I made this widget at MyFlashFetish.com.

Khilafah

Gempita Konferensi Rajab 1432 H

Sabtu, 26 Februari 2011

Mantan Aster KSAD: SBY-Boediono Pantas Disebut Gembong Mafia



JAKARTA (voa-islam.com) – Mantan Aster KSAD Mayjen TNI (Purn) Saurip Kadi mengkritik pemerintahan SBY-Boediono sukses menjadikan Indonesia sebagai negeri mafia dan preman.

Mantan Aster KSAD Mayjen TNI (Purn) Saurip Kadi mengatakan banyaknya purnawirawan TNI bersuara vokal dan kritis kepada Presiden SBY lantaran SBY sudah melenceng dari Sapta Marga.

“TNI itu wajib menjunjung tinggi kejujuran, kebenaran dan keadilan. Bukan memarakkan kebohongan untuk menutupi kebenaran. Bahkan sampai bikin-bikin sinetron Manohara, Ponari, Ariel, teroris, Susno, Gayus dan lain-lain untuk menutupi kasus Century yang sudah amat gamblang,” kecam Saurip Kadi di Jakarta, Kamis(24/2/2011).

Menurut Saurip, TNI wajib bersikap tegas dalam memimpin. Bukan peragu apalagi malah sibuk berkomentar seperti pengamat. TNI, lanjut Saurip juga tidak boleh gamang.

“Dalam pertempuran kalau pemimpin gamang, pasti korban berjatuhan. Maka cirinya harus cepat dan tegas bersikap dalam bentuk tindakan, bukan sibuk komentar cari simpatik lewat media. Sikap yang peragu, gamang dan tidak tegas seperti itu bikin malu TNI saja, lulusan AKABRI lagi,” jelasnya.

….junjung tinggi kejujuran, kebenaran dan keadilan. Bukan memarakkan kebohongan untuk menutupi kebenaran. Bahkan sampai bikin-bikin sinetron Manohara, Ponari, Ariel, teroris, Susno, Gayus dan lain-lain untuk menutupi kasus Century….

Lebih jauh Saurip mengatakan, militer itu di seluruh dunia hidupnya dijamin negara karena nyawa pun siap mati untuk negara.

“Nyatanya presidennya dari TNI malah para purnawirawan digusuri. Prajurit mau menyekolahkan anaknya harus ngutang ke koperasi, sementara itu korupsi besar-besaran seperti kasus Bank Century dan sekarang Mafia Pajak dibiarkan,” tandasnya.

SBY-Boediono Sukses Menjadikan Negeri Mafia dan Preman

Saurip Kadi juga menyebut SBY-Boediono sangat berhasil menyuburkan kesemrawutan kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga negeri ini pantas dijuluki sebagai negeri mafia dan preman. Terlebih lagi belakangan muncul kasus-kasus mafia seperti mafia perpajakan dan hukum.

“Mafia ada di setiap sektor. Meliputi mafia pajak, mafia tanah, mafia perkebunan, mafia pertambangan, mafia pasar modal, mafia BUMN, mafia cukai, mafia perdagangan komoditi, mafia perbankan, mafia pailit, mafia perkara dan kasus markus, mafia polisi, mafia KPK, mafia hukum, mafia anggaran, mafia pilkada, mafia MA, mafia kejaksaan, mafia MK, mafia lingkaran presiden, dan lain-lain,” ujar Saurip.

….Jadi pantasnya, SBY-BOED disebut gembong mafia, kata mantan Aster KASAD Saurip Kadi….

Kepada SBY-Boediono, Saurip Kadi menyebutnya pantas menjadi gembong mafia. “Jadi pantasnya, SBY-BOED disebut gembong mafia,” tambahnya.

Tidak hanya itu, Saurip melihat maraknya gerakan ekstrim agama, aliran, dan lain-lain adalah salah satu indikator negara mafia karena gerakan seperti itu adalah alat yang efektif dan murah untuk melindungi praktik-praktik mafia.

“Celakanya yang dikorbankan adalah hak-hak rakyat baik hak milik, hak hidup, hak keamanan, hak asasi manusia dan lain-lain hanya dijadikan sinetronan,” tandasnya. [silum/trb]

Rabu, 23 Februari 2011

Siapakah Qadafi Sebenarnya?



Qadafi menjadi pemimpin Libya lewat kudeta militer terhadap Raja Idris pada tahun 1969. Rezim baru Libya dipimpin oleh Dewan Komando Revolusi yang membubarkan sistem monarki dan memproklamasikan Negara Republik Arab yang baru. Kolonel Muammar Qadafi menjadi pimpinan Dewan Komando Revolusi yang secara defakto sekaligus sebagai pempimpin negara Libya.

Sejak mengambil-alih kekuasaan pada 1969 lewat kudeta militer, Kolonel Muammar Qadafi telah membentuk sistem politiknya sendiri, yang diklaimnya sebagai gabungan dari sosialisme dan Islam, yang disebut oleh Qadafi sebagai Teori Internasional Ketiga (The Third International Theory). Qadafi membentuk dirinya sebagai pemimpin Revolusi. Selama tahun 1970-an sampai 80-an

Karena kegagalan nasionalisme Arab, Qadafi kemudian mengubah nama negaranya menjadi Great Socialist People’s Libyan Arab Jamahariya atau al-Jumahariyah al-‘Arabiyyah al-Libiyah as-Shabiyah al-Ishtirakiyyah al-Uzma. Qadafi mengklaim negaranya sebagai Negara Jamahariya (Negara Rakyat). Akan tetapi, ini hanya secara teori, yang menyatakan diperintah oleh rakyat lewat dewan lokal. Faktanya, Libya adalah negara diktator militer.

Memberangus Gerakan Islam

Qadafi selama ini senantiasa memberangus aktivitas keislamanan yang mengancamnya dengan berbagai cara; antara lain lewat eksekusi, penghancuran rumah, dan hukuman massal. Dia sendiri pernah memiliki hari istimewa untuk menggantung mahasiswa yang dianggapnya melawan dirinya di dalam kampus, yakni setiap tanggal 7 bulan April setiap tahunnya.

Anggapan bahwa Qadafi merupakan cerminan perlawanan ideologi Islam jelas sangat keliru. Qadafi sesungguhnya tidak lebih daripada penganut ideologi sosialisme yang tampak jelas dalam “kitab suci”-nya, Kitab Hijau. Namun demikian, sama seperti pemimpin-pemimpin sosialis Arab lainnya, Qadafi memanipulasi Islam untuk mendapat dukungan dari rakyat Libya yang mayoritas Muslim. Memang, banyak retorika-retorika Qadafi yang sepertinya sejalan dengan Islam. Namun demikian, Buku Hijau-nya membuktikan bahwa dia tidak lebih daripada seorang sosialis.

Dia berusaha menggabung-gabungkan ide Islam dengan sosialisme, namun hasilnya adalah tetap saja ide sosialisme yang bertentangan dengan Islam. Bahkan, Qadafi banyak melakukan pembantaian terhadap aktivis Islam yang dia anggap mengancam kedudukannya.

Pada awalnya, sangat kentara Qadafi ingin mendapat dukungan dari umat Islam dan para ulama. Tampak dari kata-katanya yang cukup populer pada saat itu, “Wahai rakyat, koyak-koyaklah semua buku impor yang tidak sesuai dengan (nilai-nilai) peninggalan Arab dan Islam, sosialisme, dan kemajuan.”

Untuk menampakkan citra Islamnya, Qadafi memberangus seluruh peninggalan kolonial Kristen Eropa di Libya; gereja-gereja ditutup, aktivitas misionaris dilarang, serta basis-basis militer Amerika dan Inggris ditutup. Qadafi juga menerapkan sebagian hukum Islam seperti melarang meminum alkohol dan penutupan kelab-kelab malam.

Pemikiran sosialisme lebih tampak pada saat dia menerbitkan Buku Hijau. Buku ini tidak jauh berbeda dengan Buku Merah-nya Mao Tse-tung. Buku ini sendiri terdiri dari tiga jilid: The Solution to The Problem of Democracy (1975); The Solution of The Economic Problem: Socialism (1977); dan Social Basis of The Third International Theory (1979). Qadafi kemudian menjadikan buku ini sebagai bacaan wajib bagi rakyat Libya yang diajarkan di sekolah-sekolah.

Qadafi sering mengatakan bahwa bukunya itu didasarkan pada nilai-nilai Islam. Bahkan, dia menyatakan bahwa kaum Muslim harus berpegang teguh pada al-Quran. Padahal, bukunya itu justru memberikan pemecahan yang tidak sesuai dengan Islam. Dalam politik, ia memberikan solusi demokrasi, padahal ide demokrasi yang mendasarkan diri pada kedaulatan rakyat bertentangan dengan Islam. Qadafi sendiri, dalam praktiknya, adalah seorang diktator. Sementara itu, dalam ekonomi, jusru dia memberikan solusi sosialisme yang bertentangan dengan Islam.

Ide-ide ganjilnya semakin tampak. Untuk membenarkan penafsirannya terhadap Islam, dia mengatakan bahwa setiap orang berhak untuk menafsirkan Islam. Atas dasar ini, secara bebas (liberal) dia menafsirkan Islam seenaknya. Qadafi membatasi al-Quran hanya pada masalah individual, sementara dalam masalah sosial, ‘kitab suci’-nya adalah Buku Hijau.

Dia juga menyampingkan hukum-hukum syariat yang dikatakannya sebagai ide-ide tradisional. Qadafi juga menolak keotentikan dan kekuatan yang mengikat dari Hadis Nabi saw., mengubah penanggalan Islam, menyatakan berhaji ke Makkah tidak wajib, dan menyamakan zakat dengan jaminan sosial. Zakat kemudian dia anggap bisa diubah-ubah dan bervariasi. Dia juga mengharamkan kepemilikan individu.

Tidak berhenti sampai di sana, Qadafi membentuk komite-komite rakyat untuk mengambil-alih masjid-masjid yang dia katakan tradisionalis. Tidak sedikit ulama ataupun pejuang Islam yang menentang ide-idenya kemudian dia bunuh dan dipenjarakan. Jangankan dengan Islam, dengan Buku Hijau-nya saja, yang mengatakan pengakuan terhadap kebebasan beragama dan demokrasi, Qadafi tidak menjalankannya.

Ide kufur Qadafi yang lain yang dia lontarkan dalam pertemuan Arab (Arab Summit) pada April 2001 adalah meremehkan perjuangan al-Quds dan al-Aqsa yang penting. Pengarang Buku Hijau ini mencela negara-negara Arab yang terobsesi untuk membebaskan al-Quds dari penjajahan Israel. Dia berkata, “Kalian memecahkan masalah ini atau kalian tidak, itu hanyalah sebuah masjid dan saya bisa berdoa di mana pun. Tidaklah begitu penting di mana kita tinggal…Itu (al-Quds) juga merupakan tempat suci bagi Yahudi.”

Qadafi, selama lebih dari empat dekade pemerintahannya, menjadi salah seorang tiran yang paling refpresif di dunia Muslim. Ia terkenal telah menyiksa siapa saja yang menyerukan Islam, ia pernah menggantung delegasi yang dikirim oleh gerakan Islam, Hizbut Tahrir ketika mereka meyakinkannya untuk menjauhi dari pandangannya yang kufur karena menolak sunnah/hadits.

Setelah pertemuan itu Hizbut Tahrir menerbitkan Komunike Hizbut Tahrir (1978) yang isinya mengkritik pandangan Qadafi yang ganjil yang menolak as Sunnah. Setelah pembagian komunike tersebut, Qadafi memerintahkan kaki tangannya untuk menggantung aktifis Hizbut Tahrir di kampusnya .

Alat Kolonial Barat

Ada pola umum yang digunakan oleh Barat dalam mencengkeram Dunia Islam. Diantaranya adalah menciptakan penguasa-penguasa boneka yang memerintah negeri Islam. Penguasa ini kemudian diberikan dua orientasi: Pertama, secara terbuka menunjukkan ketertundukannya kepada Barat. Contoh pemimpin seperti ini adalah Pemimpin Mesir, Arab Saudi, Kuwait, dan negeri-negeri Islam lain. Kedua, dikesankan anti-Barat namun sebenarnya merupakan agen Barat. Contoh pemimpin seperti ini adalah Saddam Hussein dan Muammar Qadafi. Barat tentu saja berharap, sikap anti-Barat di Dunia Islam bisa disalurkan lewat kepemimpinan agen-agennya ini. Sebab, kalau sikap anti-Barat dipimpin oleh pemimpin yang benar, yakni pemimpin Islam yang sejati, hal itu akan membahayakan kedudukan Barat sendiri.

Tidak aneh jika Barat memelihara orang-orang seperti Saddam Hussein dan Muammar Qadafi. Dua tipe agen Barat inilah yang menjadi media imperialisme Barat dan pembunuhan terhadap kaum Muslim. Sebentar lagi, bisa jadi kita menyaksikan serangan AS terhadap Irak. Alasannya adalah untuk menggusur pemimpin yang diktator. Padahal, Saddam Hussein, demikian juga Muammar Qadafi, adalah bentukan Barat. Walhasil, penguasa boneka semacam ini telah menjadi alat imperialisme Barat atas Dunia Islam. Dan ketika tidak dibutuhkankan lagi pemimpin pengkhianat umat seperti ini akan dicampakkan oleh Tuan Imperialis nya sendiri. [Abu Fatih ]

Senin, 21 Februari 2011

Gelora Seruan Revolusi dari Masjid Al-Aqsa untuk Seluruh Negeri Muslim & Para Tentaranya agar Bersegera Menegakkan Khilafah [foto/video]

Syabab.Com - Dalam suasana angin perubahan yang tertiup di negeri-negeri Muslim, termasuk di kawasan Arab, kaum Muslim Palestina memenuhi seruan Hizbut Tahrir Palestina menyerukan kaum Muslim melakukan perubahan mendasar usai Shalat Jumat di komplek Masjid Al-Aqsa Baitul Maqdis Palestina, Jumat, 18/02/2011.

Di salah satu gerbang di depan Dome of the Rock terpampang spanduk besar bertuliskan "Umat Menginginkan Khilafah Islamiyyah". Ribuan kaum Muslim bersama para pemuda Hizbut Tahrir tersebut meninggikan panji-panji hitam dan putih bertuliskan kalimah tauhid serta beberapa poster yang menyampaikan pesan "Tidak untuk Demokrasi, Ya untuk Khilafah".

Kerumunan ribuan kaum Muslim dari di depan Masjdi Al-Aqsa bergemuruh menyerukan pergantian rezim dan menegakkan Khilafah. Seruan pada hari Jumat tersebut menegaskan seruan dan tangisan Masjid Al-Aqsa agar kaum Muslim bersegera membebaskan Palestina dan negeri-negeri Muslim lainnya serta melepaskan diri dari cengkraman penjajah.

"Wahai kaum Muslim, wahai para tentara: Kami menyerukan kalian dari Masjid Al-Aqsa," seru mereka menyerukan perubahan total di negeri-negeri Muslim dengan menegakkan Khilafah.

"Sesungguhnya umat Islam ini kehidupannya tidak mati, kekuatannya tidak lemah, tidak ada ketundukkan selain kepada Allah."

Masjid Al-Aqsa menyeru kaum Muslim dan para tentara mereka di seluruh dunia untuk menghentikan segala kezhaliman para penguasa korup termasuk penjualan Palestina oleh PLO serta mendesak umat bersegera menegakkan Khilafah.

"Wahai umat Islam, wahai para tentara-tentaranya, wahai penduduk Mesir dan tentara-tentara Mesir, wahai penduduk Tunisia dan tentara-tetara Tunisia, wahai penduduk Suriah, Turki, Pakistan, wahai tentara-tentara Suriah, Turki, dan Pakistan, wahai penduduk Yordania, Maroko dan Indonesia, wahai tentara-tentara Yordania, Maroko, dan Indonesia, wahai umat Islam di mana pun berada, wahai tentara-tentara Muslim di mana pun berada..." seru Al-Aqsa kepada kaum Muslim seluruh dunia serta para tentara mereka untuk menolong Islam hingga tegak kembali di muka bumi.

Sejak tahun 1953, seruang penegakkan Khilafah telah digelorakan dari Masjid Al-Aqsa. Di saat itulah, beberapa ulama terkemuka setempat di salah satu sudut masjid menyerukan umat untuk membebaskan Palestina dan negerinegeri Muslim lainnya dengan mendirikan Khilafah Islamiyyah. Dari sini pula, lahir sebuah gerakan Islam internasional yang kini membawa panji-panji Rasulullah Saw. hingga tersebar luas di seluruh penjuru dunia. [m/z/f/mna/htpal/syabab.com]
Lihat Foto:

Senin, 14 Februari 2011

Ikhwanul Muslimin Mesir Menolak Gagasan Negara Islam



Gerakan Oposisi Paling Kuat di Mesir ini Ingin Pemilu Demokratis Yang Bebas dan Adil.
Ikhwanul Muslimin Rabu berjanji untuk tidak merebut kekuasaan di Mesir, dalam upaya untuk menenangkan ketakutan Barat akan pengambilalihan kekuasan oleh kelompok Islam di tengah protes demonstrasi besar-besaran terhadap Presiden Hosni Mubarak.

Gerakan Islam ini tetap menjadi kekuatan oposisi paling kuat yang terorganisir di Mesir tetapi menjadi kekuatan yang tidak penting dalam demonstrasi besar menuntut penggulingan Mubarak, yang dilakukan oleh para pemuda Mesir yang sebagian besar kecewa terhadap politik yang djalankan.

“Ikhwanul Muslimin tidak mencari kekuasaan. Kami tidak ingin berpartisipasi dengan peristiwa saat ini,” kata pemimpin senior Ikhwan Mohammed Mursi kepada wartawan. “Kami tidak akan mengajukan calon presiden.”

Pihak Barat dan para pengamat Israel telah menyatakan rasa takut mereka atas partai yang resmi dilarang ini namun gerakan ini ditolerir bisa merebut kekuasaan, dengan merubah mesir yang merupakan sekutu utama Amerika menjadi Republik Islam dengan gaya Iran dan membatalkan perjanjian damai Mesir dengan Israel tahun 1979.

Tapi Essam al-Erian, seorang anggota senior yang berbicara pada konferensi pers yang sama, menegaskan bahwa kelompok itu hanya ingin pemilu demokratis yang bebas dan adil.

“Mengapa ada ketakutan atas Ikhwanul Muslimin? Tidak ada yang bisa membenarkan ketakutan ini kepada Islam Kami menolak gagasan sebuah negara agama..”

Adapun mengenai perjanjian damai dengan Israel, Mursi mengatakan bahwa masa depannya akan diputuskan pada jajak pendapat, menurut siapa yang dipilih oleh rakyat Mesir untuk mewakili mereka dalam parlemen pasca-Mubarak.

Dia menambahkan bahwa kelompok itu tetap terbuka untuk berdialog dengan rezim yang ada, tetapi Mubarak harus segera turun. “Presiden harus meninggalkan jabatannya. Sebuah era yang baru harus dimulai,” katanya.

Kelompok ini telah berpartisipasi dalam perundingan yang diprakarsai oleh Wakil Presiden Omar Suleiman tetapi menyatakan kekecewaannya dengan kemajuan yang dibuat.

“Rezim telah gagal, dan tampaknya sebagian orang berpikir bahwa ini adalah dialog yang monolog,” kata Mursi.

Pembicaraan antara Ikhanul Muslimin, sebagian kelompok-kelompok oposisi yang lebih kecil dengan rezim berkuasa telah terfokus pada pengaturan sebuah komite untuk melihat kemungkinan adanya perubahan pada banyak pasal-pasal paling kontroversial konstitusi Mesir.
Tetapi Ikhwanul Muslimin dan para demonstran diseluruh Mesir - banyak di antaran mereka yang mengatakan bahwa mereka belum terwakili dalam pembicaraan itu - dan telah turun ke jalan-jalan dengan jumlah puluhan ribu orang setiap harinya sejak Januari 25.

Mereka ingin janji yang konkret dari Mubarak untuk mundur segera, dan bukan turun pada bulan September ketika dijaadwalkan pemilihan presiden baru.

Ikhwanul Muslimin telah berpartisipasi dalam demonstrasi-demonstrasi di Mesir, tapi tidak memulai atau mengatur demonstrasi atau membuat gerakan yang telah menjadikan mereka kelompok yang maju.

Mereka hati-hati untuk bersikap low profile dan menekankan bahwa mereka hanyalah peserta dalam gerakan rakyat ini, bukan pemimpin pemberontakan.

“Kami bsersama dengan keinginan rakyat,” kata Mursi. “Kami bersama dengan mayoritas rakyat Mesir … Kami bukanlah mayoritas.”

Kelompok ini telah resmi dilarang sejak tahun 1950-an namun pengikutnya berjumlah ratusan ribu anggota dan beroperasi pada jaringan program social dan agama yang luas di seluruh negeri.

Ikhwan didirikan oleh seorang guru sekolah bernama Hassan al-Banna pada tahun 1928 sebagai gerakan akar rumput yang menentang kolonialisme dan Zionisme. Sebagian besar tujuan kelompok ini terlah berhasil yakni untuk mendorong rakyat Mesir untuk berperilaku Islami dalam kehidupan di muka umum.

Ikhwan telah meninggalkan kekerasan sejak dekade lalu, tetapi pasukan keamanan Mubarak telah menangkap ratusan anggotanya dan membatasi aktivitas politiknya.

Sumber: www.middle-east-online.com (9/2/2011)

Sabtu, 12 Februari 2011

Masa Depan Timur Tengah

Oleh Lathifah Musa
Ikatan Penguasa-Rakyat yang Terurai

Pergolakan di Timur tengah telah membuka mata kita bahwa ikatan-ikatan yang dibangun oleh penguasa Tiran terhadap rakyatnya kini mulai terputus. Hilang sudah kepercayaan rakyat bahwa para penguasa mampu mengurusi urusan mereka.

Pergolakan yang berawal dari Tunisia ini merupakan akumulasi penderitaan rakyat yang berpuluh-puluh tahun hidup dalam sistem Kapitalisme. Hal ini sebagaimana komentar Mohamed A El-Erian, pemimpin utama Pimco, perusahaan investasi global, putra seorang diplomat Mesir dan masih memegang paspor Mesir, yang mengatakan, kesenjangan antara si kaya dan si miskin relatif tinggi. Ini menjadi keprihatinan lama warga Mesir. “Ada pertumbuhan ekonomi, tetapi hasilnya tidak menetes ke bawah,” katanya di New York, Amerika Serikat (AS), Minggu (6/2/2011). (Kompas, 7 Februari 2011)

Aksi-aksi besar di Tunisia dalam waktu singkat memicu gelombang aksi serupa di Mesir, Yaman, Aljazair, dan Jordania. Di Mesir, rakyat telah muak dengan kemiskinan, pengangguran, kenaikan harga barang dan biaya hidup, korupsi, serta ketimpangan gaya hidup.

Seorang demonstran menggambarkan habisnya toleransi mereka atas segala represi dan kekejaman penguasa. Mubarak dikenal sebagai pemimpin yang reaktif terhadap kritik. Ia dengan mudah menangkapi para pengkritik. Hal itu diperburuk ketimpangan pendapatan selama 30 tahun pemerintahan Mubarak. (Kompas, 7 Februari 2011).

Demokratisasi dalam Kendali Amerika

Mesir sebagai negara penting di Timur Tengah menjadi titik terpanas pergolakan di kawasan ini. Pemerintah Mesir kini dikontrol oleh tiga elite lingkaran Mubarak, yaitu Wakil Presiden Omar Sulaiman, Perdana Menteri Ahmed Shafiq, dan Menteri Pertahanan Sayyid Hussein Tantawi. Mereka menghadapi situasi dilematis. Di satu sisi tidak ingin menumbangkan Mubarak saat ini dan di sisi lain tidak menghendaki penggunaan kekerasan terhadap para pengunjuk rasa di Alun-alun Tahrir.

Awal pergolakan Mesir tidak kali ini tidak terlepas dari peran media khususnya internet sebagai saluran komunikasi massa yang berlangsung terus menerus. Mark Lynch, profesor ilmu politik dan hubungan internasional dari George Washington University, AS, mengaku tercengang dengan kekuatan gerakan rakyat di Tunisia dan Mesir yang dilakukan tanpa satu pusat koordinasi (terdesentralisasi) dan tidak melalui jalur-jalur oposisi resmi seperti partai politik, yang seharusnya menjadi saluran perubahan politik.(Kompas 7 Februari 2011)

Adalah Ghonim, eksekutif Google yang disebut-sebut sebagai penggalang utama di balik gelombang demonstrasi menuntut mundur Presiden Mubarak. Ribuan orang mengikuti posting Ghonim di Facebook yang berisi ajakan untuk turun ke jalan. Saat ini diberitakan bahwa ia menghilang di Mesir setelah ikut serta dalam demonstrasi. Dilaporkan ia berada dalam penahanan aparat. Namun tak jelas dimana ia ditahan. Sejak ditahan, sosoknya dijadikan figure oleh para demonstran (Republika.co.id. 7 Februari 2011)

Pergerakan kaum muda Mesir menuntut reformasi konstitusi di Mesir, pembentukan sebuah pemerintahan transisi, pembebasan tahanan politik dan penghapusan pengadilan pembelaan diri bagi warga sipil, mengakhiri status darurat di negara itu dan menjamin kebebasan demokrasi.

Demokrasi yang mulai tumbuh di wilayah ini, kini menyoal persoalan-persoalan baru. Hendak kemana arah perubahan di Mesir atau kawasan Timur Tengah lainnya. Amerika Serikat sejak awal tak luput campur tangan dari pergolakan Mesir, hal ini karena Mubarak adalah sahabat baik dan sekutu AS.

Menurut mantan Wapres AS Dick Cheney, Mubarak telah membantu AS dalam Perang Teluk serta berjuang bersama AS dalam Perang Kuwait. Mubarak bersahabat dengan Israel dan senantiasa berkomitmen menjalankan kepentingan AS dan Israel di kawasan itu. AS telah mengandalkan Mubarak selama puluhan tahun dan menopang rezim otoriternya dengan bantuan miliaran dollar AS untuk militernya.(Kompas 7 Februari 2011)

AS sendiri telah memimpin pembicaraan tentang transisi Mesir dalam pertemuan kelompok Kwartet (kelompok Empat) di Munchen yang dihadiri oleh Menlu AS Hillary Clinton, kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa Catherine Ashton, menlu Rusia Sergei Lavrov dan Sekjen PBB Ban Ki-moon. Mereka membahas transisi demokrasi yang tertib di Mesir. Sekjen PBB Ban Ki-moon, “Sangat penting bagi Kwartet setuju untuk meningkatkan keterlibatannya agar proses perdamaian (di kawasan itu, yang terkait dengan Palestina-Israel) itu ’kembali ke jalurnya’.” (Antara/AFP.7 Februari 2011)

Maka siapa pun yang menggantikan Mubarak, ia harus seorang tokoh yang bisa menjaga status quo Mesir di Timur Tengah dan menjaga stabilitas kawasan. Dengan demikian setting demokrasi akan mempertahankan kendali AS di kawasan ini. Apakah kelak ia adalah Wakil Presiden Omar Sulaiman yang dianggap berpengalaman? Atau mantan Direktur Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) Mohamed ElBaradei yang kini memimpin Lembaga Nasional untuk Perubahan? Atau Amr Mousa, mantan Menteri Luar Negeri Mesir dan kini masih menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Liga Arab? Atau yang lain? Maka Mesir tak akan berubah.

Bagaimana dengan Ikhwanul Muslimin, sebagai Gerakan Islam yang cukup menonjol di Mesir? Juru bicara Ikhwanul Muslimin, Rashad al-Bayoumi, dalam wawancara dengan mingguan Der Spiegel dari Jerman mengatakan, pihaknya sengaja tak ingin menonjol dalam aksi saat ini agar tidak muncul kesan bahwa ini adalah revolusi Islam. ”Ini adalah perlawanan rakyat Mesir,” ujar Bayoumi dalam wawancara yang diterbitkan utuh hari Senin ini.

Pemimpin Ikhwanul Muslimin, Mohammed Badie, menegaskan, pihaknya memiliki tuntutan yang sama dengan seluruh demonstran di Mesir saat ini, yakni mundurnya Mubarak. ”Kami berdiri bersama seluruh kekuatan politik, yang mendukung dialog dengan siapa pun yang ingin melakukan reformasi di negara ini setelah kepergian tiran yang korup dan tak adil ini,” ujar Badie dalam wawancara dengan Al-Jazeera. (Kompas, 7 Februari 2011)

Masa Depan Mesir


Bagaimana masa depan Mesir dan Timur Tengah, tergantung pada lingkungan politik yang tumbuh di kawasan itu. Selama masyarakat masih berharap pada demokrasi yang notabene adalah sistem politik liberal, maka dengan mudahnya Mesir berada dalam cengkeraman Barat (AS dan sekutunya).

Barangkali saat ini AS telah kehilangan pamornya di Mesir. Para pemimpin AS yang datang ke Mesir akan mendapatkan ancaman besar dengan kemarahan rakyat. Standar ganda kebijakan AS telah begitu transparan bagi masyarakat Timur Tengah. Propaganda AS tentang perdamaian, dibarengi dengan kebijakannya membiarkan Israel membantai rakyat Palestina. AS pun memasok persenjataan canggih ke Israel dan membiarkan Israel menjadi satu-satunya negara yang memiliki senjata nuklir. Ini menunjukkan ambiguitas kebijakan AS.

Namun transisi demokrasi akan mengulur waktu bagi AS menemukan sosok yang tepat untuk memimpin Mesir dan menjalankan arah kebijakannya. Selama proses tersebut, pergolakan akan selalu mungkin terjadi. Demokrasi memperlebar ruang tawar-menawar kepentingan politik. Selama ini tak pernah ada kepemimpinan politik yang kuat dalam lingkungan demokrasi. Inilah yang harus disadari oleh masyarakat muslim dunia, termasuk Mesir.

Ikatan kuat yang pernah menjadi sejarah kebangkitan Mesir adalah ikatan Islam. Sebagaimana juga terjadi di kawasan Timur Tengah dan belahan dunia manapun. Kaum muslimin akan kuat dan mampu bangkit bila disatukan oleh ikatan aqidah Islam.

Aqidah Islam ini harus menjadi dasar kepemimpinan politik yang mampu menyatukan dan menggerakkan rakyat untuk mengatur dirinya secara baik.

Bila pilihan Mesir adalah Islam, maka sesungguhnya kekuatan dukungan kaum muslimin akan melintasi batas-batas kawasan bahkan benua. AS sebagai negara yang sebenarnya kewalahan dengan problem ekonomi negaranya dan memiliki hutang luar negeri yang sangat besar, tak akan mampu lagi mengendalikan Mesir.

Namun bila demokrasi masih menjadi pilihan, maka bersedialah untuk tetap apa adanya di bawah kendali AS. Dengan demikian masa depan Mesir kembali kepada keputusan mayoritas rakyatnya. “Innallaaha laa yughayyiru maa biqoumin hatta yughaiyyiruu maa bi anfusihim. Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum hingga kaum itu sendiri mau mengubah nasibnya.” (Ar-Ra’du: 11). Wallahu a’lamu bishshawab.[]

Masa Depan Timur Tengah

Oleh Lathifah Musa
Ikatan Penguasa-Rakyat yang Terurai

Pergolakan di Timur tengah telah membuka mata kita bahwa ikatan-ikatan yang dibangun oleh penguasa Tiran terhadap rakyatnya kini mulai terputus. Hilang sudah kepercayaan rakyat bahwa para penguasa mampu mengurusi urusan mereka.

Pergolakan yang berawal dari Tunisia ini merupakan akumulasi penderitaan rakyat yang berpuluh-puluh tahun hidup dalam sistem Kapitalisme. Hal ini sebagaimana komentar Mohamed A El-Erian, pemimpin utama Pimco, perusahaan investasi global, putra seorang diplomat Mesir dan masih memegang paspor Mesir, yang mengatakan, kesenjangan antara si kaya dan si miskin relatif tinggi. Ini menjadi keprihatinan lama warga Mesir. “Ada pertumbuhan ekonomi, tetapi hasilnya tidak menetes ke bawah,” katanya di New York, Amerika Serikat (AS), Minggu (6/2/2011). (Kompas, 7 Februari 2011)

Aksi-aksi besar di Tunisia dalam waktu singkat memicu gelombang aksi serupa di Mesir, Yaman, Aljazair, dan Jordania. Di Mesir, rakyat telah muak dengan kemiskinan, pengangguran, kenaikan harga barang dan biaya hidup, korupsi, serta ketimpangan gaya hidup.

Seorang demonstran menggambarkan habisnya toleransi mereka atas segala represi dan kekejaman penguasa. Mubarak dikenal sebagai pemimpin yang reaktif terhadap kritik. Ia dengan mudah menangkapi para pengkritik. Hal itu diperburuk ketimpangan pendapatan selama 30 tahun pemerintahan Mubarak. (Kompas, 7 Februari 2011).

Demokratisasi dalam Kendali Amerika

Mesir sebagai negara penting di Timur Tengah menjadi titik terpanas pergolakan di kawasan ini. Pemerintah Mesir kini dikontrol oleh tiga elite lingkaran Mubarak, yaitu Wakil Presiden Omar Sulaiman, Perdana Menteri Ahmed Shafiq, dan Menteri Pertahanan Sayyid Hussein Tantawi. Mereka menghadapi situasi dilematis. Di satu sisi tidak ingin menumbangkan Mubarak saat ini dan di sisi lain tidak menghendaki penggunaan kekerasan terhadap para pengunjuk rasa di Alun-alun Tahrir.

Awal pergolakan Mesir tidak kali ini tidak terlepas dari peran media khususnya internet sebagai saluran komunikasi massa yang berlangsung terus menerus. Mark Lynch, profesor ilmu politik dan hubungan internasional dari George Washington University, AS, mengaku tercengang dengan kekuatan gerakan rakyat di Tunisia dan Mesir yang dilakukan tanpa satu pusat koordinasi (terdesentralisasi) dan tidak melalui jalur-jalur oposisi resmi seperti partai politik, yang seharusnya menjadi saluran perubahan politik.(Kompas 7 Februari 2011)

Adalah Ghonim, eksekutif Google yang disebut-sebut sebagai penggalang utama di balik gelombang demonstrasi menuntut mundur Presiden Mubarak. Ribuan orang mengikuti posting Ghonim di Facebook yang berisi ajakan untuk turun ke jalan. Saat ini diberitakan bahwa ia menghilang di Mesir setelah ikut serta dalam demonstrasi. Dilaporkan ia berada dalam penahanan aparat. Namun tak jelas dimana ia ditahan. Sejak ditahan, sosoknya dijadikan figure oleh para demonstran (Republika.co.id. 7 Februari 2011)

Pergerakan kaum muda Mesir menuntut reformasi konstitusi di Mesir, pembentukan sebuah pemerintahan transisi, pembebasan tahanan politik dan penghapusan pengadilan pembelaan diri bagi warga sipil, mengakhiri status darurat di negara itu dan menjamin kebebasan demokrasi.

Demokrasi yang mulai tumbuh di wilayah ini, kini menyoal persoalan-persoalan baru. Hendak kemana arah perubahan di Mesir atau kawasan Timur Tengah lainnya. Amerika Serikat sejak awal tak luput campur tangan dari pergolakan Mesir, hal ini karena Mubarak adalah sahabat baik dan sekutu AS.

Menurut mantan Wapres AS Dick Cheney, Mubarak telah membantu AS dalam Perang Teluk serta berjuang bersama AS dalam Perang Kuwait. Mubarak bersahabat dengan Israel dan senantiasa berkomitmen menjalankan kepentingan AS dan Israel di kawasan itu. AS telah mengandalkan Mubarak selama puluhan tahun dan menopang rezim otoriternya dengan bantuan miliaran dollar AS untuk militernya.(Kompas 7 Februari 2011)

AS sendiri telah memimpin pembicaraan tentang transisi Mesir dalam pertemuan kelompok Kwartet (kelompok Empat) di Munchen yang dihadiri oleh Menlu AS Hillary Clinton, kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa Catherine Ashton, menlu Rusia Sergei Lavrov dan Sekjen PBB Ban Ki-moon. Mereka membahas transisi demokrasi yang tertib di Mesir. Sekjen PBB Ban Ki-moon, “Sangat penting bagi Kwartet setuju untuk meningkatkan keterlibatannya agar proses perdamaian (di kawasan itu, yang terkait dengan Palestina-Israel) itu ’kembali ke jalurnya’.” (Antara/AFP.7 Februari 2011)

Maka siapa pun yang menggantikan Mubarak, ia harus seorang tokoh yang bisa menjaga status quo Mesir di Timur Tengah dan menjaga stabilitas kawasan. Dengan demikian setting demokrasi akan mempertahankan kendali AS di kawasan ini. Apakah kelak ia adalah Wakil Presiden Omar Sulaiman yang dianggap berpengalaman? Atau mantan Direktur Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) Mohamed ElBaradei yang kini memimpin Lembaga Nasional untuk Perubahan? Atau Amr Mousa, mantan Menteri Luar Negeri Mesir dan kini masih menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Liga Arab? Atau yang lain? Maka Mesir tak akan berubah.

Bagaimana dengan Ikhwanul Muslimin, sebagai Gerakan Islam yang cukup menonjol di Mesir? Juru bicara Ikhwanul Muslimin, Rashad al-Bayoumi, dalam wawancara dengan mingguan Der Spiegel dari Jerman mengatakan, pihaknya sengaja tak ingin menonjol dalam aksi saat ini agar tidak muncul kesan bahwa ini adalah revolusi Islam. ”Ini adalah perlawanan rakyat Mesir,” ujar Bayoumi dalam wawancara yang diterbitkan utuh hari Senin ini.

Pemimpin Ikhwanul Muslimin, Mohammed Badie, menegaskan, pihaknya memiliki tuntutan yang sama dengan seluruh demonstran di Mesir saat ini, yakni mundurnya Mubarak. ”Kami berdiri bersama seluruh kekuatan politik, yang mendukung dialog dengan siapa pun yang ingin melakukan reformasi di negara ini setelah kepergian tiran yang korup dan tak adil ini,” ujar Badie dalam wawancara dengan Al-Jazeera. (Kompas, 7 Februari 2011)

Masa Depan Mesir


Bagaimana masa depan Mesir dan Timur Tengah, tergantung pada lingkungan politik yang tumbuh di kawasan itu. Selama masyarakat masih berharap pada demokrasi yang notabene adalah sistem politik liberal, maka dengan mudahnya Mesir berada dalam cengkeraman Barat (AS dan sekutunya).

Barangkali saat ini AS telah kehilangan pamornya di Mesir. Para pemimpin AS yang datang ke Mesir akan mendapatkan ancaman besar dengan kemarahan rakyat. Standar ganda kebijakan AS telah begitu transparan bagi masyarakat Timur Tengah. Propaganda AS tentang perdamaian, dibarengi dengan kebijakannya membiarkan Israel membantai rakyat Palestina. AS pun memasok persenjataan canggih ke Israel dan membiarkan Israel menjadi satu-satunya negara yang memiliki senjata nuklir. Ini menunjukkan ambiguitas kebijakan AS.

Namun transisi demokrasi akan mengulur waktu bagi AS menemukan sosok yang tepat untuk memimpin Mesir dan menjalankan arah kebijakannya. Selama proses tersebut, pergolakan akan selalu mungkin terjadi. Demokrasi memperlebar ruang tawar-menawar kepentingan politik. Selama ini tak pernah ada kepemimpinan politik yang kuat dalam lingkungan demokrasi. Inilah yang harus disadari oleh masyarakat muslim dunia, termasuk Mesir.

Ikatan kuat yang pernah menjadi sejarah kebangkitan Mesir adalah ikatan Islam. Sebagaimana juga terjadi di kawasan Timur Tengah dan belahan dunia manapun. Kaum muslimin akan kuat dan mampu bangkit bila disatukan oleh ikatan aqidah Islam.

Aqidah Islam ini harus menjadi dasar kepemimpinan politik yang mampu menyatukan dan menggerakkan rakyat untuk mengatur dirinya secara baik.

Bila pilihan Mesir adalah Islam, maka sesungguhnya kekuatan dukungan kaum muslimin akan melintasi batas-batas kawasan bahkan benua. AS sebagai negara yang sebenarnya kewalahan dengan problem ekonomi negaranya dan memiliki hutang luar negeri yang sangat besar, tak akan mampu lagi mengendalikan Mesir.

Namun bila demokrasi masih menjadi pilihan, maka bersedialah untuk tetap apa adanya di bawah kendali AS. Dengan demikian masa depan Mesir kembali kepada keputusan mayoritas rakyatnya. “Innallaaha laa yughayyiru maa biqoumin hatta yughaiyyiruu maa bi anfusihim. Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum hingga kaum itu sendiri mau mengubah nasibnya.” (Ar-Ra’du: 11). Wallahu a’lamu bishshawab.[]

Rabu, 02 Februari 2011

Wapres Baru Mesir, Omar Suleiman, Ternyata Dekat dengan CIA



Tokoh yang ditunjuk oleh Presiden Hosni Mubarak sebagai wakil presiden, Kepala Intelijen Mesir, Omar Suleiman, diberitakan pernah mengatur interogasi brutal terhadap terdakwa teror yang diculik oleh CIA.

Perannya dalam program yang disebut sebagai “perang atas teror” tersebut memperlihatkan hubungan kuat antara Amerika Serikat dan rezim berkuasa Mesir saat gelombang protes dilancarkan melawan Mubarak yang memicu dilema bagi Washington.

Saat kekuasaan Mubarak sedang di ambang kehancuran, Suleiman ditunjuk sebagai wakil presiden pekan lalu dan saat ini sedang menawarkan berbagai perundingan kepada oposisi sebagai tawaran demi mengatasi krisis.

Suleiman dikabarkan sempat menjadi operator yang sangat sibuk untuk melakukan negosisasi gencatan senjata yang sensitif dengan Israel dan Palestina dan juga pembicaraan di antara faksi-faksi yang bermusuhan di Palestina, membuatnya memenangkan pujian dari diplomat Amerika.

Bagi pejabat intelijen AS, ia merupakan mitra terpercaya setelah militan Islam tanpa ragu-ragu menargetkan kelompok radikal domestik pasca mereka melangsungkan serangkaian serangan kepada warga asing.

Suleiman merupakan produk dari hubungan AS-Mesir yang mendapakan pelatihan pada periode 1980-an di Sekolah dan Pusat Militer Khusus John F. Kennedy di Benteng Bragg di North Carolina.

Sebagai komandan intelijen, Suleiman diberitakan ikut terlibat dalam program kontroversial “penukaran tahanan luar biasa” pada masa mantan presiden George W. Bush di mana tersangka teror ditangkap oleh pihak Amerika dan dibawa ke Mesir dan negara lain tanpa ada proses pengadilan resmi menjadi korban interogasi yang kasar.

Ia adalah “pemain utama bagi CIA di Mesir untuk pengiriman tahanan semacam itu,” kata penulis buku “The Dark Side” Jane Meyer yang menulis di laman situs New Yorker. Setelah menjabat sebagai kepala intelijen, Suleiman mengawasi persetujuan dengan AS pada 1995 –saat masa kepresidenan Bill Clinton– yang membolehkan terdakwa militan ditransfer ke Mesir secara rahasia tanpa pertanyaan apa-apa.

Setelah invasi AS ke Irak pada 2003, CIA bergantung pada Suleiman untuk menerima transfer tahanan yang bernama Ibn Sheikh al-Libi yang oleh pejabat AS diharapkan dapat membuktikan adanya keterkaitan antara rezim Saddam Hussein di Irak dengan Al-Qaida.

Tersangka diikat dan dengam mata tertutup diterbangkan ke Kairo, tempat yang diyakini oleh CIA bahwa sekutu lama mereka Suleiman akan memastikan kesuksesan interogasi menurut buku “The One Percent Doctrine” karya Ron Suskind.

Dalam buku “Ghost Plane” yang menulis mengenai program pengiriman tahanan itu, wartawan Stephen Grey menulis bahwa Mesir menghadapi kritik publik dari parlemen mengenai catatan HAM-nya.

“Namun secara rahasia, pria seperti Omar Suleiman, intelijen paling kuat sekaligus polisi rahasia melakukan pekerjaan kami, pekerjaan yang bagi negara barat tidak ingin mereka kerjakan sendiri,” tulisnya. (republika.co.id, 1/2/2011)

Amerika di Belakang Revolusi Mesir



Terjawab sudah siapa yang berada di balik revolusi yang bertujuan menggulingkan Presiden Mesir Hosni Mubarak. Pihak itu tak lain dan tak bukan adalah Amerika Serikat (AS).

Skenario itu telah disusun Washington dengan bertema “perubahan rezim” selama tiga tahun terakhir. Skenario itu sangat matang hingga meledak setelah kesuksesan Revolusi Melati yang menggulingkan Presiden Tunisia Zine El Abidine Ben Ali.

Harian Daily Telegraph terbitan Inggris menyebutkan, AS diam-diam mendukung para pemimpin gerakan revolusi Mesir. Kedutaan Besar Amerika Serikat (AS) di Kairo pernah membantu seorang anak muda anti-pemerintah untuk menghadiri konferensi para aktivis AS.
Nama pemuda itu dirahasiakan agar tidak diketahui polisi Mesir.Kemudian,saat datang ke Kairo pada Desember 2008,aktivis itu menuturkan bahwa para diplomat AS menggaet kelompok oposisi untuk merencanakan skenario menggulingkan Presiden Mubarak dan membentuk pemerintahan demokratik pada 2011.

Aktivis tersebut kini telah ditangkap dalam kaitannya dengan demonstrasi yang merebak akhirakhir ini.

Identitasnya tetap dilindungi Daily Telegraph. Sementara, data kabel rahasia diplomatik AS yang dirilis situs peretas WikiLeaks menunjukkan, pejabat Washington menekan pemerintah Mesir agar membebaskan para aktivis antipemerintah yang ditahan.

Dalam data diplomatik disebutkan, pada 30 Desember 2008 Duta Besar AS untuk Mesir Margaret Scobey melaporkan bahwa kelompok oposisi sedang menyusun agenda rahasia “perubahan rezim” yang akan dilaksanakan sebelum pemilu, dan dijadwalkan pada September 2011.

Memo yang dikirim Scobey dikirim ke Kementerian Luar Negeri AS di Washington itu bertanda “rahasia” dan berjudul “(Gerakan) 6 April, kunjungan aktivis ke AS dan perubahan rezim di Mesir”. Data kawat diplomatik juga menyebut bahwa para aktivis mengklaim mendapatkan dukungan dari kekuatan oposisi yang menyepakati rencana tidak tertulis untuk transisi menuju demokrasi parlementer.

Mereka ingin mengubah konsep tataran pemerintahan Mesir dengan memperlemah kekuasaan presiden dan memperkuat perdana menteri dan parlemen. Rencananya, aksi itu akan dilaksanakan sebelum pemilu presiden 2011. Sumber kedutaan menyebutkan, rencana tersebut sangat sensitif dan tidak boleh ditulis.
Bagaimanapun, dari dokumen tersebut menunjukkan para aktivis telah didekati para diplomat AS.Para aktivis juga mendapatkan dukungan besar atas kampanye pro-demokrasi dari para pejabat di Washington.
Ya, aksi demonstrasi Mesir kali ini dikendalikan Gerakan Pemuda 6 April, sebuah kelompok di Facebook yang menarik generasi muda dan kelompok terdidik untuk menentang Mubarak. Kelompok ini beranggotakan 70.000 anggota dan menggunakan situs jejaring sosial untuk mengendalikan demonstrasi. Meski akhirnya Mubarak memutus semua jaringan komunikasi di negaranya. Mubarak kini menghadapi tantangan paling berat dalam pemerintahannya selama 31 tahun berkuasa.

Sebagai sekutu utama, posisi AS pun serbasulit.Tetapi,AS tetap memainkan standar ganda untuk menutupi skenario revolusi. Itu terbukti ketika Obama berkomentar pada pekan lalu mengenai Mesir. Presiden AS Barack Obama dalam reaksi atas demonstrasi di Mesir, menyatakan, “Kekerasan bukanlah jawaban dalam penyelesaian permasalahan di Mesir.” Dia juga menegaskan agar Mubarak menempuh langkah reformasi politik. Bisa dibilang, investasi AS untuk Mesir sangatlah banyak.

Salah satunya adalah militer. AS juga dalam kondisi khawatir karena memikirkan apakah militer Mesir akan berpihak ke Washington atau tidak. Sedikitnya USD1,3 miliar bantuan AS dikucurkan untuk militer Mesir pada 2010.Bantuan untuk pasukan huru-hara dan polisi Mesir berjumlah sekitar USD1 juta. “Hubungan dengan militer merupakan suatu hal yang sangat keramat. Militer merupakan elemen penting dalam hubungan dua negara,”ujar Jon Alterman,peneliti di Pusat Kajian Strategi dan Internasional. Washington telah mengancam militer Mesir agar tidak bertindak keras terhadap demonstran.

Suleiman, Masa Depan Mesir?
Revolusi Mesir kini tidak lagi fokus terhadap penggulingan Mubarak.Rakyat Mesir dan dunia internasional mengarahkan perhatiannya terhadap Omar Suleiman. Siapa dia? Suleiman telah dipilih menjadi Wakil Presiden Mesir.Dia pernah menyelamatkan Mubarak ketika diserang teroris di Etiopia.

Penunjukan Suleiman sebagai wakil presiden pada Sabtu 29 Januari lalu merupakan sinyal bahwa dialah calon pemimpin masa depan Mesir yang direstui Mubarak. Kedekatan Suleiman dengan militer dan dikenal sebagai pemecah masalah adalah harapan bagi Mubarak yang ingin mempertahankan kekuasaan. Kedua orang tersebut merupakan sahabat lama dan sama-sama dekat dengan Washington. Para pejabat AS memandang Suleiman sebagai pemimpin transisi nantinya, setelah Mubarak. Dengan dukungan Ahmed Shafiq, 69, yang ditunjuk sebagai perdana menteri, ditambah dengan Hussein Tantawi yang tetap menjabat panglima militer, maka posisi Suleiman semakin kuat.

“Presiden (Mubarak) memilih seorang pria yang dia percaya ketika dia (Mubarak) sedang digoyang,” ujar Mahmud Shokry, mantan duta besar untuk Suriah dan teman dekat Suleiman,kepada The NewYork Times.
“Tidak ada keraguan bahwa presiden tidak mengetahui apa yang akan terjadi nanti.” Suleiman, mantan jenderal, menjadi kandidat pemimpin Mesir yang telah diskenariokan kubu Mubarak dan militer.
Jika Suleiman tetap maju,maka publik akan marah karena itu tidak dikehendaki oleh rakyat Mesir.Jika Suleiman jadi presiden, maka demokrasi otoriter dengan dukungan militer akan terus berlanjut.

“Dia (Suleiman) merupakan orang yang keras dan kuat dengan orientasi bisnis. Dia juga merupakan negosiator yang ulung,”ujar Emad Shahin, mantan dosen di American University di Kairo.

Menurut Shahin, setelah aksi demonstrasi besar-besaran ini jelas sekali militer akan mengambil alih.Apalagi, sejarah telah membuktikan bahwa rakyat Mesir memang lebih menghormati militer. Itu disebabkan militer yang menyelamatkan Mesir ketika berperang melawan Israel pada 1967 dan 1973.

Mencari Pemimpin Alternatif Mesir
Jadi, apakah Suleiman adalah orang yang dipandang Barat mampu menggantikan Mubarak? Jawabannya memang sangat sulit.Barat tidak memfavoritkan Suleiman sebagai pengganti Mubarak yang telah 30 tahun berkuasa meski wakil presiden baru itu tampaknya akan didukung AS. Telunjuk Barat sebenarnya lebih terarah pada Mohamed ElBaradei yang dielu-elukan Barat.
Dia dianggap cocok menjadi pemimpin transisi bagi Mesir.Pergaulan yang luas membuat ElBaradei dihargai banyak pihak. Apalagi, dia merupakan seorang sekuler. ElBaradei menyerukan agar Ikhwanul Muslimin seharusnya menjadi partai politik dan bekerja sama dalam satu payung bersama Koalisi Nasional untuk Perubahan. (okezone.com, 31/1/2011)