. Pragmatisme politik diberi ‘lipstik’ kaidah-kaidah syara’ untuk metode ‘dakwah’ mereka. Lalu bagaimana sebenarnya mendudukkan kaidah-kaidah di atas? Apakah benar demikian? Jika iya, berarti kaidah itu sah (legal) untuk dijadikan alasan pragmatisme politik. Apakah demikian?

Hakikat Dhoror
Dalam kaidah pertama dan kedua, disebutkan istilah dhoror. Apa yang dimaksud dengan dhoror itu? Menurut ulama ushul yang banyak membuat berbagai kaidah-kaidah syara’, yang dimaksud dengan dhoror adalah: Sampainya batas ketika sesuatu yang dilarang itu diperoleh, maka akan menemui kecelakaan atau kebinasaan atau nyaris binasa. Atau bisa juga bermakna: Suatu keterpaksaan yang sangat mendesak yang dikhawatirkan akan menimbulkan kebinasaan atau kematian. Pemahaman ini bisa kita lihat dalam kitab Asybah wan Nazhooir karya Imam As Suyuthi.

Cakupan dhoror itu ada dua aspek: pertama, memang secara jelas ditunjukkan bahayanya (baik oleh benda/perbuatan); dan yang kedua, dikatakan dhoror karena ada qarinah atau indikasi yang menyertainya. Contoh pada aspek yang pertama bisa terjadi pada benda dan perbuatan, tidak dikhususkan pada salah satunya. Pada benda, misalnya racun. Sedangkan pada perbuatan, misalnya seseorang yang membongkar rahasia kekuatan pasukan Islam (dalam suatu medan jihad) ketika dirinya ditawan musuh. Keduanya sama-sama merupakan hal yang berbahaya.

Contoh pada aspek yang kedua: mata uang dollar itu mubah, halal zatnya (bendanya). Tetapi bisa haram memperjualbelikannya karena akan membahayakan stablitas keuangan negara. Ada lagi, seseorang yang memberikan informasi tentang usaha-usaha dakwah kepada orang kafir. Pada dasarnya hukum memberikan informasi tentang aktivitas dakwah itu mubah, tetapi tetap saja tidak dibenarkan, karena bisa menggerus dakwah Islam.

Jadi, dhoror itu bisa menimpa diri sendiri, bisa juga menimpa orang lain. Ingat, sekali lagi batasan dhororadalah sampainya seseorang atau orang lain dalam kebinasaan atau kematian atau nyaris binasa seperti kelumpuhan dan lain sebagainya.

Pertanyaannya:
Apakah kalau kaum muslimin tidak berkecimpung di politik praktis maka akan mengakibatkan kaum muslimin di Indonesia ditimpa berbagai dhoror? Atau kaum muslimin di Indonesia akan binasa atau mati seluruhnya? Atau kaum muslimin akan mengalami kondisi yang mengakibatkan diri mereka tersiksa secara fisik hingga mengalami kelumpuhan atau kesakitan yang luar biasa?

Jawabannya, belum pasti. Karena belum pasti, maka kaidah di atas tidak bisa diberlakukan.

Jadi, jika seseorang tidak berada dalam konteks dhoror tersebut, maka dalam konteks seperti ini tidak ada pilihan: mana di antara keduanya yang paling ringan dhoror-nya. Bahkan cara ini tergolong cara yang bodoh dalam menghadapi dan menyelesaikan persoalan.

Misalnya, lokaslisasi pelacuran adalah haram. Keberadaan lokalisasi pelacuran itu dilegalkan dengan alasan menghindari dhoror yang lebih besar, yaitu terjadinya seks liar atau transasksi seks bebas. Atau melegalkan ATM Kondom dengan alasan menghindari dhoror yang lebih besar, yaitu tersebarnya virus HIV/AIDS. Penerapan kaidah syara’ seperti ini jelas keliru, bodoh, dan serampangan. Sebab, kedua dhorortersebut merupakan bentuk pelanggaran syariat, yang sebenarnya bisa dihindari dan tidak engharuskan memilih salah satu di antara keduanya. Bahkan menghilangkannya pun bisa.

Jadi, tidak bisa kita mengatakan: daripada dikuasai orang-orang yang sekulernya banyak, mendingan dikuasai orang-orang yang sekulernya sedikit. Atau: daripada virus HIV/AIDS tersebar, mendingan legalkan ATM Kondom atau lokalisasi pelacuran. Atau yang lainnya.

Melaksanakan Kewajiban yang Sukar Dilaksanakan
Berkaitan dengan kaidah syara’ yang kedua, yaitu: jika tidak bisa diraih semuanya, maka jangan ditinggalkan semuanya, maka jawabannya adalah sebagai berikut.

Kaidah: maa laa yudroku kulluhu laa yutroku jalluhu, adalah sebuah kaidah kaidah syara’ yang memerintahkan kita melaksanakan kewajiban, karena kewajiban itu memang wajib dilaksanakan meski kewajiban itu memang sukar untuk dilakukan. Sehingga, apa pun yang terjadi, kewajiban syara’ itu memang harus dilaksanakan, sekalipun sulit. Mengapa? Sebab, sukarnya melaksanakan kewajiban tidak akan menggugurkan kewajiban secara keseluruhan.

Menurut Imam As Suyuthi, kaidah syara’ ini digali dari hadis Rasulullah saw., “Idzaa amartukum bi amrin fa’tu minhu mastaho’tum (Jika aku memerintahkan kepada kalian suatu urusan/perintah, tunaikanlah urusan/perintah itu sesuai dengan kemampuan kalian).”

Oleh karena itu, maksud dari kaidah syara’ tersebut adalah bahwa kewajiban itu memang harus ditunaikan sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Artinya, kita harus mengerahkan kekuatan semaksimal mungkin untuk melaksanakan kewajiban tersebut, sekalipun sulit dilakukan.

Penerapan kaidah ini, misalnya sebagai berikut.
Misalnya kita dipenjara. Padahal waktu salat tiba. Sementara itu kita tidak diperbolehkan keluar untuk mengambil air wudhu. Maka kondisi itu tidak akan bisa menghapus kewajiban seseorang untuk mendirikan salat. Sebab, tidak bisa dilakukannya wudhu atau tayamum tetap tidak bisa menggugurkan kewajiban salat. Artinya, jika tidak bisa melaksanakan kewajiban salat secara ideal, jangan ditinggalkan semua (kewajiban salat itu). Tetapi, tetaplah salat, sekalipun sulit dilakukan atau dengan kondisi yang tidak ideal.

Atau begini: ketika seseorang baru masuk Islam dan belum menguasai bacaan-bacaan salat, dia tetap wajib salat meskipun dia harus dipandu oleh orang, dan tetap berusaha untuk menghafalnya.

Kaidah ini tidak bisa diberlakukan pada: keterlibatan kaum muslim di pemerintahan kufur. Sebab, masih ada kemungkinan lain untuk meraih kekuasaan, tanpa harus terlibat di dalamnya. Yaitu meraih kekuasaan dengan jalan umat, bukan parlemen atau melalui sistem kufur tersebut. Jadi, konteks yang ditinggalkan bukan sistem kufurnya, tetapi cara untuk meraih kekuasaan tersebut.

Artinya: Jika tidak bisa melaksanakan semua kewajiban syariat (secara kaffah), jangan ditinggalkan semua kewajiban itu, sebab masih ada kewajiban lain yang bisa ditunaikan, yaitu meraih kekuasaan dengan jalan umat.

Dikatakan meninggalkan semuanya (meninggalkan upaya meraih kekuasaan), jika seseorang berdiam diri dan tidak melakukan apapun. Ini dikatakan meninggalkan semua upaya untuk meraih kekuasaan.

Jadi, maknanya bukan: karena kita tidak bisa meraih semua kekuasaan, maka harus mengambil salah satu kekuasaan.

Ini tidak benar. Sehingga penggunaan kaidah-kaidah di atas sebagai ‘dalil’ untuk memperkuat argumen pragmatisme politik, jelas sesuatu yang serampangan.

Dalam pandangan Hizbut Tahrir, dalil syariat itu hanya ada empat, yaitu Alquran, Sunnah, Ijma’ sahabat, dan qiyas syar’i. Sedangkan yang lain, seperti syar’u man qablana (syariat-umat-umat terdahulu), mazhab sahabat, ‘urf, mashalih mursalah, dan sebagainya bukanlah dalil syariat, tetapi sesuatu yang dianggap dalil padahal bukan dalil. Apalagi kaidah syara’, jelas itu bukan dalil. Sebab, pada dasarnya kaidah syariat adalah setiap kadiah yang digali dari dalil-dalil syariat.

Jadi, penerapan kaidah-kaidah di atas untuk memperkuat argumen pragmatisme politik, jelas tidak tepat.

Wallahu a'lam..
Sumber : http://www.globalmuslim.web.id

Minggu, 18 Desember 2011

Refleksi Akhir Tahun 2011


Tahun 2011 segera akan berlalu. Banyak peristiwa telah terjadi. Terhadap 10 (sepuluh) peristiwa atau topik penting baik menyangkut ekonomi, politik maupun sosial budaya di sepanjang tahun 2011, Hizbut Tahrir Indonesia memberikan catatan.
1. RAKYAT MISKIN DI NEGARA KAYA
Di tahun 2011 ini sejumlah survei mengemukakan adanya peningkatan nilai kekayaan orang-orang kaya di Indonesia. Majalah Forbes misalnya pada November lalu merilis 40 daftar orang terkaya di Indonesia dengan akumulasi kekayaan US$ 85,1 miliar. Angka tersebut naik 16% dari tahun sebelumnya. Dengan kata lain, nilai kekayaan mereka setara dengan 11 persen total PDB Indonesia yang tahun ini diperkirakan mencapai US$752 miliar. Hebatnya, tiga orang terkaya dari daftar tersebut tersebut memiliki total kekayaan US$32,5 miliar.
Sementara itu, Nomura, lembaga riset yang berbasis di Jepang, dalam laporannya Indonesia: Builiding Momentum, menyebutkan jumlah kelas menengah (middle class) Indonesia dengan pendapatan US$3.000 pertahun naik drastis dari 1,6  juta orang pada 2004 menjadi 50 juta pada tahun 2009. Peningkatan tersebut seiring dengan naiknya harga komoditas di pasar internasional. Berbagai laporan lembaga lainnya juga memiliki keseimpulan yang sama bahwa jumlah orang kaya di Indonesia beserta asetnya semakin tinggi.
Namun di sisi lain, tragisnya angka kemiskinan di negeri ini masih sangat tinggi. Menurut BPS penduduk miskin Indonesia tahun 2011, dengan pengeluaran kurang dari 230 ribu, mencapai 30 juta jiwa. Jika ditambahkan dengan penduduk ‘hampir miskin’ yang pengeluarannya antara Rp 233-280 ribu, jumlahnya meningkat menjadi 57 juta orang atau 24% dari total penduduk Indonesia. Jumlah itu membengkak jika menggunakan standar kemiskinan internasional yakni kurang dari US$2 perhari. Menurut laporan Bank Dunia, pada tahun 2009, sebanyak 50,7%  atau lebih dari separuh dari penduduk negeri ini masih dalam kategori miskin (World Bank, World Development Indicators 2011).
Selain itu, potret rendahnya tingkat kesejahteraan penduduk Indonesia juga terlihat dari peringkat Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index) yang dikeluarkan oleh UNDP. Posisi Indonesia berada pada urutan ke-124 dari 187 negara. Posisi tersebut lebih rendah dari beberapa negara Afrika seperti Gabon, Bostwana dan Afrika Selatan. Indeks tersebut dianggap lebih peka memotret tingkat kesejahteraan penduduk suatu negara dibandingkan dengan GDP. Ini karena indeks tersebut tidak hanya memotret tingkat pendapatan penduduk, namun juga aspek kesehatan dan akses mereka terhadap pendidikannya. Ini membuktikan bahwa meski Indonesia masuk ke dalam anggota G-20, kelompok negara-negara yang memiliki GDP terbesar dunia, namun tingkat kesejahteraan rakyatnya masih sangat rendah.
Fakta di atas jelas sangat ironis mengingat Indonesia adalah negeri yang memiliki kekayaan yang melimpah. Sekedar ilustrasi, Indonesia adalah negara penghasil minyak terbesar ke-29 di dunia. Sementara itu cadangan gasnya mencapai 160 TSCF (triliun standard cubic feet) atau terbesar ke-11 dunia. Indonesia juga kaya batu bara atau terbesar ke-15 dunia dengan jumlah cadangan sebanya 126 miliar ton pada 2009. Selain itu, negara ini juga kaya dengan barang tambang seperti: emas, perak, nikel, timah, tembaga dan biji besi. Belum lagi hutan dan lautnya yang memiliki potensi ekonomi yang sangat besar.
Sayangnya, kekayaan alam tersebut justru lebih banyak dinikmati oleh negara lain dan segelintir investor swasta domestik. Berdasarkan data Neraca Energi Kementerian ESDM tahun 2009, dari 346 juta barrel minyak mentah yang diproduksi di dalam negeri, 38% diekspor ke negara lain. Ironisnya pada saat yang sama Indonesia harus mengimpor minyak mentah 129 juta BOE, atau 35% dari total produksi dalam negeri. Ini karena 85 persen produksi minyak Indonesia dikuasai oleh swasta termasuk swasta asing. Di sisi lain, rakyat terus dibuat sengsara akibat harga minyak terus dinaikkan agar sesuai dengan harga internasional.
Demikian pula dengan gas alam Indonesia. Sudahlah produksinya dimopoli swasta asing,  sebagian besar hasilnya justru dijual ke luar negeri dengan kontrak-kontrak jangka panjang. Dari total produksi 459 juta BOE (barrel of oil equivalent) pada 2009, hampir 60% diekspor ke luar negeri yang terdiri dari gas alam (12%) dan LNG (48%). Sisanya dibagi-bagi untuk industri (19%), PLN (10%), dan lain-lain. Padahal dengan jumlah tersebut, kebutuhan domestik sangat tidak memadai. Sejumlah industri menjerit-jerit kekurangan pasokan gas. Hal yang sama dialami PLN. Akibat kekurangan gas, pembangkit listrik tenaga gas PLN terpaksa menggunakan BBM yang biaya jauh lebih mahal. Padahal menurut catatan PLN, jika Januari-September 2011, PLTG yang ada menggunakan gas maka anggaran yang dapat dihemat setidaknya Rp 5 triliun.
Sumber energi lainnya seperti batubara juga sama, dimonopoli swasta. Dengan produksi sekitar 250 juta ton, 77 persen justru diekspor ke luar negeri. Kalaupun dijual ke dalam negeri termasuk kepada PLN, maka ia dijual dengan harga internasional. Mahal dan langkanya sumber energi tersebut membuat biaya listrik dan harga-harga barang menjadi lebih mahal. Ujung-ujungnya rakyat yang menanggung akibatnya. Demikian pula dengan barang tambang lainnya seperti emas, perak, tembaga, timah dan nikel juga dimonopoli swasta. Sejumlah BUMN memang ikut menjamah kekayaan tersebut namun peran mereka makin terpinggirkan. Bahkan untuk menuntut kenaikan royalti dari perusahaan-perusahan tambang atau memiliki sebagian sahamnya saja seperti pada kasus kepemilikan 7% saham PT Newmont pemerintah tak berdaya. Padahal jika barang tambang tersebut dikelola pemerintah maka kontribusi terhadap pendapatan negara akan sangat besar. Selain tidak perlu berutang, negara ini dapat mengalokasikan dana yang lebih besar untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Ketimpangan pendapatan, kemiskinan yang merajalela serta penguasaan kekayaan alam oleh segelintir orang jelas merupakan konsekuensi dari pemberlakuan sistem kapitalisme.  Dalam sistem tersebut, pertumbuhan ekonomi yang tinggi dianggap sebagai jalan menuju kesejahteraan. Tak peduli siapa yang menciptakan dan menikmati pertumbuhan itu. Asumsinya, semakin tinggi pertumbuhan ekonomi yang dapat diraih oleh suatu negara, semakin tinggi kesejahteraan yang dapat diciptakan. Di samping itu, kebebasan atau liberalisasi ekonomi diberlakukan sebab dengan cara demikian produktivitas dan efisiensi dapat digenjot. Pihak swasta diberi ruang yang lebih dominan sementara peran negara diminimalkan.  Doktrin tersebut kemudian menjadi ruh berbagai peraturan perundangan di bidang ekonomi seperti UU Penanaman Modal, UU Migas, UU Sumber Daya Air dan UU Kelistrikan. Namun demikian, pada kenyataannya bukannya menguntungkan rakyat banyak, peraturan-peraturan tersebut justru membuat rakyat negeri ini makin merana sementara asing makin leluasa.
Jaminan Sosial Tanggung Jawab Siapa ?
Kesengsaraan rakyat tampaknya akan terus bertambah, apalagi setelah  DPR mensahkan UU BPJS.  Melalui UU ini, yang katanya hendak mengejawantahkan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) sesuai falsafah gotong royong dan terutama sila kelima dari Pancasila, mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, pada faktanya menurut  mantan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari,  yang kini menjadi anggota Wantimpres,  isinya jelas membebani rakyat karena sama saja dengan memaksa rakyat untuk ikut asuransi.
Kesalahan mendasar dari sistem jaminan sosial yang diadopsi Undang-undang SJSN ini adalah  negara tidak boleh ikut campur tangan dalam menangani urusan masyarakat termasuk dalam urusan ekonomi dan pemenuhan kebutuhan sosial masyarakat seperti kesehatan, pendidikan maupun keamanan. Oleh karena itulah walaupun namanya  Sistem Jaminan Sosial Nasional, tapi  isinya adalah menarik iuran wajib tiap bulan dari masyarakat tanpa pandang bulu, kaya maupun miskin. Hal ini bisa  dilihat pada  Bab 5 pasal 17, ayat 1,2 dan 3 UU No. 40/2004 tentang SJSN dimana dalam Ayat 1 disebutkan bahwa  tiap peserta wajib membayar iuran yang besarnya berdasarkan % upah atas suatu jumlah nominal tertentu. Sementara Ayat 2 menyatakan  pemberi kerja wajib memungut iuran dari pekerjanya dan menambahkan iuran yang menjadi kewajibannya dan membayarkan ke BPJS secara berkala. Dan Ayat 3 menyatakan  besarnya iuran ditetapkan untuk setiap jenis program secara berkala sesuai dengan perkembangan sosial ekonomi dan kebutuhan dasar hidup yang layak.
Konsep jaminan sosial seperti ini merupakan kebijakan tambal sulam untuk menutupi kegagalan sistem kapitalis. Melalui konsep negara kesejahteraan (welfare state) maka negara yang sejatinya dalam sistem kapitalis tidak boleh campur tangan langsung dalam urusan sosial kemasyarakatan, akan tetapi untuk menutupinya kerusakan tersebut negara dapat menjalankan beberapa pelayanan sosial.
Tapi jaminan sosial itu dilakukan dengan memungut dana dari masyarakat. Rakyat diwajibkan terlibat dalam kepesertaan dengan cara membayar iuran atau premi secara reguler kepada pelaksana jaminans sosial dalam hal ini BPJS. Dengan demikian, pengingkaran terhadap kewajiban tersebut bagi mereka yang dikategorikan mampu, dianggap sebagai pelanggaran hukum. Sebagaimana halnya pajak, pemilik perusahaan juga diwajibkan untuk menarik iuran kepada karyawannya melalui pemotongan gaji. Demikian pula para pekerja di sektor informal seperti petani, nelayan, buruh kasar yang dipandang tidak miskin, juga akan dipunguti iuran.  Kebijakan ini jelas akan semakin menambah kesengsaraan rakyat, terlebih lagi  kategorisasi miskin di negara ini sangat beragam. Ada garis kemiskinan yang dikeluarkan pemerintah setiap tahun berdasarkan survei pengeluaran rumah tangga. Adapula pula standar kemiskinan Bank Dunia sebesar US$ 2 perhari. Selain itu, ada Survey Rumah Tangga Sasaran Penerima Bantuan Langung Tunai (BLT) yang menetapkan orang miskin berbeda dengan kriteria sebelumnya. Masing-masing standar tersebut, menghasilkan jumlah orang miskin yang berbeda. Terlebih lagi dengan standar kemiskinan baru yang ditetapkan Standar Statistika  Negara  melalui Badan Pusat Statistik  menetapkan  standar kemiskinan baru untuk perkotaan semakin rendah dengan pengeluaraan sebesar Rp 7.000 per hari. Berarti angka kemiskinan akan turun drastis dan muncul orang kaya baru  karena orang yang berpenghasilan Rp 217.000 perbulan dengan asumsi satu bulan 31 hari tidak lagi masuk kategori miskin.  Padahal banyak pekerja di negeri ini termasuk di sektor formal sekalipun yang pendapatannya jauh di atas itu tidak bisa memenuh kebutuhan pokok yang layak. Selain itu, akibat tingginya inflasi yang tidak dapat dikendalikan pemerintah, komersialisasi berbagai fasilitas publik dan perluasan pungutan pajak, membuat biaya hidup rakyat akan semakin tinggi. Jika mereka kembali dipaksa untuk membayar iuran jaminan sosial tersebut maka dapat dipastikan beban hidup rakyat akan semakit berat.
Sementara itu, meski pengelolaan dana jaminan sosial bersifat nirlaba, yakni keuntungannya dikembalikan kepada peserta, namun BPJS memiliki independensi dalam pengelolaan dana tersebut. Dalam UU BPJS pasal 8 (b) disebutkan bahwa BPJS berwenang untuk “menempatkan  dana  jaminan  sosial  untuk  investasi  jangka  pendek  dan  jangka  panjang dengan  mempertimbangkan  aspek  likuiditas,  solvabilitas,  kehati-hatian,  keamanan  dana, dan hasil yang memadai.” Dengan demikian, BPJS berhak untuk mengelola dan mengembangkan dana tersebut pada berbagai kegiatan investasi yang dianggap menguntungkan. Dana tersebut, seperti dana asuransi lainnya, dapat diinvestasikan pada berbagai portfolio investasi seperti saham, obligasi dan deposito perbankan.
Dana dari 250 juta rakyat Indonesia itu nanti disetor ke BPJS lalu dikuasakan ke segelintir orang yang namanya wali amanah. Lembaga ini sangat independen. Tidak boleh ada campur tangan pemerintah. Sangat boleh jadi, nanti dana yang terkumpul ini akan digunakan untuk kepentingan bisnis kelompok tertentu termasuk perusahaan asing. Padahal dana ini dikumpulkan dari seluruh rakyat. Apalagi kalau 4 BUMN (ASABRI, TASPEN, JAMSOSTEK, ASKES) digabungkan akan terkumpul dana lebih dari Rp 190 triliun!
Oleh karena itu, wajarlah kalau UU SJSN dan UU BPJS sebagaimana halnya UU lain  sarat dengan intervensi asing.  Pembuatan UU tersebut merupakan bagian dari paket reformasi jaminan sosial dan keuangan pemerintah yang digagas oleh ADB pada tahun 2002, di masa pemerintahan Megawati. Hal tersebut terungkap dalam dokumen Asia Development Bank (ADB) tahun 2006 yang bertajuk “Financial Governance and Social Security Reform Program (FGSSR). Dokumen tersebut antara lain disebutkan, “Bantuan Teknis dari ADB telah disiapkan untuk membantu mengembangkan SJSN yang sejalan dengan sejumlah kebijakan kunci dan prioritas yang dibuat oleh tim penyusun dan lembaga lain.” Nilai pinjaman program FGSSR ini sendiri sebesar US$ 250 juta atau Rp 2,25 triliun dengan kurs 9.000/US$.
Dalam kondisi tertentu, dana tersebut dapat pula dimanfaatkan pemerintah untuk mem-bail-out sektor finansial jika terjadi krisis. Pada krisis 2008 misalnya, pemerintah Indonesia pernah memerintahkan beberapa BUMN untuk melakukan buy-back saham-saham di pasar modal untuk membantu mengangkat nilai IHSG yang melorot tajam akibat penarikan modal besar-besaran oleh investor asing.
Dengan demikian, yang diuntungkan dengan pemberlakukan UU tersebut nantinya adalah para investor dan negara-negara yang pembiayaan anggarannya bergantung pada sektor finansial. Inilah salah satu alasan mengapa pihak asing berambisi untuk mengegolkan UU ini.
Di sisi lain, dengan alasan agar dana yang dihimpun dapat dimanfaatkan dalam jangka panjang, maka pembayaran klaim terhadap peserta asuransi seperti pelayanan kesehatan, santunan kepada para pensiunan akan bersifat minimalis. Bahkan yang lebih tragis, sebagaimana yang terjadi di negara lain, perusahaan-perusahaan kesehatan yang bekerjasama dengan BPJS dengan berbagai alasan, dapat meningkatkan klaim pembiayaan kepada BPJS. Konsekuensinya, biaya iuran yang dikenakan BPJS kepada para peserta akan ditingkatkan. Jika masih kurang, negara dipaksa untuk memberikan dana talangan.
Bagi sebagian kalangan, Jaminan Sosial ini dipandang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat khususnya penduduk miskin. Padahal kenyataannya tidak, karena jaminan sosial tidak dimaksudkan untuk menjamin seluruh kebutuhan dasar rakyat. Bahkan dalam UU SJSN jaminan tersebut hanya terbatas pada asuransi kesehatan, kecelakaan, hari tua dan kematian. Padahal problem utama penduduk miskin adalah tidak tercukupinya kebutuhan dasar mereka secara memadai khususnya pangan, sandang dan papan.
Bahkan di negara-negara yang dianggap maju sekalipun, sistem jaminan sosial, pada faktanya tidak mampu mencakup berbagai kebutuhan dasar rakyatnya. Buktinya, mengutip data ILO, pengangguran yang menerima jaminan sosial di negara-negara berpenghasilan tertinggi sekalipun hanya 39% dari total pengangguran yang ada. Di AS dan Kanada, pengeluaran biaya kesehatan masyarakat yang dapat di-cover oleh belanja pemerintah termasuk melalui jaminan sosial hanya 47%. Selebihnya masih ditanggung oleh publik (ILO, 2011).
Dalam sistem kapitalisme, pemenuhan kebutuhan dasar tersebut tidak menjadi tanggungjawab negara. Negara yang menganut sistem tersebut sebagaimana Indonesia,  tidak memiliki metode baku dalam mendistribusikan kekayaan kepada orang-orang yang tidak mampu. Negara hanya berupaya agar pendapatan perkapita rakyat secara agregat mengalami peningkatan tanpa melihat apakah masing-masing individu rakyatnya mampu memenuhi kebutuhan dasarnya. Dengan demikian pemenuhan kebutuhan pangan, sandang dan papan tetap menjadi tanggungjawab rakyatnya sendiri.
Memang di negara-negara kapitalisme, negara kadangkala melakukan intervensi dalam bentuk subsidi. Namun demikian berbagai subsidi tersebut tidak dimaksudkan untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar seluruh rakyatnya. Di Indonesia misalnya, ada program penjualan beras miskin (raskin), Jamkesmas dan bantuan biaya pendidikan sebesar 20% dari APBN. Namun, tetap saja jumlah dan cakupannya sangat terbatas sehingga tidak mampu menjangkau seluruh penduduk yang terkategori miskin.
Penyebab utama dari masalah ini adalah kelemahan  kapitalisme dalam mendistribusikan kekayakan di tengah-tengah masyarakat. Fokus utama dari sistem ekonomi kapitalisi adalah pertumbuhan. Semakin tinggi pertumbuhan ekonomi yang dapat dicapai, semakin tinggi kesejahteraan yang dapat dicapai. Namun faktanya, kekayaan yang dihasilkan dari pertumbuhan tersebut hanya dinikmati oleh mereka yang unggul dalam kegiatan ekonomi khususnya para pemodal. Sementara mereka yang tersisih dari kegiatan ekonomi, seperti orang jompo, orang cacat, pengangguran, tetap tidak dapat menikmati kekayaan tersebut.
Para pemikir dan pengambil kebijakan di negara-negara kapitalisme bukan tidak menyadari hal tersebut. Berbagai cara ditempuh untuk menambal ‘lubang besar’ sistem ini, termasuk pemberian subsidi dan program jaminan sosial. Namun kenyataannya, masalah tersebut tidak juga dapat terselesaikan. Kemiskinan, pengangguran, disparitas pendapatan yang tinggi, malnutrisi, akses kesehatan yang mahal tetap menjadi masalah yang tak dapat dipecahkan oleh sistem ini.
Dalam Islam,   jaminan kebutuhan dasar  yaitu jaminan pemenuhan kebutuhan pokok individu seperti sandang, pangan dan papan maupun kebutuhan pokok berupa  kesehatan, pendidikan dan juga keamanan menjadi tanggung jawab Negara.  Secara praktis, hal ini telah dilaksanakan oleh Nabi Muhammad SAW dan para khalifah sesudahnya. Bukan hanya ketika masih hidup, setelah seseorang meninggalpun jaminan itu masih berlaku. Nabi SAW bersabda :
«فَأَيُّمَا مُؤْمِنٍ مَاتَ وَتَرَكَ مَالاً فَلْيَرِثْهُ ، وَمَنْ تَرَكَ دَيْناً أَوْضَيَاعًا فَلْيَأْتِنِي فَأَنَا مَوْلاَهُ»
Barang siapa yang mati dan meninggalkan harta maka harta tersebut untuk ahli warisnya akan tetapi barang siapa yang mati dan dia  meninggalkan utang atau orang-orang lemah maka datanglah kepadaku karena Akulah yang bertanggungjawab untuk mengurusnya.


2. KORUPSI MAKIN MENJADI-JADI
Bukan hanya tanaman, korupsi juga tumbuh subur di Indonesia. Keberadaan lembaga ‘super body’ Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun seperti tak mampu menyelesaikan persoalan akut ini. Kepolisian dan kejaksaan pun setali tiga uang. Meski ada kasus-kasus yang mencuat ke publik dan sempat ditangani secara hukum, itu hanyalah sebagian kecil dari mega korupsi yang telah terlanjur menggurita.
Dan pemberantasan korupsi tampak berjalan di tempat. Tidak ada efek yang signifikan dari berbagai penanganan yang sudah dilakukan. Tak mengherankan jika nilai Indonesia dalam pemberantasan korupsi masih di bawah 5 dari rentang skor nol sampai 10 berdasarkan Corruption Perceptions Index (CPI) terhadap 183 negara yang diumumkan oleh Transparency International pada bulan Desember 2011. Indeks terakhir ini menunjukkan kenaikan 0,2 dibandingkan tahun lalu. Artinya tidak ada perubahan signifikan.
Menurut  Transparency International Indonesia, skor Indonesia dalam CPI adalah 3,0, bersama 11 negara lainnya. Negara-negara tersebut adalah Argentina, Benin, Burkina Faso, Djibouti, Gabon, Madagaskar, Malawi, Meksiko, Sao Tome & Principe, Suriname, dan Tanzania. Dua belas negara itu menempati posisi ke-100 dari 183 negara yang diukur indeksnya.  Di kawasan ASEAN, skor Indonesia di bawah Singapura, Brunei, Malaysia, dan Thailand. Tapi Indonesia unggul atas Vietnam, Kamboja, Laos, dan Myanmar.
Sepanjang 10 tahun  menjadi obyek survei Transparancy International, pemberantasan korupsi tidak menunjukkan perubahan yang berarti. Total peningkatan skor hanya 0,8. Saat ini misalnya, masyarakat hanya disuguhi kabar pemberantasan korupsi kelas teri. Sementara kasus korupsi kelas kakap seperti BlBI atau skandal Bank Century, jauh dari harapan. Banyak yang menguap.
Tak salah pula jika ada yang mengatakan bahwa korupsi seperti virus yang telah menjamah seluruh bagian negeri ini. Hasil survei KPK yang dipublikasikan akhir November 2011 mengungkapkan Kementerian Agama menduduki peringkat terbawah dalam indeks integritas dari 22 instansi pusat yang diteliti. Peringkat terburuk selanjutnya adalah Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi serta Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah.
Nilai ketiga kementerian tersebut jauh di bawah standar integritas pusat yang mencapai 7,07. Angka indeks integritas pusat (IIP) Kementerian Agama hanya 5,37, Kemenakertrans 5,44, serta Kementerian Koperasi dan UKM 5,52. Rendahnya angka indeks integritas itu menunjukkan bahwa masih banyak praktik suap dan gratifikasi dalam pelayanan publik di lembaga pemerintah.
Temuan Transparancy International tersebut mengukuhkan apa yang sebenarnya terjadi di tengah masyarakat. Partai politik dan legislatif sebagai lembaga yang pernah dicap sebagai lembaga terkorup ternyata tak melakukan pembenahan. Malah mereka memanfaatkan kedudukannya untuk mengeruk uang negara.
Kasus paling menghebohkan tahun 2011 adalah korupsi Wisma Atlet SEA Games di Palembang, Sumatera Selatan. Tak tanggung-tanggung, kasus ini melibatkan pejabat teras Partai Demokrat-partai pengusung dan ‘milik’ Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Bendahara Umum Partai Demokrat M Nazaruddin terlibat di dalamnya. Ia sempat melarikan diri ke luar negeri selama tiga bulan sebelum akhirnya ditangkap di Kolombia.
Nazaruddin dalam pelariannya mengungkap bahwa apa yang dilakukannya sebenarnya adalah perintah dari Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum. Selain itu, dana hasil korupsi ini dibagi-bagi kepada anggota DPR. Ia menyebut keterlibatan anggota DPR Angelina Sondakh, I Wayan Koster, dan Mirwan Amir.
Tiga anggota DPR ini hingga akhir 2011 ini belum ditetapkan sebagai terdakwa. Yang diseret ke meja hijau baru M Nazaruddin, Sesmenpora Wafid Muharam, Manajer Marketing PT Duta Graha Indah (DGI), Muhammad El Idris, dan Manajer Marketing PT Anak Negeri Mindo Rosalina Manulang. Menteri Pemuda dan Olahraga, Andi Mallarangeng, yang disebut juga oleh Nazaruddin masih aman. Dalam sidang perdana Muhammad El Idris, terungkap Nazaruddin mendapat jatah uang sebesar Rp 4,34 miliar.
Namun dalam pelariannya Nazaruddin mengatakan bahwa uang hasil korupsi itu masuk ke Partai Demokrat, langsung ke tangan Anas. Jumlahnya jauh dari yang terungkap di pengadilan. Miliaran rupiah itu mengalir ke Partai Demokrat. Termasuk ke kongres partai itu di Bandung, Jawa Barat tahun 2010.
Ternyata, korupsi Nazaruddin memang jauh lebih besar lagi. Ketua KPK Busyro Muqaddas mengungkapkan ada 35 kasus yang menjerat Bendahara Umum Partai Demokrat yang sudah dipecat itu. Total nilai semua kasus itu adalah Rp 6,037 triliun. Namun, hingga akhir tahun 2011, tak ada lagi kabar tentang penanganan kasus perampokan uang rakyat itu.
Di tengah penanganan kasus Nazaruddin, tiba-tiba mencuat kasus suap di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans). Tiga orang ditangkap KPK. Mereka adalah Dharnawati (pengusaha swasta), Danong Irbarelawan (Kabag Perencanaan dan Evaluasi di Kemenakertrans) dan I Nyoman Suwisma (Sesditjen Pembinaan Pembangunan Kawasan Transmigrasi/P2KT).
Dhanawati tertangkap tangan sedang menyerahkan uang suap senilai Rp 1,5 miliar yang terbungkus kardus durian sesaat sebelum Lebaran tiba. Di persidangan terungkap uang Rp 1,5 miliar itu merupakan bagian dari commitment fee senilai Rp 7,3 miliar yang harus disetor ke Menakertrans.  Uang itu untuk memuluskan proyek percepatan pembangunan infrastruktur di daerah bidang transmigrasi di 19 kabupaten di seluruh Indonesia. Nilai dana pembangunan itu Rp 500 miliar.
Kasus ini pun menyeret Badan Anggaran DPR. Wakil rakyat itu diduga terlibat langsung dalam pengaturan proyek-proyek pemerintah. Bahkan anggota DPR Wa Ode Nurhayati menyebut bahwa badan tersebut mengutip 6-7 persen dari proyek-proyek di daerah.
Sayangnya, KPK  tidak kunjung segera menyeret pihak-pihak yang dianggap ikut menikmati dana haram tersebut, baik itu wakil rakyat hingga Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi serta orang-orang di sekeliling menteri.
Tidak hanya kalangan eksekutif dan legislatif, korupsi telah menjalar pula ke kalangan yudikatif. Selama tahun 2011 tercatat beberapa hakim dan jaksa yang ditangkap KPK. Hakim terakhir yang ditangkap adalah Hakim ad hock Pengadilan Hubungan Industri (PHI) Bandung, Imas Dianasari. Ia diancam hukuman 20 tahun penjara karena menerima suap  total Rp352 juta dari Manager HRD PT Onamba Indonesia, Odih Juanda.
Sedangkan jaksa yang tertangkap di November 2011 adalah Sistoyo dari Kejaksaan Negeri  Cibinong, Jawa Barat. Menurut KPK, ia menerima suap senilai Rp 99,9 juta.
Sementara itu, penegak hukum terlihat tak berani menangani kasus korupsi kelas kakap dan menyerempet orang-orang penting di kekuasaan. Kasus korupsi Rp 6,7 triliun Century tak ada perkembangan. Demikian juga kasus yang melibatkan istri petinggi PKS Adang Darajatun, Nunun Nurbaeti. Sosialita ini kabur ke luar negeri hingga kini.
Di sisi lain, banyak koruptor yang diadili di pengadilan tindak pidana korupsi daerah yang bebas. Sedangkan para koruptor yang terjerat hukum pun, sejauh ini mendapat hukuman yang tergolong ringan. Hampir semuanya dihukum penjara di bawah lima tahun. Itu pun mereka mendapatkan remisi (pengurangan) hukuman dan perlakuan khusus saat di penjara. Sempat pemerintah di bawah Menteri Kehakiman dan HAM Amir Syamsudin mengeluarkan moratorium terhadap remisi para koruptor, tapi begitu dikecam oleh partai politik, kebijakan itu direvisi kembali. Kebijakan ini jelas tidak akan menjerakan orang untuk berbuat korupsi dan malah bisa menyuburkan korupsi itu sendiri. Tak heran jika korupsi menggurita di mana-mana.  Tak salah bila koran Singapura, The Strait Times, pernah menjuluki Indonesia sebagai The Anvelope Country.
3. SEA GAMES DAN PENGHAMBURAN UANG RAKYAT
Indonesia baru saja usai menjadi tuan rumah pesta olahraga Asia Tenggara (SEA Games) XXVI pada 11 - 22 November lalu. Di tengah kesulitan ekonomi yang melanda rakyat, pemerintah tetap saja menggelar acara itu secara spektakuler. Tidak hanya dari sisi pelaksanaan, tapi juga dari sisi infrastruktur. Tak mengherankan jika pesta olahraga 2 tahunan ini terasa lain karena menghabiskan banyak biaya.
Lebih dari Rp 3 triliun total dana yang dihabiskan untuk penyelenggaraan Sea Games lalu. Dana sebesar itu didapat dari APBN 2010 Rp 350 miliar rupiah  dan dari APBN 2011 senilai Rp 2,1 triliun. Itu pun belum cukup sehingga pemerintah menambah lagi Rp 1 triliun dari APBN termasuk Rp 600 miliar dari anggaran untuk sektor pendidikan dan sumbangan dana dari sponsor.
Dana itu digunakan untuk membangun sarana-sarana olah raga yang baru. Pembangunan Jaka Baring Sport Center saja membutuhkan dana lebih dari Rp 3 triliun rupiah. Itu untuk membangun venues olahraga beserta fasilitas pendukung, seperti jalan, jembatan, saluran, pintu-pintu air. Sementara pembukaan dan penutupan menelan dana sekitar Rp 150 miliar.
Tampak ada keinginan yang kuat dari pemerintah untuk meningkatkan citra Indonesia di kawasan Asia Tenggara. Pembukaan dan penutupan dibuat sespektakuler mungkin dengan mendatangkan para ahli dari luar negeri agar acaranya mirip dengan pembukaan Olimpiade Beijing, China.
Bagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, SEA Games ini sangat membanggakan. Apalagi setelah Indonesia bisa menjadi juara umum. Ini kali pertama Indonesia juara umum setelah yang terakhir tahun 1997. Indonesia meraih 182 medali emas, 153 perak, 142 perunggu. Diikuti Thailand 108 emas, dan Vietnam 96 emas. Hasil ini lebih baik dibanding pada SEA Games sebelumnya di Vientiene, Laos. Saat itu, Indonesia hanya sampai peringkat ketiga.
Sebagai bentuk penghargaan kepada para atlet yang dianggap mengharumkan nama bangsa, pemerintah memberikan bonus sebesar Rp 200 juta per keping emas.  Demikian pula bagi peraih perak dan perunggu, mereka pun mendapatkan bonus kendati lebih kecil. Totalnya menghabiskan biaya lebih dari Rp 350 miliar.
Penghamburan uang rakyat itu terasa sangat menyesakkan rasa keadilan masyarakat. Banyak masyarakat yang terlunta-lunta kehidupannya tapi tidak pernah diurus karena dianggap tidak memberikan jasa kepada negara. Padahal banyak hal yang diberikan/dilakukan masyarakat secara langsung dalam membantu mengatasi persoalan di tengah masyarakat.
Peraihan prestasi para atlet olahraga sesungguhnya tak berdampak kepada kemajuan bangsa. Kalaupun memperoleh kehormatan, itu sifatnya sangat pribadi dan temporer. Paling banter yang menikmati ‘pujian’ itu adalah atlet itu sendiri dan pemerintah yang sedang berkuasa. Pengalaman negara Uni Sovyet yang sering menjadi juara umum dalam olimpiade internasional menunjukkan hal itu. Moncernya prestasi olahraga tak berpengaruh apa-apa. Negara itu tetap saja runtuh, dan olahraga tak mampu menopangnya.
Belum lagi dampak perhelatan olahraga ini memunculkan hal-hal negatif di tengah masyarakat. Olahraga senantiasa diiringi dengan perilaku seks bebas. Makanya, Komisi Penanggulangan AIDS Palembang sempat akan memasang ATM kondom di hampir 200 pojok kota. Dampak lainnya, masyarakat kecil dikorbankan kehidupannya/pencahariannya untuk menghormati pesta tersebut.  Dan yang paling menghebohkan, dana besar itu menjadi bancakan para koruptor. Mereka merampok uang rakyat itu atas nama pembangunan sarana olahraga.

4. GEJOLAK PAPUA DAN KISRUH FREEPORT
Sepanjang tahun 2011  bumi Papua terus bergejolak. Sebagiannya merupakan kelanjutan dari gejolak yang sudah lama berlangsung di sana. Berbagai gejolak di Papua sepanjang tahun 2011 itu dapat dikelompokkan menjadi empat: Pertama, yang bisa dikatakan sebagai fenomena baru, yakni gejolak yang terkait dengan perebutan kekuasaan dalam Pilkada. Misalnya, pada 31 Juli lalu terjadi konflik antar warga terkait pilkada di kawasan Ilaga, Kabupaten Puncak Jaya. Akibatnya, 20 orang tewas.
Kedua, konflik terkait PT Freeport Indonesia (PTFI). Pada pertengahan bulan Maret 2011 terjadi aksi pemogokan oleh para karyawan PTFI. Mereka menuntut kenaikan upah.  Menejemen PTFI menolak tuntutan para karyawan tersebut.  Akibatnya, aksi mogok karyawan makin membesar dan meluas, hingga akhirnya para karyawan memblokade jalan masuk ke PTFI.  Suasana tambah panas setelah pada 10 Oktober  terjadi bentrok polisi dengan karyawan di daerah Gorong-Gorong Kelurahan Koperapoka, Distrik Mimika Baru dan mengakibatkan dua orang korban tewas (satu karyawan dan satu orang anggota Brimob) serta 8 orang lainnya terluka.  Hingga kini masalah ini belum tuntas.  Entah kebetulan atau tidak, semua itu terjadi disaat pemerintah berusaha melakukan renegosiasi dengan PTFI dimana pemerintah meminta PTFI menaikkan pembayaran royalti PTFI agar sesuai ketentuan PP No 45/2003, yaitu royalti emas 3,75 persen, tembaga 4 persen, dan perak 3,25 persen. Saat ini, royalti yang diterima negara dari PTFI untuk emas 1 %, untuk tembaga 1,5% (jika harga kurang dari US$ 0.9/pound) sampai 3.5% (jika harga US$ 1.1/pound) dan untuk perak 1,25 %. PTFI menolak permintaan pemerintah itu.
Ketiga, terjadinya berbagai kasus penembakan yang menyasar karyawan PTFI, karyawan kontraktor PTFI, pendulang emas, masyarakat umum dan aparat baik kepolisian maupun TNI.  Menurut data Kontras, sejak Juli 2009 hingga November 2011, telah terjadi 26 kali penembakan di Papua.   Rinciannya, pada 2009 terjadi 12 penembakan, 2010 terjadi satu penembakan, dan pada 2011 terjadi 13 kali penembakan. Dari jumlah itu sejak Oktober 2011 terjadi 11 kali penembakan dengan korban jiwa 9 orang, yaitu tujuh orang karyawan Freeport dan dua orang pendulang emas.
Kasus penembakan paling akhir terjadi pada 18 November di Mil 51. Tidak ada korban. Lalu 20 November  di Mil 51 terjadi lagi penembakan yang menewaskan Fery William Sanyakit (50) dan melukai dua orang polisi, dan pada 22 November  di Mil 51-52 yang melukai sopir bus PT KPI Abu Bakar Shidiq dan praka Tekad. Sejak juli 2009 terhitung ada 12 orang tewas dan 46 terluka karena rangkaian penembakan itu.  Namun dari semua itu belum ada satupun pelaku yang ditangkap.
Keempat, gejolak terkait upaya memerdekakan Papua dari NKRI.  Upaya itu dilakukan melalui tiga elemen yang bermain dalam satu tujuan yang sama dan berbagi tugas.
Pertama, elemen gerakan bersenjata yaitu TPN/OPM (Tentara Pembebasan Nasional/Organisasi Papua Merdeka).  Selama ini TPN OPM inilah yang melakukan berbagai penyerangan dan kontak senjata di Papua, termasuk beberapa penyerangan pada akhir-akhir ini seperti yang diakui  oleh OPM sendiri.  Pada Juli 2011, 16 orang yang diduga OPM melakukan penyerangan di wilayah Paniai. Mereka melarang pembangunan menara televisi Papua. Terjadi lah baku tembak dengan polisi. Juga penyerangan di wilayah Nafri pada 1 Agustus. Sebuah mobil diserang oleh sejumlah orang dengan senjata tajam dan senjata api yang mengakibatkan empat orang tewas, tiga luka berat dan dua luka ringan.
Kedua, elemen diplomatik di luar negeri terutama dua organisasi yaitu ILWP (International Lawyer for West Papua) dan IPWP (International Parliament for West Papua).  Keduanya bermarkas di Eropa (Inggris) dan diinisiasi serta dimotori oleh organisasi yang dipimpin oleh Beny Wenda, yaitu FWPC (Free West Papua Campaign).  ILWP dan IPWP inilah yang diberi mandat TPN/OPM dan didukung oleh KNPB untuk memperjuangkan kemerdekaan Papua melalui internasionalisasi masalah Papua dan mendorong PBB untuk membahasnya baik dalam Majelis Umum atau dalam Komite Kolonialisasi.
ILWP pada 1 Agustus 2011 mengadakan konferensi untuk mengangkat masalah kemerdekaan Papua di tingkat Internasional.  Konferensi itu  diselenggarakan di East School of the Examination Schools, 75-81 High Street, Oxford dengan tema: “West Papua? The Road to Freedom“. Pembicaranya antara lain: John Saltford, akademisi Inggris pengarang buku “Autonomy of Betrayal“, Benny Wenda pemimpin FWPC yang tinggal di Inggris, Ralph Regenvaru, Menteri Kehakiman Vanuatu, Clement Ronawery saksi Penentuan Pendapat Rakyat tahun 1969 dan Frances Raday anggota ahli Komite PBB untuk Pengurangan Diskriminasi terhadap Perempuan; dan dua pembicara dari Papua melalui video-link yaitu Dr. Benny Giay dan Pendeta Sofyan Yoman.
Ketiga, elemen politik dalam negeri baik LSM-LSM atau organisasi yang menguatkan tuntutan referendum baik melalui berbagai demonstrasi, seminar atau aktifitas lainnya. Diantaranya adalah aksi demontrasi pada 1 Agustus 2011 yang dimotori oleh KNPB (Komita Nasional Papua Barat) di Jayapura, Nabire, Timika dan Manokwari guna mendukung kemerdekaan Papua dan dimaksudkan sebagai dukungan terhadap konferensi yang dilakukan di London oleh ILWP.
Pada 19 Oktober di gelar Kongres Rakyat Papua (KRP) III di Lapangan Zakeus, Padang Bulan, Abepura, Kota Jayapura.  KRP III itu digagas oleh Kepemimpinan Kolektif Nasional Bangsa Papua Barat (KKNPB) beserta organisasi-organisasi di bawahnya, antara lain Presidium Dewan Papua, Yepena (Youth Papua National Authority), West Papua National for Leader Nation, dan Bintang 14 Melanesia Barat. KRP III diakhiri dengan pendeklarasian berdirinya Negara Federasi Papua Barat oleh Forkorus Yoboisembut, dengan Kepala Negera adalah Forkorus Yaboisembut sendiri dan Edison Waromi sebagai Perdana Menteri. KRP III ini akhirnya dibubarkan secara paksa oleh aparat kepolisian dan TNI hingga menewaskan enam orang.
Aksi paling akhir adalah aksi di Manokwari, Papua Barat, pada Kamis (17/11) yang dimotori oleh Komite Nasional Papua Barat (KNPB) dan Dewan Rakyat Papua. Aksi itu menyerukan pemisahan Papua dari Indonesia dan membawa petisi berisi pernyataan rakyat. Tokoh masyarakat dan gereja Papua Barat, ML Wanma, mengatakan isi petisi itu antara lain mempertegas pernyataan kemerdekaan Papua (BBC, 17/11/2011).
Masalah di Papua itu menarik perhatian AS.  Sebab kepentingan nasional AS memang terkait dengan Papua.  Masalah Papua itu setidaknya disinggung tiga kali oleh pejabat tinggi AS.  Menhan AS Leon Panetta dalam kunjungan kehormatan kepada Presiden SBY di Nusa Dua, Bali, Senin (24/10/2011) menyinggung masalah Papua.  Berikutnya, menjelang kunjungan Obama, menlu AS Hillary Clinton angkat suara mengenai konflik di Papua. Hillary menyampaikan kekhawatiran akan kondisi HAM di Papua. Ia menyerukan adanya dialog untuk memenuhi aspirasi rakyat di wilayah konflik tersebut (AFP, 11/11). Dan Obama sendiri dalam pembicaraannya dengan Presiden SBY di Bali juga menyinggung masalah Papua.
Terkait  masalah di Papua, menurut studi yang dilakukan LIPI ada 4 akar masalah di Papua. Pertama, masalah sejarah dan status politik integrasi Papua ke Indonesia yang  bagi sebagian orang Papua dianggap belum benar. Kedua, masalah operasi militer yang berlangsung sejak tahun 1965 menimbulkan trauma dan luka kolektif di masyarakat Papua tentang kekerasan negara dan pelanggaran HAM. Ketiga, deskriminasi dan marjinalisasi masyarakat Papua oleh berbagai kebijakan yang dibuat Pemerintah.  Keempat, kegagalan pembangunan Papua, khususnya pendidikan, kesehatan, dan ekonomi (Vivanews.com, 15/11).
Persoalan di Papua makin bertambah kerus setelah upaya Pemerintah Indonesia untuk mengubah isi kontrak karya dengan dua perusahaan tambang raksasa, PT Freeport Indonesia dan PT Newmont Nusa Tenggara, menemui jalan buntu. Kedua perusahaan raksasa asal Amerika Serikat itu menolak mentah-mentah usul perubahan terhadap empat hal yang selama ini dianggap merugikan pemerintah Indonesia. Yakni  luas wilayah kerja, perpanjangan kontrak, penerimaan negara atau royalti, dan kewajiban pengolahan dan pemurnian (Indopos, 6 Oktober 2011).
Khusus mengenai royalti, pemerintah Indonesia ingin menaikkan royalti emas di angka 3,75 %, tembaga 4 %, dan perak 3,25 % sesuai ketentuan PP No 45/2003. Saat ini, royalti yang diterima pemerintah dari Freeport hanya di kisaran 1 % untuk emas, 1,5-3,5 % untuk tembaga dan 1,25 % untuk perak. Akibat kecilnya royalti, pendapatan pemerintah sangat kecil dibandingkan dengan pendapatan yang diperoleh PT Freeport tiap tahun yang sangat besar (lihat tabel dibawah). Selama 5 tahun saja dari tahun 2004 -2008 pendapatan yang diperoleh Freeport sebesar 19.893 milyar US$ atau setara Rp 198 triliun. Sementara yang diterima pemerintah Indonesia dalam bentuk pajak dan royalti hanya   sekitar Rp 41 triliun selama 5 tahun itu. Tapi PTFI menolak ajuan pemerintah tersebut.
Produksi dan Pendapatan PT Freeport Tahun 2004-2008
Tahun Produksi Pendapatan GP Pajak Royalti
Emas (RibuOns) Tembaga (Juta tons) Juta US$ Juta US$ Juta US$ Juta US$
2004 1.456,20 996,5 1.980 804 266.4 43,5
2005 2.789,40 1.445,90 4.012 2380 781 103,7
2006 1.732 1.201 4883 2929 950 126
2007 2.198 1.151 5315 3234 1326 133
2008 1.163 1.094 3703 1415 612 113

9.338,60 5.888,40 19.893,00 10.762,00 3.669,00 519,20
Sumber: Eramuslim (2010)
Protes juga dilakukan oleh ribuan karyawan PT Freeport yang menuntut kenaikan gaji. Sejak Kamis 15 September 2011 lalu, ribuan karyawan PT Freeport masih melakukan aksi mogok kerja. Mereka menuntut peningkatan kesejahteraan dan upah yang sebanding dengan risiko kerja yang sangat tinggi. Menurut para karyawan, apa yang mereka peroleh jauh dari memadai. Bahkan, dari seluruh perusahaan tambang di dunia, gaji karyawan Freeport Indonesia yang paling rendah dan jauh dari standar bahkan bila dibandingkan dengan gaji karyawan Frreport di negara lain  padahal tingkat risiko kerja sangat tinggi, yakni bekerja di ketinggian 4.200 meter, berkabut, curah hujan tinggi, suhu dingin yang sangat ekstrem. Sebagai  perbandingan, tahun 2006 gaji pekerja tambang di Amerika Utara US$ 10-70 per jam, Amerika Selatan US$ 10-100 per jam dan Indonesia hanya US$ 0,98 - 2 per jam.  Tahun 2010 gaji pekerja tambang di Amerika Utara mencapai rata-rata US$ 66,432 per jam sedangkan Indonesia hanya US$ 4,421-7,356 perjam.
Diskriminasi bukan hanya terjadi antara gaji karyawan PTFI di Indonesia dan di negara lain, tapi di PTFI Indonesia sendiri terjadi diskriminasi yang mencolok antara karyawan Indonesia dan asing.  Di PTFI ini, karyawan lokal hanya dihargai bekerja dengan nominal Rp 30 ribu-50 ribu per jam, padahal karyawan asing (ekspatriat) di level sama rata-rata satu jam dibayar Rp 3 juta. (sumber: Batavia.com)
Akan tetapi baik tuntutan pemerintah maupun buruh tidak mendapat respon yang signifikan dari  PT Freeport.
Bila diperhatikan, munculnya masalah Freeport ini baik tuntutan pemerintah maupun tuntutan buruh sebenarnya disebabkan oleh 3 hal yang saling terkait, yaitu kontrak karya yang bermasalah, tekanan asing serta kebijakan ekonomi yang semakin liberal. Masalah kontrak karya, sejak Kontrak Karya (KK) I yang ditandatangani Soeharto sebagai Ketua Presidum Kabinet pada tanggal 7 April 1967 dan berlaku untuk Kuasa Pertambangan (KP) selama 30 tahun, isinya memang sangat merugikan negara.  Freeport mendapatkan berbagai keistimewaan sebagai perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia tetapi tidak terdaftar di Indonesia dan tidak tunduk dengan hukum Indonesia, mendapatkan tax holiday setelah tiga tahun berproduksi dan tanpa membayar royalti sampai tahun 1984 serta keistimewaann lainnya.  Ketika KK I berakhir, Freeport memperoleh kembali KK II selama 30 tahun sampai tahun 2021, bahkan bisa diperpanjang sampai tahun 2042 dengan kepemilikan saham tidak banyak berubah, yakni 81, 21  % dikuasai Freeport,  9,36 % milik pemerintah dan 9,36 % milik Indocooper Investama - sebuah perusahaan swasta lokal.
Keistimewaan dalam dalam KK ini diperoleh lewat tekanan asing dan kebijakan ekonomi neoliberal. Tekanan asing dilakukan oleh   pemerintah AS yang dianggap “berjasa besar” kepada pemerintah Soeharto dalam penumpasan G30S/PKI. Utang budi inilah yang digunakan sebagai “senjata” Freeport dan pemerintah AS untuk menekan Indonesia menerima begitu saja permohonan KP yang sangat merugikan itu. Sementara kebijakan neoliberal sangat tampak baik pada KK I maupun KK II dimana esensinya tidak lain adalah menyerahkan pengelolaan tambang ini ke perusahaan swasta (asing). Bahkan anehnya, ketika KK II dilakukan, Pemerintah yang ditawari untuk memperbesar sahamnya menyatakan tidak berminat, dan justru menyerahkan opsi saham itu kepada  swasta lokal, yakni Aburizal Bakrie (Bakrie Grup) yang membeli sekitar 10 % saham.
Ketiga sumber masalah Freeport tersebut diatas, yaitu kontrak karya yang bermasalah, tekanan asing serta kebijakan ekonomi  neoliberal,  tidak akan terjadi andai kebijakan pengelolaan sumber daya alam di negeri ini dilakukan berdasarkan syariat Islam. Dalam pandangan syariat Islam pengelolaan kekayaan alam seperti  tambang Freeport dan tambang lainnya  diatur sebagai berikut:
Pertama, dari segi kepemilikan. Tambang tembaga, emas dan sumber-sumber mineral dan tambang lainnya yang memiliki deposit yang sangat besar dikategorikan sebagai milik umum (milkiyyah ‘âmmah). Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abyadh bin Hamal al-Mazany dinyatakan bahwa:
أَنَّهُ وَفَدَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَقْطَعَهُ المِْلْحَ فَقَطَعَهُ فَلَمَّا وَلَّى قَاَل رَجُلٌ: أَتَدْرِيْ مَا أَقْطَعْتَهُ لَهُ؟ إِنَّمَا أَقْطَعْتَ لَهُ الْمَاءَ الْعِدَّ. قَالَ: فَرَجَعَهُ مِنْهُ
Bahwa ia datang kepada Rasulullah saw meminta (tambang) garam, maka beliau pun memberikannya. Setelah ia pergi ada seorang laki-laki yang bertanya kepada beliau, “Wahai Rasulullah, tahukah apa yang engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya engkau telah memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir. Lalu ia berkata: Kemudian Rasulullah saw pun manarik kembali tambang itu darinya” (HR Abu Dawud).
Dalam hadits ini Rasulullah saw meminta kembali tambang garam yang telah diberikan kepada Abyadh bin Hamal setelah beliau tahu bahwa tambang garam itu depositnya sangat banyak. Ini menunjukkan bahwa ‘illah (sebab disyariahkannya suatu hukum) dari larangan tambang itu dimiliki secara pribadi adalah karena jumlahnya yang sangat banyak. Maka larangan tersebut tidak terbatas pada tambang garam saja. Cakupannya bersifat umum, meliputi semua barang tambang apa pun jenisnya yang depositnya melimpah laksana air mengalir.
Semua barang tambang seperti itu menjadi milik umum sehingga tidak boleh dimiliki oleh atau diberikan kepada seseorang atau beberapa orang. Juga tidak boleh diberikan keistimewaan kepada seseorang atau lembaga tertentu untuk mengeksploitasinya. Wajib ditetapkan sebagai milik umum atau milik masyarakat.
Kedua, pengelolaan barang milik umum tersebut sepenuhnya dilakukan oleh pemerintah sebagai wakil rakyat dimana hasilnya harus dipergunakan untuk kemaslahatan seluruh rakyatnya. Jika dalam proses eksplorasi dan eksploitasinya membutuhkan bantuan pihak swasta, maka posisi mereka hanyalah sebatas pekerja (ajir) dengan kompensasi tertentu. Dengan demikian pemerintah tidak diboleh melakukan perjanjian dengan pihak swasta dalam pembagian kepemilikan saham dari aset milik umum itu.
Negara wajib melindungi milik umum. Negara harus mencegah individu atau perusahaan swasta memiliki aset-aset yang termasuk milik umum. Jika ada individu atau swasta yang sudah terlanjur menguasainya seperti dalam kasus Freepoort saat ini,  maka yang harus dilakukan oleh Negara bukan melakukan negosiasi untuk menaikkan royalti atau menaikkan prosentase kepemilikan saham tapi  negara harus mengambil alih.  Pabrik dan instalasi yang sudah dibangun perusahaan swasta itu pun harus diambil atau diganti dengan harga yang sepadan. Diriwayatkan dalam salah satu hadits bahwa ada dua orang yang bersengketa dan meminta Rasulullah saw memberikan keputusan. Yang menjadi penyebabnya, salah satu dari mereka menanam kurma di tanah milik yang lain. Terhadap kasus tersebut, Rasulullah saw memutuskan bahwa pemilik tanah berhak atas tanahnya, dan pemilik pohon kurma harus mencabut pohon itu. Dari Rafi’ bin Khudayj bahwa Rasulullah saw bersabda:
مَنْ زَرَعَ فِي أَرْضِ قَوْمٍ بِغَيْرِ إِذْنِهِمْ فَلَيْسَ لَهُ مِنَ الزَّرْعِ شَيْءٌ وَلَهُ نَفْقَتَهُ
Siapa saja yang menanam di tanah suatu kaum tanpa izin, maka dia tidak berhak atas tanaman itu sama sekali, namun dia berhak atas biaya yang dikeluarkannya (HR Ibnu Majah, Ahmad, Abu Dawud, dan al-Tirmidzi)
Dengan demikian, jika ada pihak swasta yang membangun pabrik kemudian memproduksi barang-barang dari aset yang termasuk kepemilikan umum, maka statusnya seperti orang yang menanam pohon di atas tanah orang lain tanpa izin. Maka, sebagaimana hadits di atas, perusahaan swasta yang mengelola kepemilikan umum itu harus mengambil semua asetnya atau menjualnya kepada negara yang secara syâr’i berhak mengelola aset milik umum tersebut
Adapun penyelesaian tuntas masalah Papua tersebut hanya bisa dilakukan dengan pembangunan yang merata dengan melibatkan masyarakat Papua.  Hal itu perlu kebijakan pendanaan yang tepat yaitu bagi tiap daerah diberi dana sesuai kebutuhan pembangunannya dan diutamakan terlebih dahulu untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar seperti infrastruktur ekonomi, pendidikan, kesehatan, perumahan dan  keamanan.  Dan itu hanya bisa diujudkan oleh sistem ekonomi Islam yang menjadikan distribusi kekayaan secara adil sebagai fokusnya.  Tidak bisa oleh  sistem ekonomi kpaitalisme seperti yang terjadi selama ini, yang fokus pada pertumbuhan dengan mengabaikan distribusi kekayaan  secara adil. Dan tidak kalah pentingnya adalah harus dilakukan peleburan masyarakat menjadi satu kesatuan masyarakat yang di dalamnya tidak ada diskriminasi dan marjinalisasi.  Semua itu hanya bisa diujudkan jika syariah Islam  diterapkan secara utuh.  Hanya itulah solusi tuntas bagi semua problem di Papua.
5. KEDATANGAN OBAMA DI  KTT ASEAN, BALI 2011:
Mengokohkan Dominasi AS atas Asia Tenggara

Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Asia Timur di Bali 17-19 November 2011 telah berakhir. Obama telah kembali ke negaranya. Ia sukses membawa misi AS di KTT ini: makin menancapkan kukunya di Asia Tenggara, khususnya Indonesia. Obama juga pulang dengan meninggalkan sebuah pangkalan militer di Darwin, Australia.
Sejak awal, kunjungan Obama ke KTT itu memang direncanakan untuk kepentingan Amerika Serikat. Gedung Putih (Daniel Russel ) menyatakan kunjungan Presiden Barack Obama ke Asia sebagai kesempatan untuk menciptakan lapangan kerja, meningkatkan perdagangan, dan membuka pasar untuk barang-barang Amerika. Obama berkomitmen untuk menyeimbangkan kembali wilayah Asia, di mana demokrasi mulai muncul dan pengaruh Tiongkok yang semakin besar. Dia mengatakan rakyat Amerika ingin tahu apakah Amerika Serikat dapat menjadi tonggak stabilitas dan memproyeksikan kepentingannya di kawasan Pasifik. (http://www.voanews.com/indonesian/news/Lawatan_Obama_ke_Asia_Untuk_Penciptaan_Lapangan_Kerja.html ). Sementara Indonesia sendiri sejak awal keterlibatan adalam acara ini tidak punya agenda jelas. Posisinya Indonesia seperti sebatas event organizer (EO) untuk melayani kepentingan AS.
Ada sembilan butir kesepatakan KTT dalam tersebut, yakni: 1). Langkah-langkah konkret guna memperkuat ketiga pilar Komunitas ASEAN, 2). Penguatan pertumbuhan ekonomi di kawasan. Indonesia terus mendorong langkah-langkah bersama bagi penguatan pertumbuhan ekonomi kawasan, 3). Mengambil peran utama dalam menata arsitektur kerja sama kawasan yang lebih efisien dan efektif, 4). Menjaga stabilitas dan keamanan kawasan Asia Tenggara, 5). Penguatan peran ASEAN secara global, 6). Upaya bersama untuk memperkuat ekonomi Asia Timur (Kawasan EAS), 7). Upaya bersama untuk membangun landasan dan tindakan nyata menangani food, water, and energy security serta climate change, 8). Upaya bersama untuk mengatasi non-traditional security challenges: natural disasters, terrorism, transnational crimes, 9). Upaya bersama untuk memelihara perdamaian, keamanan dan stabilitas dan ketertiban Kawasan Asia Timur.
Dari butir kesepakatan itu tampak kuatnya dominasi AS. Melalui KTT itu AS berusaha mengerem pengaruh China dengan cara mengikat semua sektor strategis khususnya pertahanan keamanan (militer) dan ekonomi.
Misalnya, AS dengan gamblang berencana menempatkan 2.500 personil tentaranya di pangkalan militer AS di Darwin, Australia. Obama mengatakan pasukan itu ditujukan untuk penanggulangan keadaan darurat dan kemanusiaan. Pertanyaannya, keadaan darurat apa yang dimaksud? Pastinya bukan untuk bencana alam karena Australia bukan kawasan rawan bencana. Yang paling mungkin, kehadiran pasukan dengan kemampuan khusus itu adalah untuk (1) mengamankan dominasi AS di ASEAN di antaranya dari pengaruh China; (2) untuk menjaga ‘aset’  Freeport di Papua. Jarak antara pangkalan militer tersebut dengan wilayah RI hanya 820 km, dan dekat dengan Papua.
KTT Asia Timur ini memperlihatkan konflik yang menonjol antara China dan Amerika Serikat. AS berusaha melebarkan pengaruhnya di ASEAN dan mengurangi pengaruh China melalui pendekatan politik kawasan, yakni kepada sekutu-sekutunya di ASEAN. Sedangkan China menghendaki penyelesaian secara bilateral. Menlu Cina Wen Jibao juga menolak masuknya “pasukan luar” untuk terlibat dalam perselisihan di kawasan Laut China Selatan. China sendiri berusaha menancapkan pengaruhnya di antaranya dengan berencana memberikan dana 3 miliar yuan (US$ 473 miliar) untuk kerjasama industri maritim dengan negara-negara Asia Tenggara.
Kebijakan ini menunjukkan AS melihat ASEAN sebagai kawasan geopolitik yang amat strategis karena sebelumnya AS telah menempatkan militernya di Singapura, Korea Selatan, Guam dan Jepang.
KTT ini juga menghasilkan kesepakatan mengenai penanganan soal perubahan keamanan non-tradisional yakni terorisme, bencana alam, dan kejahatan internasional.  Lagi-lagi soal terorisme sangat menonjol. Negara-negara di kawasan ini dituntut untuk mengimplementasikan ASEAN Convention on Counter-Terrorism (Konvensi ASEAN tentang kontra terorisme) dan ASEAN Plan of Action to Combat Transnational Crime (Rencana Aksi ASEAN melawan Kejahatan Transnasional).
Pembahasan isu terorisme tidak pernah ketinggalan dibawa AS di manapun. Sejak tragedi WTC 11 September 2011, AS menjadikan isu ini untuk menggebuk siapa saja yang akan meruntuhkan hegemoninya meski itu dilakukan dengan jalan damai.
Khusus kepada Indonesia,  AS juga mengucurkan bantuan keuangan berupa hibah dan investasi. Sejumlah perusahaan AS berencana untuk menambah investasi ke Indonesia hingga sebesar 450 juta US$. Di antaranya adalah Freeport, yang bersama sejumlah perusahaan lain telah bertemu dengan SBY pada pertemuan KTT APEC di Honolulu, Hawaii, 14 Nopember lalu.
China tampaknya tidak ingin kalah dengan kampanye yang dilakukan oleh Obama. Sebelumnya Obama menggelar kampanye diplomatik dengan menegaskan bahwa Washington sebagai kekuatan Pasifik. Para pengamat menilai China tampaknya terganggu dengan rencana penempatan militer AS di Australia. Hanya berselang sepekan setelah KTT berakhir, Cina mengumumkan akan menggelar latihan perang Angkatan Laut di kawasan samudera tersebut.
Trans Pacific Partnership (TPP)
Seperti diketahui, pada KTT  APEC 2011 di Honolulu, Hawaii, Barack Obama, mempromosikan kerjasama baru bernama Trans Pacific Partnership (TPP). Beberapa negara ASEAN sudah bergabung dalam kerjasama perdagangan bebas baru itu.
TPP sendiri diprakarsai sembilan negara dimana empat negara di antaranya adalah anggota ASEAN, yaitu Brunei Darussalam, Singapura, Malaysia, dan Vietnam. Otomatis empat negara tersebut sudah masuk menjadi anggota TPP. Sementara sejumlah negara Asia lain yang sudah siap bergabung yakni Jepang dan Thailand. Sedangkan dari Pasifik ada Kanada, AS, Meksiko, Selandia Baru, dan Australia.
Bagaimana dengan Indonesia? Tampaknya belum akan segera bergabung. Presiden SBY menegaskan, dirinya bukan mencurigai isu perdagangan bebas baru yang digagas AS-Australia itu. Tapi yang jauh lebih penting, menurutnya adalah terwujudnya perdagangan yang adil dan mendatangkan manfaat nyata bagi masyarakat.
Penolakan Indonesia terhadap ajakan Presiden AS Barack Obama bukan tanpa alasan kuat. Menteri Perindustrian MS Hidayat mengatakan perdagangan bebas yang digagas AS itu bakal tumpang tindih dengan perjanjian perdagangan lainnya yang sudah ada khususnya di ASEAN. Apalagi menurutnya, konsep TPP juga belum jelas benar. Saat ini pemerintah akan lebih fokus membenahi ekonomi terlebih dahulu, termasuk soal daya saing.
Penolakan terhadap TPP mungkin menjadi satu langkah maju bagi Pemerintah Indonesia. Apakah penolakan TPP merupakan langkah awal kabinet SBY untuk melakukan koreksi atas berbagai FTA (Free Trade Agreement) yang sangat liberal?
Mengapa AS bergitu ngotot mengajak Indonesia bergabung dalam TPP? Semua itu tidak lepas ‘ada udang di balik batu’. Pemerintah AS tentu berkepentingan besar terhadap TPP tersebut. Dengan beban keuangan negara dan tekanan pengangguran yang sangat berat, serta terbatasnya pilihan kebijakan untuk menyelamatkan ekonomi, TPP memiliki arti sangat penting bagi AS. Apalagi AS menganggap TPP tidak hanya sebatas perdagangan bebas, tetapi menjadi model kerja sama ekonomi yang lebih luas. Ini tentu menjadi harapan baru bagi AS untuk menyelesaikan masalah pengangguran dan krisis ekonomi yang tengah melanda.
Sebagai pengembang ideologi kapitalisme, AS memang terus akan mendorong perdagangan bebas yang merupakan bagian dari paket liberalisasi ekonomi. Dalam liberalisasi ekonomi, peran dan tanggungjawab pemerintah dalam sektor ekonomi akan dihilangkan. Bahkan, kemudian menyerahkan semuanya kepada individu dan mekanisme pasar (kekuatan penawaran dan permintaan).
6. OCCUPY WALL STREET DAN KERAPUHAN KAPITALISME
Pada September 2011, ribuan orang yang menamakan gerakannya Occupy Wall Street tumpah di distrik Wall Street, pusat keuangan AS. Aksi yang mulanya menggugat keserakahan Wall Street, dan kemudian kemudian berubah menjadi gerakan anti kapitalisme itu, kini terus berkembang dan menyebar ke berbagai negara di Eropa hingga Asia. Isi protes mereka antara lain: menentang ketidakadilan sosial dan ekonomi, pengangguran yang tinggi, keserakahan, korupsi, intervensi perusahaan-khususnya dari sektor jasa keuangan pada pemerintah dan sejumlah isu yang menjadi titik lemah kapitalisme selama ini.
Ketimpangan pendapatan negara-negara yang mempraktekkan kapitalisme memang sangat parah. Pada tahun 2007, 1% penduduk terkaya di Amerika Serikat memiliki 34,6% dari total kekayaan negara tersebut, dan 19% berikutnya menguasai 50,5%. Dengan kata lain, 20% golongan atas Amerika memiliki 85% kekayaan di negara tersebut. Sisanya, 80% populasi bawah hanya menguasai 15% dari kekayaan di AS (Forbes, 11/01/2011)
Selain itu, orang-orang kaya tersebut, khususnya mereka yang bekerja pada sektor keuangan, memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap berbagai kebijakan pemerintah, bahkan ada diantaranya yang terlibat langsung dalam pemerintahan. Itu terjadi karena mereka merupakan sumber utama keuangan partai politik.  Dalam sistem demokrasi seperti di AS, kekuatan finansial sangat menentukan kemenangan dalam kontestasi politik. Akibatnya, berbagai kebijakan pemerintah, termasuk yang terkait dengan sektor keuangan lebih berpihak kepada pemodal ketimbang rakyat banyak. Misalnya, Glass-Steagall Act yang sebelumnya melarang bank komersial terlibat dan menjadi penjamin (underwriter) dalam investasi dan kegiatan asuransi dicabut akibat tekanan para pemodal di Wall Street. Dengan dicabutnya UU tersebut, bank-bank dapat dengan leluasa menggunakan dana nasabah untuk berinvestasi di pasar modal termasuk pada aset-aset derivatif. Akibatnya, investasi di pasar modal mengalami bubble hingga akhirnya meletus pada tahun 2008. Sejumlah perusahaan raksasa seperti Lehman Brothers kolaps, sehingga sebagian diantarnya terpaksa dibail-out oleh pemerintah. Pertumbuhan ekonomi menurun drastis sementara angka pengangguran dan kemiskinan melonjak.
Meski telah berlangsung tiga tahun, hingga kini krisis tersebut tetap terasa. Padahal pemerintah dan Bank Sentral AS, The Fed telah menggelontorkan lebih dari US$ 2 triliun untuk membeli aset-aset lembaga keuangan dan industri yang mengalami krisis likuiditas. Namun upaya tersebut tidak banyak membantu. Padahal uang-uang tersebut merupakan utang yang nantinya dibayar oleh rakyat AS sendiri.
Murka para penentang kapitalisme juga muncul akibat besarnya keserakahan dan kejahatan kera putih (white - collar crime) di sektor finansial yang berbasis riba dan spekulasi.  Di antara kasus yang fenomenal adalah konspirasi perusahaan energi Enron dengan auditornya Arthur Andersen agar laporan keuangannya agar tetap kinclong di mata investor. Setelah kejahatan itu terbongkar, saham Enron anjlok dari U$ 90 menjadi hanya US$ 1 perlembar sebelum akhirnya bangkrut. Artinya, nilai kekayaan  pemegang sahamnya menciut 90 kali lipat. World Com juga menyusul bangkrut di tahun 2002 karena terbukti menggelembungkan asetnya sebesar $ 11 miliar. Kasus mutakhir adalah penipuan yang dilakukan oleh Bernie Madoff terhadap nasabahnya yang mencapai US$ 65 miliar atau sekitar Rp 585 triliun. Mantan kepala bursa saham NASDAQ  tersebut kemudian diganjar 150 tahun penjara. Di Indonesia kejahatan tersebut dapat dilihat pada kasus BLBI dimana negara dirugikan paling sedikit Rp 1.031 triliun. Belakangan ada kasus Bank Century yang merugikan negara Rp 6,7 triliun.
Selain bersumber dari sektor finansial, negara-negara kapitalisme juga menghadapi krisis akibat postur APBN mereka yang disesaki utang.  Pemerintah AS kini menghadapi persoalan pelik akibat tumpukan utang yang kini mencapai US$ 15,03 triliun. Beban utang tersebut terjadi akibat tidak seimbangnya antara belanja publik  dan militer negara itu dengan pemasukan negara. Meningkatnya kekhawatiran investor terhadap kemampuan AS dalam mengatasi problem utangnya membuat Standard & Poor’s, untuk pertama kalinya dalam sejarah menurunkan peringkat (rating) surat utang AS dari AAA menjadi AA+. Solusi dilematis terpaksa ditempuh negara itu. Dalam 10 tahun ke depan kemampuan belanja pemerintah dipastikan melemah setelah adanya program penghematan yang terpaksa ditempuh untuk mengurangi defisit tersebut. Namun di sisi lain, program tersebut justru mengurangi kemampuan pemerintah untuk menstimulus perekonomian AS yang kini masih sekarat.
Hal yang sama juga dialami negara-negara di kawasan Uni Eropa (Zona Euro). Hingga saat ini mereka masih berjuang untuk keluar dari krisis yang menimpa kawasan tersebut. Krisis tersebut mengemuka setelah Portugal, Irlandia, Spanyol dan Yunani  menyatakan kesulitan untuk membayar utang sehingga meminta bantuan kepada IMF dan Bank Sentral Eropa. Namun dalam perkembangannya, negara-negara lain seperti Perancis dan Italia, negara dengan ekonomi terbesar kedua dan ketiga di Eropa juga menghadapi problem yang sama. Sialnya, kemampuan IMF, Bank Sentral Eropa dan European Financial Stability Facility (EFSF) ternyata tidak cukup besar untuk menalangi seluruh utang negara tersebut. Adapun rencana penerbitan  surat utang bersama negara-negara Eropa (euro bond) untuk menalangi utang negara-negara yang mengalami krisis dikecam oleh Jerman karena khawatir ikut terjangkit krisis serupa.
Dampaknya, kepercayaan investor terhadap negara-negara tersebut makin melemah. Bunga obligasi negara-negara tersebut makin tinggi sehingga utang mereka makin membengkak. Di Yunani bahkan investor yang memegang surat utang pemerintah telah kehilangan separuh dari kekayaan mereka akibat ketidakmampuan negara tersebut membayar utang-utangnya. Di sisi lain, upaya penghematan yang dilakukan pemerintah seperti melakukan PHK, pengurangan subsidi dan  privatisasi justu membuat perekonomian di kawasan tersebut semakin lesu. Perdana Menteri Yunani, George Papandreou dan Perdana Menteri Italia, Silvio Berlusconi bahkan dipaksa mundur karena gagal mengatasi krisis tersebut.
Entah sampai kapan krisis tersebut berlangsung. Namun yang pasti fakta di atas melengkapi sejarah kelam sistem kapitalisme, sebuah yang diberlakukan hampir di seluruh dunia termasuk di negeri-negeri muslim seperti Indonesia. Berbagai cara memang telah ditempuh untuk menambal kelemahan sistem tersebut, namun tetap saja gagal dan justru melahirkan krisis baru. Oleh karena itu, adalah hal yang aneh jika kaum muslimin dan pemerintah di negeri-negeri muslim masih saja mempertahankan sistem yang bobrok ini, sementara di negara asalnya ia dikecam habis-habisan oleh penganutnya sendiri.

7.      DERADIKALISASI
Quo Vadis

Terkait isu terorisme, deradikalisasi dalam dua tahun terakhir menjadi ungkapan yang cukup populer. Secara bahasa deradikalisasi berasal dari kata “radikal” yang mendapat  imbuhan “de” dan akhiran “sasi”. Radikal sendiri berasal dari kata “radix” yang dalam bahasa Latin artinya “akar”. Jika ada ungkapan “gerakan radikal” maka artinya gerakan yang mengakar atau mendasar, yang bisa berarti positif (untuk kepentingan dan tujuan baik) atau negatif. Dalam Kamus, kata radikal memiliki arti secara mendasar (sampai kepada hal yang prinsip), sikap politik amat keras menuntut perubahan (undang-undang, pemerintahan), maju dalam berpikir dan bertindak (KBBI, ed-4, cet.I.2008). Dalam pengertian ini, hakikatnya sebuah sikap “radikal” bisa tumbuh dalam entitas apapun, tidak mengenal agama, batas teritorial negara, ras, suku dan sekat lainya.
Namun dalam konteks isu terorisme, radikal pemaknaannya menjadi sangat stereotip, over simplikasi dan subyektif. “Radikal” sebuah label yang dilekatkan kepada individu atau kelompok muslim yang memiliki cara padang, sikap keberagamaan dan politik yang bertentangan dengan mainstream yang ada. Atau dengan katagorisasi sebagai alat identifikasi, “radikal” adalah orang atau kelompok jika memiliki prinsip-prinsip seperti; menghakimi orang yang tidak sepaham dengan pemikiranya, mengganti ideologi Pancasila dengan versi mereka, mengganti NKRI dengan Khilafah, gerakan mengubah negara bangsa menjadi negara agama, memperjuangkan formalisasi syariat dalam negara, menggangap Amerika Serikat sebagai biang kedzaliman global.
Maka yang dimaksud “de-radikalisasi” adalah langkah upaya untuk merubah sikap dan cara pandang diatas yang dianggap keras (dengan julukan lain; fundamentalis) menjadi lunak; toleran, pluralis, moderat dan liberal.
Definisi radikal diatas sangat bias, persis seperti dunia Barat menjelaskan konsep radikal secara simplistik, bahwa radikalisme banyak diasosiasikan dengan mereka yang berbeda pandangan secara ektrem dengan dunia Barat (Lihat laporan utama majalah Time ed 13 September 2004, setebal sembilan halaman menjelaskan konsep radikal menurut kacamata Barat).
Hal ini sama biasnya terjadi ketika mendefinisakan “terorisme“. Sebuah labelisasi kepada kelompok atau individu muslim yang secara fisik atau non fisik mengancam kepentingan global imperialisme Barat. Di Indonesia dengan asumsi definisi terorisme no global concencus (tidak ada kesepakatan global), akhirnya pemaknaan dan implementasi kontra-terorisme melahirkan banyak korban dan umat Islam menjadi obyek sasaran.
T.P.Thornton dalam Terror as a Weapon of Political Agitation (1964) mendefinisikan terorisme sebagai penggunaan teror sebagai tindakan simbolis yang dirancang untuk mempengaruhi kebijakan dan tingkah laku politik dengan cara-cara ekstra normal, khususnya dengan penggunaan kekerasan dan ancaman kekerasan. Terorisme dapat dibedakan menjadi dua katagori, yaitu enforcement terror yang dijalankan penguasa untuk menindas tantangan terhadap kekuasaan mereka, dan agitational terror, yakni teror yang dilakukan mengganggu tatanan yang mapan untuk kemudian menguasai tatanan politik tertentu.
Jadi sudah barang tentu dalam hal ini, terorisme selalu berkaitan erat dengan kondisi politik yang tengah berlaku. Karena itu istilah ini juga rentan dipolitisasi. Kekaburan definisi membuka peluang penyalahgunaan. Namun pendefinisian juga tak lepas dari keputusan politis.
Maka deradikalisasi dan kontra-radikalisasi pada konteks ini adalah kebijakan politik sebagai upaya baik dalam bentuk langkah strategis maupun taktis untuk memotong seluruh variabel yang dipandang sebagai stimulan lahirnya tindakan “terorisme” baik pra maupun pasca (terkait pembinaan terhadap narapidana dan mantan combatan). Program ini lebih menekankan “soft approach“, baik kepada masyarakat secara luas, kelompok tertentu maupun kepada individu-individu tertentu yang masuk dalam jejaring kelompok yang dicap “radikal”, “teroris” dan semacamnya.
Langkah ini juga dikenal sebagai strategi memenangkan hati dan pikiran public (the strategy of winning the heart and mind). Dalam bahasa Ansyad Mbai (Ketua BNPT) sebagai perang untuk memenangkan hati nurani. Membutuhkan banyak strategi dan bersifat jangka panjang. Dan wasilah paling pokok yang menjadi tumpuan dalam “perang” ini adalah media masa (cetak, elektronik dan digital), karena medium ini menjadi tombol kunci dari “mindset control” terhadap persepsi publik. Disamping para komunikan yang dianggap berkompeten untuk mempengaruhi pikiran publik dalam berbagai kesempatan.

Deradikalisasi adalah bagian dari strategi kontra terorisme. Ketika pendekatan hard measure, belum dianggap bisa mereduksi dan menghabisi seluruh potensi yang mengarah ke tindakan “terorisme”, bahkan dianggap belum efektif menyentuh akar persoalan terorisme secara komprehensif. Begitu juga ketika strategi Law Enforcement dirasa kurang memberikan efek jera dan belum bisa menjangkau ke akar radikalisme. Sekalipun diakui cukup efektif untuk “disruption”, tapi tidak efektif untuk pencegahan dan rehabilitasi sehingga masalah terorisme terus berlanjut dan berkembang.
Deradikasilsasi dibangun atas asumsi adanya ideologi radikal yang mengeksploitasi faktor komplek yang ada (kemiskinan, keterbelakangan, marginalisasi, pemerintahan otoriter, dominasi negara super power, globalisasi dan sebagainya), melahirkan spirit perlawanan dan perubahan dengan tindakan-tindakan teror ketika jalan damai (kompromi) dianggap tidak memberikan efek apapun. Maka ideologi radikal ditempatkan sebagai akar sesungguhnya dari fenomena terorisme. Dalam kerangka pandangan seperti inilah program deradikalisasi dijalankan.
Pelaksana strategi ini telah belajar dari pengalaman Indonesia selama lebih dari 50 tahun menangani  DI/NII telah membuktikan bahwa hard power approach bukan jawaban tepat. Asumsinya selama idologi radikal mereka tidak bisa dinetralisir, selama itu pula mereka terus melakukan aksi terorisme. Mengambil kasus situasi di Afghanistan dan Irak, maka dalam deradikalisasi ada upaya menggeser kepada obyek sasaran lebih luas, yaitu kepada pihak yang dianggap pengusung ideologi radikal-fundamentalis. Yang diposisikan sebagai eksploitator terhadap faktor dan realitas ketimpangan sosial politik dalam konteks global maupun lokal Indonesia.
Drama War on Terrorism dan semua peristiwa turunannya di Indonesia tidak terjadi secara masif kecuali pasca peristiwa WTC  9/11/2001. Kemudian AS secara sepihak membagi dunia menjadi dua: bersama Amerika atau bersama teroris. Dari beberapa dokumen, terungkap dukungan dana mengucur deras hingga mencapai lebih dari 500 juta Euro untuk proyek long term dari negara Eropa (Australia, Denmark, Belanda dan lainnya) kepada Densus 88 dan program peningkatan capacity building terhadap aparat kepolisian dan Intelijen Indonesia. AS sendiri melalui Obama menyiapkan lebih dari 5 miliar US$ untuk membuat program kerjasama keamanan bersama guna menempa badan intelijen internasional dan infrastruktur penyelenggaraan hukum demi melumpuhkan jaringan teroris dari pulau-pulau terpencil di Indonesia hingga ke kota-kota yang membujur di Afrika. Bocoran Wikileaks (yang dimuat di harian Australia The Age,17/12/2010) mengkonfirmasi bagaimana hubungan AS dan sekutunya dengan pemerintah Indonesia dalam isu terorisme.
Di salah satu bocoran Wikileaks yang dimuat oleh harian Sydney Morning Herald (15/12/2010) juga menyebut Australia memberikan dukungan kepada SBY dalam Pilpres 2009 lalu. SBY didukung karena dinilai sukses dalam kerjasama antiterorisme. Bahkan, Indonesia secara intens juga segaris dengan kebijakan PBB dalam proyek kontra terorisme sejak awal. Indonesia menunjukkan komitmen melaksanakan ketentuan hukum internasional mengenai pemberantasan terorisme dan sejauh ini telah meratifikasi 7 dari 16 instrumen internasional terkait terorisme.
Ini indikasi yang cukup untuk menjelaskan bahwa proyek deradikalisasi dan kontra radikalisasi adalah bagian dari strategi WOT di mana arahan dan paradigma Barat (AS) menjadi basis implementasinya.
Sesungguhnya Amerika Serikat berkepentingan dalam proyek deradikalisasi. Karena proyek deradikalisasi adalah topeng yang bisa menyembunyikan kepentingan busuk dunia Barat untuk melanggengkan imperialismenya. Deradikalisasi dianggap sebagai cara efektif jangka panjang untuk mewujudkan tatanan di dunia Islam yang ramah dan mengakomodir ideologi Kapitalis-Sekuler yang mereka jajakan. Dan ini klop dengan sistem sekuler yang dijaga siang dan malam keberlangsungannya oleh para penguasa yang mengekor kepada kepentingan Barat dengan mendapat imbalan pujian dan kemaslahatan sesaat.
Lahirnya BNPT menjadi indikasi jelas, proyek kontra-terorisme adalah proyek “longtime” dengan target-target tertentu, dan pemerintah akan secara kontinyu dan simultan serta melibatkan banyak “energi/element/unsur” menjalankan “road map” yang sudah diformulasikan. Yang tidak boleh diabaikan begitu saja adalah, bahwa Indonesia dengan rezimnya saat ini secara establis telah memposisikan sebagai sub-ordinat kepentingan proyek global “war on terorism” yang digelorakan oleh AS dan sekutunya. Dan target-target proyek di level lokal adalah turunan (break down) dari target-target proyek global.
Sejauh ini pemerintah Indonesia dengan kacamata subyektifnya, radikalisme secara dominan dipandang sebagai gejala yang lahir dari tafsiran teologi yang menyimpang, dan abai terhadap realitas sebagai sebuah gejala sosial dari meluasnya sikap apatisme dan frustasi sosial akibat kemiskinan, ketidakadilan, ketidakpastian masa depan, dan tekanan hidup yang berat. Dan situasi itu korelatif dengan peran imperialisme global yang dikomandani Amerika Serikat. Maka berapapun anak-anak negeri ini yang ditembak mati karena alasan terorisme sesungguhnya tidak akan bisa memadamkan potensi lahirnya “teroris-teroris” baru, jika faktor komplek termasuk didalamnya kedzaliman global oleh dunia Barat terhadap dunia Islam tetap ada dan diabaikan.
Pemerintah justru membuat langkah deradikalisasi secara massif yang diimplementasikan dengan kosentrasi pada perubahan orentasi dan tafsiran dalam keberagamaan seseorang agar lebih moderat (wasatiyyah), toleran dan liberal. Ini sesungguhnya bukan solusi, karena akan menciptakan polarisasi dalam kehidupan masyarakat khususnya umat Islam. Praktek devide et impera (strategi belah bambu) akan menjadi pemicu permanen lahirnya sikap radikal.
Program deradikalisasi seperti itu malah menimbulkan bahaya baru buat umat Islam, karena ada potensi penyimpangan dan tafsiran-tafsiran yang menyesatkan terhadap nash-nash syara’  dengan menselaraskan nash-nash syara’ terhadap realitas sekuler, dan memaksakan dalil mengikuti konteks aktualnya dan kontruksi pemikiran tanpa dalil atau hujjah yang kokoh. Contohnya,  upaya tahrif (penyimpangan) pada makna jihad, tasamuh (toleransi), syuro dan demokrasi, hijrah, thagut, muslim dan kafir, ummatan washat, klaim kebenaran, doktrin konspirasi (QS. Al Baqarah [2] : 217) dan upaya mengkriminalisasi dan monsterisasi  terminologi daulah Islam dan Khilafah.
Umat akan terpecah belah (berhadap-hadapan) dengan katagorisasi radikal -  moderat, fundamentalis - liberal, Islam ekstrim - Islam rahmatan, Islam garis keras - Islam toleran dan istilah lainya yang tidak ada dasar pijakannya dalam dienul Islam. Hal ini mirip dengan langkah orentalis dalam memecah belah umat Islam dengan memunculkan istilah “Islam putihan” (berasal dari bahasa arab: muthi’an/taat) dan “Islam abangan” (aba’an/pengikut/awam). Umat Islam yang taat ditempatkan sebagai musuh karena membahayakan penjajahan.
Bahaya deradikalisasi berikutnya adalah menyumbat langkah kebangkitan Islam, menjadikan umat jauh dari pemahaman dan sikap ber-Islam yang kaffah. Tidak mampu menjadikan Islam sebagai akidah dan syariah secara utuh serta sebagai pedoman spiritual dan kehidupan politik. Maka bisa disimpulkan bahwa sesungguhnya program deradikalisasi tidak lain adalah de-Islamisasi terhadap mayoritas umat Islam yang menjadi penghuni negeri ini.
Program ini pada akhirnya akan melahirkan bahaya (dzarar) lebih besar berupa tetap tegaknya sistem sekular dan langgengnya imperialisme Barat di negeri Indonesia atas nama GWOT, HAM, Demokrasi, Pasar bebas, dan perubahan iklim. Di bawah sistem sekular, umat Islam hidup dalam  kehidupan yang sempit, jauh dari kebahagiaan lahir batin, dan jatuh dalam peradaban materialisme dan kerusakan moral yang luar biasa. Dan yang paling dasyat adalah di hadapan Allah SWT termasuk golongan orang-orang yang nista.
8. KASUS GKI YASMIN: Negara Kalah Menghadapi Arogansi Minoritas
Kisruh GKI Yasmin ini bermula dari upaya pihak Gereja Kristen Indonesia untuk mendirikan gereja di sebidang tanah di  Kompleks Taman Yasmin, jalan KH Abdullah bin Nuh, Tanah Sareal, Kota Bogor. Berdasarkan SKB/PBM No 9 tahun 2006, pendirian tempat ibadah ini mensyaratkan adanya persetujuan warga sekitar, sekurang-kurangnya 90 orang.
Untuk mendapatkan tandatangan warga, GKI melakukan sejumlah penipuan: Pertama, meminta persetujuan pembangunan rumah sakit, yaitu Hermina. Karena untuk pembangunan rumah sakit, maka warga pun tidak keberatan. Konon, dari sana terkumpul sejumlah tandatangan warga. Kedua, mendapatkan tandatangan warga dengan modus pembagian bantuan sembako. Menurut data Jurnal-Indonesia-Net, berdasarkan klaim GKI Yasmin tanggal 10 Maret 2002, terkumpul 170 tandatangan; 1 Maret 2003 terkumpul 127 tandatangan; 08 Januari 2006 terkumpul 40 tandatangan; 12 Januari 2006 terkumpul 66 orang dan  15 Januari 2006 terkumpul 40 orang. Ketiga, menyuap aparat kelurahan agar mengesahkan tandatangan tersebut untuk memproses IMB.
Anehnya, meski rekomendasi tertulis dari kantor Departemen Agama setempat dan rekomendasi FKUB juga tidak ada, tapi IMB untuk GKI Yasmin ini bisa keluar melalui SK Nomer: 645.8-372/2006 tanggal 19 Juli 2006 yang ditandatangani Walikota Bogor. Sejak  awal, sebenarnya masyarakat tidak setuju dengan pembangunan gereja tersebut. Mantan Ketua RT 08/08, Kelurahan Curug, Mekarwangi, -lokasi gereja itu- Muchtar menjelaskan, warga RT telah menolak pembangunan gereja itu sejak awal. Lagi pula, menurutnya, dari 10 KK Katolik dan 8 KK Kristen, tak ada satupun yang menjadi jemaah GKI ini.
Setelah tahu  bahwa di tempat yang semula dianggap sebagai rumah sakit itu ternyata didirikan gereja dan IMB-nya pun telah dikeluarkan oleh Pemkot Kota Bogor, maka masyarakat mulai resah dan melakukan protes. Protes warga berlanjut dengan tuntutan pembatalan IMB kepada Walikota tertanggal 25 Januari 2008. Pemkot merespon tuntutan warga dengan mengeluarkan SK Nomer: 503/208 DTKP, tentang pembekuan IMB. Keputusan ini kemudian digugat oleh GKI ke Pengadilan Tatausaha Negara (PTUN) Bandung, dengan dikeluarkan Putusan Pengadilan TUN Bandung No: 41/G/2008/PTUN.BDG  tertanggal 4 September 2008. Tidak puas dengan PTUN Jabar, mereka pun membawa ke Jakarta, hingga dikeluarkan Putusan Pengadilan TUN Jakarta No: 241/B/2008/PT.TUN.JKT tertanggal 11 Pebruari 2009. Terakhir, mereka pun membawa ke Mahkamah Agung hingga keluar Surat Putusan PK MA No: 127/PK/TUN/2009 tertanggal 9 Desember 2010.
Surat Putusan PK MA tersebut membatalkan pembekuan IMB yang ditandatangani oleh Dinas Tatakota dan Pertamanan Kota Bogor, SK Nomer: 503/208 DTKP. Setelah keluarnya Surat Putusan MA No: 127/PK/TUN/2009 tertanggal 9 Desember 2010, Walikota Bogor mengeluarkan SK No: 503.45-135/2011 tertanggal 8 Maret 2011 tentang Pembatalan Pembekuan IMB melalui SK Nomer: 503/208 DTKP. Tiga hari kemudian, Walikota Bogor mengeluarkan SK No: 645.45-137/2011 tertanggal 11 Maret 2011 yang membatalkan SK Nomer: 645.8-372/2006 tanggal 19 Juli 2006 tentang Izin Pendirian Bangunan GKI Yasmin.
Pada saat yang sama, Pengadilan Negeri Kota Bogor memutuskan terjadinya pemalsuan dan tandatangan masyarakat, yaitu dengan dijatuhkannya PUTUSAN BERSALAH Majelis Hakim kepada Munir Karta, Kamis 20 Januari 2011, selaku terdakwa kasus pemalsuan surat dan tandatangan masyarakat setempat. Keputusan Pengadilan Negeri Kota Bogor sekaligus menguatkan keputusan Pemkot Bogor yang membatalkan IMB tersebut.
Namun, dalam kasus gereja GKI Yasmin Bogor, opini yang berkembang akibat pemberitaan yang keliru adalah bahwa Walikota Bogor Diani Budiharto seolah tidak melaksanakan Putusan PK Mahkamah Agung tanggal 9 Desember 2010 yang membatalkan pembekuan IMB GKI Yasmin Bogor. Juga, pemberitaan itu cenderung menyudutkan umat Islam Bogor sebagai tidak toleran. Sehingga tampak seolah GKI Yasmin sebagai  “korban” dari pihak yang dituduh telah bertindak dzalim padanya, yakni Pemkot Bogor dan umat Islam di sekitar lokasi gereja.
Padahal sesungguhnya Walikota Bogor telah melaksanakan Putusan PK MA itu dengan mencabut pembekuan IMB yang ditandatanggani oleh Kepala Dinas Tata Kota dan Pertamanan Kota Bogor, melalui SK tertanggal 8 Maret 2011.  Namun kemudian Walikota Bogor mencabut IMB Gedung GKI Yasmin itu  melalui SK 645.45-137 tertanggal 11 Maret 2011 karena pembangunan gereja itu melanggar Peraturan Bersama Menteri (PBM) tahun 2006  tentang perijinan mendirikan rumah ibadah. Disamping itu, bakal Gereja yang berada di tengah-tengah pemukiman itu  ditolak warga setempat. Apalagi proses untuk mendapatkan persetujuan warga ternyata dilakukan dengan cara-cara curang seperti memalsukan KTP dan melakukan penyuapan terhadap warga agar menyetujui pembangunan gereja tersebut.
Dan yang banyak tidak diketahui oleh publik, Mahkamah Agung dalam suratnya nomor: 45/Td.TUN/VI/2011 tertanggal 1 Juni 2011, sesungguhnya juga telah mengakui SK Walikota Bogor tentang Pencabutan IMB  GKI Yasmin tersebut dan mempersilakan pihak yang merasa dirugikan untuk menggugat ke Pengadilan.
Negara Kalah Menghadapi Arogansi Minoritas
Proses hukum dalam kasus GKI Yasmin sebenarnya telah selesai. Tetapi, mereka tetap ngotot dan terus-menerus melakukan penyesatan opini yang didukung oleh media massa yang pro mereka. Pemkot Bogor, bahkan Gubenur Jabar, Mendagri, Menag, Menkopolhukam hingga Presiden pun terus-menerus menjadi bulan-bulanan mereka. Tingkah mereka semakin menjadi-jadi setelah mendapatkan dukungan dari segelintir umat Islam yang berhasil mereka pengaruhi, seperti HMI, GP Anshor hingga PBNU termasuk kalangan Islam Liberal. Mereka semakin besar kepala setelah mendapat kunjungan Waligereja Dunia.
Aneh sekali, negara yang dihuni mayoritas Muslim ini justru seolah-olah tidak berdaya menghadapi arogansi mereka. Mereka terus-menerus menteror warga dan umat Islam, termasuk juga negara, dengan memperagakan peribadatan ilegal di jalanan, yang jelas-jelas mengganggu ketertiban umum dan meresahkan masyarakat, tetapi negara tidak berkutik. Para penguasa di negeri ini mengkhawatirkan citra mereka, karena opini yang mereka galang, dicap dzalim, tidak toleran dan menindas kaum minoritas.
Kekalahan negara inilah yang sebenarnya membuat mereka besar kepala. Selain negara kalah, mereka juga merasa kuat karena mendapatkan dukungan media massa. Opini media sengaja dibentuk sedemikian rupa agar berpihak kepada mereka. Dengan cara itulah, mereka menggalang dukungan termasuk dari kalangan umat Islam. Melalui penyesatan inilah, mereka berhasil mengadu domba umat Islam. Ironisnya, ada ormas-ormas Islam yang merasa gagah dan terhormat membela mereka. Sama sekali tidak merasa malu kepada umat Islam, apalagi malu kepada Allah dan Rasul-Nya.
Islam Mengikis Arogansi Non-Muslim
Selama negara ini menerapkan sistem sekuler dan abai terhadap sistem Islam, maka kondisinya akan tetap seperti ini. Potensi konflik berbau SARA akan terus ada, bahkan mungkin dengan intensitas yang makin meninggi oleh karena berbagai latar kepentingan ikut bermain.  Solusinya, negeri yang mayoritas penduduknya muslim ini harus dikembalikan pada posisinya sebagai negeri Islam dengan diterapkannya syariah di bawah naungan daulah Khilafah. Jika Islam diterapkan di negeri ini, dan orang Kristen dan non Muslim lain bersedia menjadi Ahli Dzimmah, maka mereka harus diterikat dengan syarat-syarat dzimmah:
1-      Mereka wajib membayar jizyah, jika mampu dan tunduk kepada sistem Islam. Sebagaimana firman Allah SWT, “Hingga mereka membayar jizyah sesuai dengan kemampuan mereka, sedangkan mereka tunduk (pada Islam).” (Q.s. at-Taubah [09]: 29)
2-      Mereka wajib menerapkan hukum Islam, kecuali dalam urusan peribadatan, makan, minum, berpakaian, termasuk kawin dan talak. Sebagaimana sabda Nabi, “Siapa saja yang tetap dalam keyahudian dan kenasraniannya, maka dia tidak boleh dihasut (untuk memeluk Islam).” (Lihat, Ibn Hajar, Talhis al-Habir fi Ahadits ar-Rafii al-Kabir, IV/122)
3-      Selain kedua syarat di atas, negara bisa menetapkan syarat-syarat lain kepada mereka. Khalifah Abu Bakar mensyaratkan kepada Bazakhah, Asad dan Ghathafan agar mereka melucuti senjatanya. Khalifah ‘Umar bin al-Khatthab mensyaratkan Bani Tughlab untuk tidak mengkristenkan anak-anak mereka. Apa yang mereka dapatkan dari kaum Muslim, harus mereka kembalikan, tetapi tidak sebaliknya (H.r. al-Baihaqi, Sunan al-Baihaqi, IX/335; Abu ‘Ubaid, al-Amwal, hal. 198). Bahkan, banyak di antara mereka yang mengajukan persyaratan agar bisa diterima menjadi Ahli Dzimmah, antara lain, tidak mendirikan gereja baru di kotanya, tidak mendirikan biara di sekitarnya, juga asrama pendeta. Tidak pula merenovasi gereja-gereja yang rusak, tidak juga menggunakannya untuk memata-matai kaum Muslim. Tidak melarang kaum Muslim singgah di malam atau siang hari di gereja. Mereka berjanji memperluas pintu untuk orang yang lewat dan Ibn Sabil. Tidak melindungi mata-mata di sana juga di rumah-rumah mereka. Tidak menyembunyikan orang yang menipu kaum Muslim. Tidak membunyi lonceng, kecuali dengan pukulan yang ringan di tengah-tengah gereja kami. Tidak menampakkan salib. Tidak pula mengeraskan suara ketika sembahyang maupun membaca bacaan di gereja, ketika ada orang Islam. Tidak mengeluarkan Salib dan Injil di pasar kaum Muslim. Tidak mengeraskan suara terhadap orang-orang yang mati. Tidak menghidupkan lilin di pasar-pasar kaum Muslim. Tidak memakan babi di dekat kaum Muslim. Tidak menjual khamer, tidak menunjukkan sikap syirik, tidak mengajak orang lain memeluk agama mereka. Tidak menghalangi keluarganya yang ingin memeluk Islam. Tidak menyerupai pakaian kaum Muslim, baik songkok, kafiyeh maupun sandal. Tidak bicara dengan menggunakan bahasa kaum Muslim. Tidak menggunakan sebutan kaum Muslim… (H.r. al-Baihaqi, Sunan al-Baiqahi, IX/202; Ibn Qudamah, al-Mughni, VIII/524)
Andai saja hukum Islam diterapkan di negeri ini, dan orang-orang non-Muslim menjadi Ahli Dzimmah dengan syarat-syarat yang telah disebutkan di atas, maka arogansi yang mereka pertontonkan tidak akan terjadi. Kisruh pendirian gereja seperti saat ini pun tidak akan terjadi. Di sisi lain, Islam dan umatnya akan hidup mulia karena tidak ada satupun pihak yang berani menghinakan mereka.

9. UU INTELIJEN DAN RUU KAMNAS:
Melahirkan Rezim Represif

DPR melalui Sidang Paripurna pada tanggal 11 Oktober 2011 akhirnya dengan suara bulat mengesahkan UU Intelijen.  UU Intelijen ini merupakan yang pertama dari paket UU Hankam yang disahkan.  Yang lainya sedang atau akan dibahas, diantaranya RUU Kamnas, RUU Rahasia Negara, dan RUU Komponen Cadangan.
Pengesahan UU Intelijen itu adalah akhir pembahasan yang telah berlangsung sembilan tahun.  Meski begitu, UU Intelijen yang telah disahkan itu masih banyak menuai kritik dan penolakan karena dinilai akan melahirkan rezim represif, mengekang kebebasan sipil, mengkriminalisasi masyarakat dan menjadikan rakyat sebagai lawan.  Sementara pada saat yang sama terasa UU itu tidak sensitif dan terasa tumpul terhadap ancaman dari luar.
Diantaranya karena di dalam UU Intelijen itu terdapat ada istilah-istilah yang tidak didefinisikan dengan jelas, tolok ukur dan  kriteria tidak jelas serta mengandung  pengertian yang kabur.  Misalnya, definisi ancaman pada Pasal 1, frase “yang dinilai dan/atau dibuktikan”,  tolok ukur dan kriterianya tidak jelas.  Begitu juga apa yang dimaksud “ketahanan nasional” pada Pasal 31, “kegiatan yang mengancam ketahanan nasional meliputi ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan, serta sektor kehidupan masyarakat, termasuk pangan, energi, sumber daya alam, dan lingkungan hidup “ cakupannya sangat luas, tidak jelas  tolok ukur dan batasannya seperti apa, sampai tingkat apa bisa dikatakan mengancam ketahanan nasional serta siapa yang berwenang menilai dan memutuskankannya. Maka semuanya akan bergantung pada penafsiran dan penilaian subyektif penguasa intelijen. Karenanya, UU ini sangat bisa dijadikan alat kekuasaan  untuk memata-matai rakyat dan musuh politiknya dengan dalih kepentingan nasional.  Sikap kritis dan kritik atas kebijakan pemerintah akan dibungkam dengan dalih menjadi “ancaman”.
Wewenang Badan Intelijen untuk melakukan penyadapan meski dibatasi harus dengan penetapan Ketua Pengadilan, masih sangat mungkin disalahgunakan demi kepentingan tertentu.  Sebab penyadapan itu hanya didasarkan pada alasan demi fungsi intelijen dan atas perintah kepala BIN.  Sementara fungsi intelijen itu cakupannya sangat luas.  Jadi penyalahgunaan penyadapan sulit untuk dibuktikan.
Wewenang Badan Intelijen untuk memeriksa aliran dana dan melakukan penggalian informasi juga sangat membuka terjadinya penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power), sebab hanya dibatasi alasan demi fungsi intelijen dan atas perintah kepala BIN.  Meski penggalian informasi tidak boleh dengan melakukan penangkapan dan/atau penahanan, hal itu tidak bisa mencegah penyalahgunaan.  Pada masa orde baru dikenal istilah penggalian informasi, dimana tersangka dan tahanan kepolisian “dibon” oleh intelijen untuk digali informasinya (diinterogasi) dan dikembalikan dalam keadaan babak belur.  Bukan tidak mungkin hal itu akan terulang lagi.  Apalagi untuk penggalian informasi itu UU intelijen mewajibkan penegak hukum membantu intelijen.
UU inteljen ini juga berpotensi mengkrimininalisasi rakyat khususnya para peneliti dan insan pers, dengan delik kelalaian yang menyebabkan bocornya rahasia intelijen atau membocokan rahasia intelijen.  Hal itu akan berpotensi membungkam ruang kritik terhadap pemerintah.  Ini jelas menjadi ancaman bagi sikap kritis dan keterbukaan.
Celakanya UU ini tidak mengatur mekanisme pengaduan dan gugatan bagi individu yang merasa dilanggar haknya oleh kerja-kerja lembaga intelijen.  Sehingga individu rakyat yang merasa dilanggar haknya tidak bisa mendapatkan keadilan.
Apalagi UU ini tidak memberikan mekanisme kontrol dan pengawasan yang tegas, kuat dan permanen terhadap semua aspek dalam ruang lingkup fungsi dan kerja intelijen (termasuk penggunaan anggaran). Akibatnya, intelijen akan menjadi “super body” yang tidak bisa dikontrol dan bisa dijadikan alat kepentingan politik status quo.
Dengan demikian UU Intelijen yang sudah disahkan ini sangat mungkin melahirkan rezim represif.  Alih-alih melindungi rakyat, UU justru akan mengkriminalisasi rakyat yang kritis, mengekang keterbukaan sipil, melanggar hak privasi rakyat, menjadikan rakyat seolah “musuh”yang harus diawasi. Tapi ironinya, UU ini terasa sangat tidak sensitif dan begitu tumpul terhadap ancaman dan pihak asing yang nyata-nyata sangat merugikan dan menyengsarakan negeri ini dan rakyatnya.
Spirit yang sama juga dimiliki oleh RUU Keamanan Nasional (Kamnas) yang saat ini dalam tahap pembahasan di DPR.  RUU Kamnas di dalamnya terdapat banyak pasal dan istilah yang multi tafsir, pengertiannya tidak jelas dan ambigu.  UU ini berpotensi merugikan hak dan privasi publik dan berpotensi digunakan sebagai alat represi Pemerintah.
Misalnya, apa pengertian ancaman keamanan nasional  yang cakupannya bukan saja dalam bentuk militer tetapi juga selain militer (bukan bersenjata) tidak cukup jelas. Diantaranya, yang diangap ancaman bukan bersenjata adalah radikalisme dan ideologi asing. Pengalaman sejarah di masa lalu dimana Pancasila bisa ditafsirkan ke arah kiri seperti pada masa Orde lama, lalu ke arah kapitalisme seperti ada masa Orde baru dan tafsir neo liberal pada masa reformasi.  Itu artinya kriteria ideologi asing itu akan bergantung pada corak ideologi penguasa.  Itu artinya siapa saja yang bertentangan dengan ideologi penguasa akan dinilai sebagai ancaman nasional.  Ketika penguasa mengusun ideologi kapitalisme liberal, maka siapa saja yang mengkritisi atau menentang idelogi kapitalisme liberal akan bisa dianggap sebagai ancaman nasional dan karenanya harus ditindak.  Padahal selama ini ideologi kapitalisme liberal itu telah nyata-nyata merugikan negara dan menyengsarakan rakyat negeri ini.
Ancaman keamanan nasional yang akan dieliminir nantinya bukan saja yang aktual, tetapi juga yang bersifat potensial. Sementara tolok ukur dan kriterinya berpotensial itu tidak jelas.  Lagi-lagi  hal ini akan bergantung pada penafsiran subyektif penguasa.  Itu artinya RUU Kamnas berpotensi besar dijadikan alat kekuasaan.  Dengan kata lain,  melalui RUU ini sangat berpeluang lahirnya tirani baru.
Dalam RUU Kamnas ini yang dikategorikan ancaman bukan saja terhadap negara dan penyelenggara pemerintahan, tetapi terhadap perorangan atau kelompok. Artinya bisa saja seseorang atau kelompok akan ditindak secara hukum bila dianggap telah mengancam seseorang atau kelompok lain, baik secara aktual maupun potensial. Pasal ini akan memberi ruang yang luas bagi individu maupun kelompok liberal atau kelompok sesat untuk tetap eksis dan mengembangkan ajaran mereka asal sejalan dengan keamanan nasional. Sebaliknya, kalangan muslim yang kritis apalagi melakukan aksi penentangan terhadap kelompok-kelompok tersebut bisa ditindak secara hukum karena mengancam seseorang/kelompok lain.  Upaya perjuangan umat untuk menegakkan syariah Islam yang merupakan perintah agama dan perjuangan umat menentang penjajahan kapitalisme, dengan RUU Kamnas ini akan dihambat dan dianggap sebagai ancaman. Maka RUU Kamnas ini bila tidak diwaspadai justru akan melanggengkan penjajahan atas negeri ini.

10. ARAB SPRING, REVOLUSI TIMUR TENGAH DAN KEBANGKITAN ISLAM
Dunia dikagetkan dengan aksi seorang anak muda pedagang bernama Mohamed Bouazizi yang membakar diri sebagai bentuk protes tindakan dzalim aparat atas dirinya yang tengah berjualan. Apa yang dilakukannya menjadi pemicu lahirnya revolusi di Tunisia. Revolusi yang pada akhirnya menggulingkan Ben Ali, yang telah berkuasa lebih dari 30 tahun. Aksi bakar diri pemuda ini tidak hanya membakar Tunisia. Apinya menjalar ke seluruh dunia Arab. Inilah yang kemudian dikenal dengan Arab Spring, al-rabi`e al-arabi.
Arab Spring membakar Mesir, lalu Libya. Husni Mubarak dan Qaddafi jatuh. Revolusi Timur Tengah yang telah mengakibatkan puluhan ribu tewas itu kini masih terus bergejolak di negara-negara Arab lain, yakni Yaman dan Suriah. Mungkin akan segera menyusul yang lain.
Sangat kentara bahwa aksi itu, baik yang terjadi di Tunis, Mesir maupun Libya dan Yaman, pada mulanya bersifat spontan. Hal ini menunjukkan realitas bahwa telah lenyapnya rasa takut dalam diri masyarakat terhadap penguasanya. Tindakan represif yang mereka alami bertahun-tahun lamanya akhirnya mencapai titik kulminasinya. Dan inilah yang mendorong kekuatan perlawanan.
Jadi, revolusi yang terjadi di Timur Tengah adalah revolusi rakyat. Bukan revolusi buatan seperti halnya Revolusi Orange di Ukraina dan Georgia yang bertujuan hanya untuk mengantarkan para politisi antek Barat pada kekuasaannya. Tokoh jadi-jadian itu muncul dengan menipu rakyat, mempermainkan perasaannya dan memenuhi beberapa tuntutan rakyat yang sifatnya sesaat. Revolusi seperti ini hakikatnya adalah revolusi para oportunis untuk memperkokoh pengaruh negara-negara Barat yang mendukungnya dengan mengorbankan kepentingan rakyat.

Arah Perubahan dari Arab Spring
Penting untuk menelaah kemana arah perubahan dari Arab Spring ini. Tumbangnya Zine el-Abidine Ben Ali, Mubarak dan Gaddafi, dan tak lama lagi mungkin Bashar Assad dan Ali Abdullah Saleh menunjukkan hasil utama yang diraih dari Revolusi Regional ini, yakni pembebasan dari otoritarianisme rezim tiran.
Para pengamat Barat selalu memposisikan otoritarianisme vis a vis demokrasi, sehingga seakan seakan tumbangnya rezim otoriter ini berarti adalah kemenangan dari demokratisasi. Di sini terlihat bahwa Barat selalu berupaya mengambil keuntungan dari proses perubahan politik dimanapun, termasuk di Timur Tengah. Di Mesir misalnya, AS mencoba mengambil untung  ketika ‘terpaksa’ menendang Mubarak, anteknya yang digulingkan dari pemerintahan. Kemudian para pemimpin Dewan Militer, yang juga adalah antek AS mulai melakukan pembodohan terhadap rakyat dengan berbagai cara. Hanya saja rakyat telah menyadari hal itu, sehingga terus melanjutkan revolusinya dengan menuntut penggulingan pemerintahan Dewan Militer.
Hal ini juga tampak di Tunisia, karena kekuatan Eropa, dalam hal ini Inggris dan Perancis, di Tunisia cukup dominan sehingga mereka bisa mengendalikan pergolakan itu melalui tangan antek-anteknya yang terlatih, yang menyusup di antara orang-orang yang melakukan perlawanan. Berikutnya mereka bisa menjaga bangunan rezim untuk menjaga keberlangsungan pengaruh kekuatan Eropa itu meski disertai sedikit “operasi artifisial”. Hal yang sama dengan taraf penyelesaian yang berbeda juga terjadi di Libya, Yaman dan Suriah.
Namun demikian, banyak pihak termasuk PM Israel Benyamin Netanyahu memprediksi Arab Spring akan berubah menjadi “gelombang Islamis, anti-Barat, anti-liberal, anti-Israel, dan anti-demokrasi”. Beberapa indikasi terlihat dengan menguatnya perubahan ke arah Islam. Partai Islam moderat, Ennahda, memenangkan pemilu di Tunisia. Partai Islam juga memenangkan pemilu di Maroko. Hal yang sama terjadi di Mesir dimana Partai Keadilan dan Kebebasan, sayap politik Ikhwanul Muslimin, memenangi pemilu disana.
Revolusi rakyat yang diberkati ini adalah kesempatan emas untuk melakukan perubahan radikal. Semestinya tokoh rakyat yang menuntut perubahan, berjuang terus hingga mereka memegang kendali semua urusan dan menerima kekuasaan dari rakyat, mengingat bahwa rakyatlah pemilik kekuasaan yang sebenarnya, dan menundukkan militer pada kekuasaan ini. Dan menjadikan kekuasaan ini untuk menegakkan perubahan yang hakiki, yaitu perubahan ke arah Islam.

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Menilik berbagai persoalan yang timbul di sepanjang tahun 2011 sebebagaimana diuraikan diatas, dapat disimpulkan bahwa:
1.      Setiap sistem yang tidak bersumber dari Allah SWT, Sang Pencipta manusia, kehidupan dan alam semesta yang Maha Tahu, pasti akan menimbulkan kerusakan dan akhirnya tumbang. Rapuhnya kapitalisme dengan berbagai bentuk kerusakan dan segala dampak ikutan yang ditimbulkannya berupa kemiskinan dan kesenjangan kaya miskin serta ketidakstabilan ekonomi dan politik, seperti yang saat ini tengah terjadi di berbagai belahan dunia adalah bukti nyata. Kenyataan ini semestinya menyadarkan kita semua untuk bersegera kembali kepada jalan yang benar, yakni jalan yang diridhai oleh Allah SWT, dan meninggalkan semua bentuk sistem dan ideologi kufur.
2.      Sekuat apapun sebuah rezim yang otoriter, korup, menindas rakyat dan durhaka kepada Allah SWT, meski telah dijaga dengan kekuatan senjata dan didukung oleh negara adidaya, cepat atau lambat pasti akan tumbang dan tersungkur secara tidak terhormat. Jatuhya Ben Ali, Mubarak, Qaddafi dan mungkin segera menyusul penguasa Syria, Bashar Assad, dan penguasa Yaman, Ali Abdullah Saleh, serta penguasa lalim di negara lain, adalah bukti nyata. Kenyataan ini semestinya memberikan peringatan kepada penguasa dimanapun untuk menjalankan kekuasaannya dengan benar, penuh amanah demi tegaknya kebenaran, bukan demi memperturutkan nafsu serakah kekuasaan dan kesetiaan pada negara penjajah. Pembuatan peraturan perundang-undangan yang bakal membungkam aspirasi rakyat, seperti UU Intelijen atau RUU Kamnas dan peraturan perundangan serupa di negeri ini, mungkin sesaat akan berjalan efektif, tapi cepat atau lambat itu semua justru akan memukul balik penguasa itu sendiri.
3.      Oleh karena itu, bila kita ingin sungguh-sungguh lepas dari berbagai persoalan yang tengah membelit negeri ini  seperti sebagiannya telah diuraikan di atas,  maka kita harus memilih sistem yang baik dan pemimpin yang amanah. Sistem yang baik hanya mungkin datang dari Dzat yang Maha Baik, itulah syariah Allah dan pemimpin yang amanah adalah yang mau tunduk pada sistem yang baik itu. Di sinilah esensi seruan Selamatkan Indonesia dengan Syariah yang gencar diserukan oleh Hizbut Tahrir Indonesia. Karena hanya dengan sistem berdasar syariah yang dipimpin oleh orang amanah (Khalifah) saja Indonesia benar-benar bisa menjadi baik. Dengan sistem ini pula terdapat nilai transedental (ibadah) dalam setiap aktifitas sehari-hari yang akan membentengi setiap orang agar bekerja ikhlas, tidak terkontaminasi oleh kepentingan pribadi, golongan maupun asing. Memiliki paradigma yang jelas bahwa memimpin adalah amanah dari Allah dan syariah adalah jalan satu-satunya untuk memberikan kebaikan dan kerahmatan Islam bagi seluruh alam semesta, sedemikian kedzaliman dan penjajahan bisa dihapuskan di muka bumi.
Insya Allah