I made this widget at MyFlashFetish.com.

Khilafah

Gempita Konferensi Rajab 1432 H

Minggu, 31 Oktober 2010

Subhanallah..Masjid Al Amin Tetap Kokoh Berdiri Dihantam Wedhus Gembel



Panasnya wedhus gembel atau guguran awan panas yang dimuntahkan Gunung Merapi di Yogyakarta membuat puluhan orang meninggal dunia. Hijaunya desa sudah terganti dengan tebalnya debu abu vulkanik termasuk gersangnya pepohonan yang habis terbakar.

Berdasarkan pantauan Tim Evakuasi Korban Merapi Dompet Dhuafa, Iman Surahman, hanya ada satu bangunan yang masih utuh berdiri yaitu Masjid Al Amin. Mesjid tersebut hanya berjarak 100 meter dari halaman rumah Mbah Maridjan di desa Kinahrejo, Cangkringan, Umbul Harjo Sleman Yogyakarta.

“Betul ada mesjid yang berdiri, dari sekian banyak rumah yang yang porak poranda. Yang masih tampak bentuknya yaitu masjid, itu kuasa Allah” kata Iman Kamis, (28/10/2010) malam.

Yang lebih mencengangkan lagi, meski panas memiliki suhu lebih dari 600 derajat celcius tak dapat membakar sejumlah benda yang terdapat di dalam masjid tersebut. “ Di dalam masjid, ada debu tebal. Tapi yang kita lihat ada Alquran yang terjaga dan tidak terbakar” sambungnya.

Berdasarkan informasi yang dihimpun masjid yang dibangun dekat kediaman si Mbah sebagaian dana pembangunannya berasal dari honor Mbah Maridjan saat membintangi iklan minuman berenergi.

Kamis, 21 Oktober 2010

Sekitar 1100 Ulama di Jakarta Serukan Ganti Sistem Kapitalisme Sekuler dengan Khilafah



Jakarta - Tidak seperti biasanya, di tiang bendera Gedung Balai Pustaka, Jalan Gunung Sahari, Jakarta Pusat pada Ahad (17/10/2010) terkait bendera yang sangat besar. Yang berkibar gagah perwira di pagi yang cerah. Ait, jangan salah, ini bukan sembarang bendera, tetapi Al Liwa (bendera putih bertuliskan dua kalimat syahadat), bendera yang diwariskan Rasulullah SAW kepada kaum Muslimin. Pengibaran bendera tersebut pun merupakan simbol bahwa di dalam gedung tersebut sedang berlangsung acara istimewa yakni silaturahmi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dengan para ulama, pewaris para nabi.

Benar saja, di ruang utama gedung tersebut nampak sekitar 1100 kiyai, ustadz, santri, aktivis Islam dan tokoh masyarakat nampak antusias mengikuti acara Silaturahmi HTI bersama Ulama dan Tokoh Masyarakat: Menjadi Khairu Ummah dengan Menegakkan Syariah dan Khilafah. Dua buah layar lebar multi media terpampang di kanan dan kiri panggung serta efek suara yang disiapkan Tim Infokom HTI semakin menambah dramatisnya acara. Acara ini pun disiarkan secara langsung melalui radio steaming HTI Channel, www.hizbut-tahrir.or.id.

Pimpinan DPP HTI Ust Rokhmat S Labib hadir memberikan sambutannya, pidato politik disampaikan oleh Jurubicara HTI Ust Ismail Yusanto, sedangkan KH Ihsan Abdul Jalil, salah seorang putra ulama Ponpes Bahrul Ulum Tambak Beras Jombang Jawa Timur menyampaikan kalimat hikmah.

Di sela-sela itu, diputarlah film dokumentasi Mengenal HTI dan audio video pidato Imam Besar Masjidil Aqsa Syaikh Hisyam Ameera yang menyerukan kaum Muslim sedunia bersatu dalam naungan khilafah, mengerahkan pasukannya untuk melawan kebiadaban Israel.

Ust Rokhmat S Labib menyatakan menegakkan syariah dan khilafah memang tidak mudah. Kaum kafir penjajah seperti Amerika dan sekutunya, selalu saja menghalang-halangi tegaknya syariah dan khilafah dengan berbagai isu pencitraburukan Islam. Oleh karena itu kaum Muslim terutama para ulamanya harus memiliki agenda yang jelas.

“Agenda tersebut adalah menegakkan syariah Islam dalam naungan khilafah!” ujarnya kemudian disambut takbir hadirin. Jangan sampai agenda tersebut terbelokkan oleh berbagai isu yang dibuat oleh penjajah. Sebaliknya, berbagai isu yang ada harus dijadikan poin untuk menjelaskan kepada umat bahwa semua itu muncul karena tidak diterapkannya syariah Islam.

Sedangkan, Ust Ismail Yusanto menyatakan bahwa Hizbut Tahrir berada di Indonesia sejak 25 tahun. Ada yang menanyakan, bagaimana Anda berjuang untuk tegaknya syariah dan khilafah sementara masyarakat belum paham? “Justru karena masyarakat belum paham, tugas kita itulah memahamkan!” ujarnya.

Karena kepentingan untuk memahamkan itulah maka Hizbut Tahrir berjuang secara terang-terangan, menyampaikan visi dan misinya secara tegas dan lugas. Tidak ada satupun cita-cita perjuangan Hizbut Tahrir itu disembunyikan dan dengan itu umat menjadi paham.

“Mungkinkah para kiai dan ustadz bisa ikut berjuang kalau sedari awal Hizbut Tahrir diam?” ujarnya. “Tidak…” serentak hadirin. Karena itu, pilihan pengemban dakwah cuma dua: diam atau bicara, itulah alat perubahan. Dengan bicara itu pulalah, berdasarkan survey SEM Institut pada Maret-April 2010, disebutkan sebanyak 65 persen dari 1200 responden dari berbagai kalangan di 13 kota besar di Indonesia menyatakan mendukung perjuangan HTI dan 12 persen di antaranya bahkan ingin menjadi anggota HTI.

Selanjutnya, KH Ihsan Abdul Jalil mengingatkan hadirin bahwa ciri-ciri ulama ada dua, yakni memiliki ilmu yang tinggi dan takut kepada Allah SWT. Bila hanya ilmu yang tinggi saja tanpa ketakwaan itu namanya hanya ilmuwan bukan ulama!” tegasnya. Karena keulamaannya, tentu saja dakwahnya penuh dengan resiko. “Kalau sekedar mengajar tata cara shalat tentu saja tidak beresiko!” paparnya. Resiko itu muncul ketika mengingatkan umat dan penguasa untuk kembali terikat kepada syariah Islam secara kaffah.

Namun, muncul atau tidak resiko itu, ulama harus tetap di garis depan, tegas menyeru kepada penguasa dan umat untuk mengganti sistem kufur demokrasi ini dengan syariah dan khilafah Islam sebagai bukti memang ulama tersebut takutnya hanya kepada Allah SWT saja, bukan takut ditinggalkan umat atau siksaan penguasa dholim.

Peserta pun nampak antusias, berkali-kali mereka memekikkan takbir setiap pembicara menggugah semangat perjuangan hadirin. Mereka pun tertawa ketika pembicara menceritakan anekdot perjuangan, bahkan menangis ketika Ust Abu Nabila membacakan doa penutup acara.

Habib Khalilullah bin Abu Bakar Al Habsyi Al Hassani, misalnya, merasa gembira dapat mengikuti acara ini. “Alhamdulillah, al faqir (saya, red) merasa gembira karena masih ada kelompok umat manusia yang terkumpul di dalam niat untuk menegakkan Khilafah Islamiyyah, menegakkan syariah Islamiyah, yang saat ini berkumpul di gedung ini” ujar Pimpinan Majlis Dzikir Imdadul Hadadiy, Jakarta Timur tersebut.

Sedangkan peserta lainnya, ulama dari Cikampek KH Ahmad Zainuddin, menyatakan benar-benar bersyukur bisa dipertemukan dengan aktivis HTI di Cikampek sehingga membuatnya lebih tertantang untuk menelaah kembali kitab-kitab kuningnya. Ternyata yang diperjuangkan Hizbut Tahrir di dunia, Jakarta maupun daerah tercantum pula dalam kitab-kitab tersebut.

Agenda menegakkan syariah dan khilafah sesungguhnya adalah harga mati. Tidak bisa diubah, tidak bisa ditukar, memang di tengah-tengah umat wajib dan mutlak harus ada syariah dan khilafah. “Saya katakan harga mati karena penegakkan syariah itu terkait erat dengan iman atau kafir,” ujar Pimpinan Ponpes Al Husna Cikampek itu. Iman kepada Allah dan kafir terhadap thagut. Konsekuensinya menerapkan syariah Allah SWT dalam naungan Khilafah dan kafir terhadap aturan thagut dalam sistem yang berlaku saat ini.

Peserta dari Bogor, KH Yahya Suja’i menyatakan setelah bergaul dengan aktivis HTI di Bogor malah semakin mantap berdakwah menjelaskan kepada umat bahwa sistem yang berlakuk saat ini adalah sistem yang tidak diridhai Allah SWT.

“Setelah selama satu setengah tahun terakhir ini semakin banyak silaturahmi dengan aktivis HTI saya semakin berani berdakwah untuk tegaknya syariah dan khilafah Islamiyah!” tegas Pimpinan Ponpes Ibnu Suja’i, Citeureup, Bogor, Jawa Barat itu.

Ya, karena rasa takutnya hanyalah untuk Allah SWT. Itulah karakter ulama. Allahu Akbar!(mediaumat.com, 18/10/2010)

Rabu, 06 Oktober 2010

About 10 Indonesian-US Partnership



By: Harith Abu Ulya (Lajnah Siyasiyah-DPP Hizbut Tahrir Indonesiaan )

An official release from the meeting U.S. Secretary of Hillary Clinton and Secretary of RI Marty Natalegawa along with their respective delegations within the framework of the Indonesia-United States Comprehensive Partnership in Washington DC, issued on on 17 September. And in the release also described the implementation of Action Plan as a guide Comprehensive Partnership. (Details can be viewed: http://www.state.gov/r/pa/prs/ps/2010/09/147309.htm) From the substance of the partnership, there are some important notes as follows:
1. This step is the formalization and the provision of a framework for cooperation that have been discussed even in some areas has reached the technical level, for example in the problem of increased trade, investment, defense and security, health and science. Foreign Minister Marty Natalegawa on Friday, 03.19.2010 delay in commenting on Obama's visit stated, "The delay did not disrupt all the preparations that have been done. All the preparation substance is ripe, among others Comprehensive Partnership Agreement, the agreement in the field of investment, agreements on technological cooperation, etc., of the substance is ready all. " In the health sector according to Advisor to the Minister of Health Makarim Wibisono, strategic partnerships are planned to be signed during the visit of U.S. President Barack Obama to Indonesia, also includes the areas of health, namely the field of biomedical research and health sciences, including viruses. He stated: "But we get the job done in public health research cooperation that baseball should be before Obama finished his arrival. We must work properly, freely, looking for formulas that are win-win ". While in the ain, the meetings part of the preparation for Comprehensive Partnership in each area also have occurred, among others listed in the U.S. embassy release issued June 28.

2. Preparation of Comprehensive Partnership toward this was planned long ago and even look at the selection of cabinet ministers and other officials are now choosing people who are close and well liked "American" for example, be a minister Purnomo, Endang became Minister of Health, Minister of Trade Mari Elka remain so, SMI so although the middle of the road forced Finance Minister Agustin Martowardoyo replaced, Marty previously much engaged in the UN and the U.S. became Foreign Minister, then Dino Pati Djalal so plenipotentiary ambassador to the U.S..

3. The above was stated by Thomas B. Pepinsky, assistant professor of government at Cornell University, who wrote in the Asia Pacific Bulletin number 42, August 17, 2009: "In preparation SBY for both periods, the U.S. and Indonesia plan" Comprehensive Partnership "new to strengthen bilateral relations. At the same time Indonesia is facing a number of challenges, including acute challenges of the global economic crisis, the challenge of developing a chronic set the country a large and diverse, and the renewed threat of terrorism-will test the government of SBY. SBY response to the challenges that will shape the way Indonesia-US bilateral relations forward. All the signals indicate that SBY platform to continue economic development, reform and domestic security is only right to forge new partnerships with the U.S. Indoneisa. "He also stated that the selection of vice president Boediono, and Minister of Trade Mari Elka Pangestu and Minister of Finance SMI, more to strengthen the market approach in regulate the economy. According to him, a policy focused on market-oriented and out will be the center of the most important part of Indonesia's economic relations with the United States. According to him, attention to security also will be forming Indonesia-US relations. He concluded that the policy Yudhoyono in the second period would only experience a small change compared to the first period. Indonesia will continue to out-oriented development model in accordance with the unique conditions of Indonesia SBY government-and will continue to prioritize security and stability in the country while continuing some of the important agenda of government reform. This is a priority shared by the Obama administration to Indonesia. Besides all of the policy, Obama's personal connections with Indonesia, the election of SBY and Vice President Boediono, Yudhoyono's cabinet election officials, etc. will be influential in shaping the Indonesia-US relations. With all these reasons he thought the administration should look at the second period as a result of the election of SBY best to build a U.S. partnership with Indonesia. He ended up writing "SBY and his new team is an ideal partner for a new comprehensive partnership with the Indonesian government Obama." (Source: EastWestCenter.org / APB)

4. The signing of Comprehensive Partnership is the institutionalization of commitments SBY-SBY is the first time called for Indonesia-US strategic partnership in November 2008 and later changed to a Comprehensive Partnership Obama-and Obama-SBY welcomes calls and direct follow up by sending Hillary Clinton in February 2010. Clinton immediately after the inauguration of Obama stating that the Obama administration is committed to working towards such a partnership is guided by a concrete agenda to strengthen and deepen-RI-US cooperation is long term and make the RI-US friendship as friendship eternal. You could say this deal perpetuate RI-US relations. In other words perpetuate U.S. hegemony and control over Indonesia. Whoever the President of post-SBY, then this agreement shall run and not be out of the corridors. This is a signal that the president should be someone who post SBY accept and fully support this agreement. If not, then it would be "annihilated" by the U.S. and its people in Indonesia.

5. The Joint Commission is chaired by U.S. Secretary of State and Secretary of RI is a key component of the implementation of the Comprehensive Partnership. This means that all implementations of this Comprehensive Partnership under the control of the foreign ministry. This is also in line with the annual report foreign ministry where many dialogues, seminars and so forth such as seminars conducted by ICIS, the dialogue of tolerance, dialogue between religions, etc., are all foreign ministry project.

6. Comprehensive Partnership is a real form of the Obama administration's use of soft power. Of course the goal is to deepen U.S. influence and control over countries that were targeted soft power was in this case is Indonesia. If the Bush's term of office twice, hard power approach is more prominent and produce tremendous resistance from the world, especially Muslim countries, the different case with soft power is relatively not get resistance from the world even welcomed with open arms and hearts and is regarded as a good American - except by ideological parties in the Islamic world. So it happened with this Comprehensive Partnership. Many people in this country do not regard it as an intervention and U.S. control over Indonesia. Instead they regard as good the U.S. to Indonesia. They also menggangap Comprehensive Partnership is already located in the right direction.

7. U.S. hegemony over the country will run on systems designed-by-didektekan U.S.. But implementation is still run by the U.S. people in the target country that became their stooge either consciously or not. In the Bush era regeneration problem this person did not receive significant attention. So this Comprehensive Partnership primarily in education, and human resource capacity development, can also be interpreted to guarantee the formation of a new generation successor of U.S. agencies that already exist.

8. In general and overall, this Comprehensive Partnership will deepen and sustain the intervention, the U.S. influence and hegemony over Indonesia. All of that with this partnership will become more comprehensive, view the scope of partnership which is so vast and the readiness to expand into sectors and areas of other activities.

9. Ummah need to be aware, the existence of U.S. hegemony over Islamic countries (Indonesia in particular) can walk almost without a hitch because of the contribution and hypocritical attitudes of its rulers. And the U.S. giving reward (prize) with full support to put the "comprador" This strategic position of power in various Islamic countries.

10. Indeed physically independent Indonesia, but still in the armpit of Western colonial nations (the U.S. and its allies) in various aspects (economic, political security, social culture, and law). In this context, people need to be "literate" and voiced the true independence for Indonesia. Exempt from Western imperialism (U.S. cs), and returned to life with the appropriate disposition system, satisfactory reason, and inner peace can give birth (heart) and it was none other than Islam. The system Sohih, media reach Sa'adah (happiness) and kamal (perfection) living in the world and the hereafter. Wallahu a'lam bisshowab

10 Perihal Kemitraan Indonesia-AS



Oleh: Harits Abu Ulya (Ketua Lajnah Siyasiyah-DPP HTI)

Release resmi hasil pertemuan Menlu AS Hillary Clinton dan Menlu RI Marty Natalegawa beserta delegasi masing-masing dalam rangka Kemitraan Komprehensif Indonesia-AS di Washington D.C., dikeluarkan pada tanggal 17 September lalu. Dan di dalam release juga dijelaskan Rencana Aksi sebagai panduan implementasi Kemitraan Komprehensif. (lengkapnya bisa dilihat: http://www.state.gov/r/pa/prs/ps/2010/09/147309.htm)

Dari substansi kemitraan, ada beberapa catatan penting sebagai berikut:

1. Langkah ini adalah formalisasi dan pemberian kerangka bagi kerjasama yang sudah dibicarakan sebelumnya bahkan pada beberapa area sudah sampai pada tataran teknis, misalnya dalam masalah peningkatan perdagangan, investasi, pertahanan dan keamanan, kesehatan dan sains. Menlu Marty Natalegawa pada Jumat 19/3/2010 dalam mengomentari penundaan kunjungan Obama menyatakan, “Penundaan tidak mengganggu semua persiapan yang sudah dilakukan. Semua persiapan substansi sudah matang, antara lain Comprehensive Partnership Agreement, perjanjian di bidang investasi, perjanjian tentang kerja sama teknologi, dan lain-lain, dari sisi substansi sudah siap semua”. Dalam bidang kesehatan menurut Staf Ahli Menteri Kesehatan Makarim Wibisono, kemitraan strategis yang rencananya akan ditandatangani saat kunjungan Presiden AS Barack Obama ke Indonesia, juga mencakup bidang kesehatan, yakni bidang penelitian biomedis dan health science, termasuk virus. Ia menyatakan : “Tapi kita menyelesaikan pekerjaan kerjasama di public health research itu enggak harus sebelum kedatangan Obama selesai kan. Kita harus bekerja dengan benar, leluasa, mencari formula yang sifatnya win-win”. Sementara di sisi ain, pertemuan-pertemuan bagian dari persiapan Kemitraan Komprehensif di masing-masing bidang juga sudah terjadi, diantaranya tercantum dalam release yang dikeluarkan kedubes AS 28 Juni .

2. Persiapan ke arah Kemitraan Komprehensif ini sudah direncanakan sejak lama bahkan terlihat pemilihan para menteri di kabinet sekarang dan pejabat lainnya yaitu dipilihnya orang-orang yang dekat dan disukai “Amerika” misal, Purnomo jadi Menhan, Endang jadi menkes, Mari Elka tetap jadi Mendag, SMI jadi menkeu meski ditengah jalan terpaksa diganti Agus Martowardoyo, Marty yang sebelumnya banyak berkiprah di PBB dan AS jadi Menlu, lalu Dino Pati Djalal jadi dubes berkuasa penuh untuk AS.

3. Hal di atas sudah dinyatakan oleh Thomas B. Pepinsky, asisten profesor pemerintahan di Cornell University, yang menulis di Asia Pacific Bulletin nomor 42, 17 Agustus 2009: “Sebagai persiapan SBY untuk periode keduanya, AS dan Indonesia merencanakan “Kemitraan Komprehensif” yang baru untuk memperkuat hubungan bilateral. Pada saat yang sama Indonesia menghadapi sejumlah tantangan -termasuk tantangan akut krisis ekonomi global, tantangan kronis mengatur negeri sedang berkembang yang besar dan beragam, dan ancaman terorisme yang diperbarui- akan menguji pemerintahan SBY. Respon SBY terhadap tantangan itu akan membentuk jalan hubungan bilateral Indonesia-AS ke depan. Semua sinyal mengindikasikan bahwa platform SBY untuk melanjutkan pembangunan ekonomi, reformasi dan keamanan dalam negeri hanya tepat untuk menempa kemitraan baru Indoneisa dengan AS.” Ia juga menyatakan bahwa pemilihan wapres Boediono, dan mendag Mari Elka Pangestu dan Menkeu SMI, lebih untuk menguatkan pendekatan pasar dalam mengatur ekonomi. Menurutnya, kebijakan yang difokuskan pada pasar dan berorientasi keluar akan menjadi pusat bagian terpenting dalam hubungan ekonomi Indonesia dengan AS. Menurutnya, perhatian pada keamanan juga akan menjadi pembentuk hubungan Indonesia-AS. Ia menyimpulkan bahwa kebijakan SBY pada periode kedua hanya akan mengalami perubahan kecil dibanding periode pertama. Indonesia akan tetap melanjutkan model pembangunan berorientasi keluar -sesuai dengan kondisi unik Indonesia- dan pemerintahan SBY akan terus memprioritaskan stabilitas dan keamanan dalam negeri seraya melanjutkan beberapa agenda penting reformasi pemerintahan. Ini adalah prioritas yang dishare oleh pemerintahan Obama untuk Indonesia. Disamping semua kebijakan itu, koneksi personal Obama dengan Indonesia, terpilihnya SBY dengan wapres Boediono, pemilihan pejabat kabinet SBY, dsb akan berpengaruh dalam membentuk hubungan Indonesia-AS. Dengan semua alasan itu menurutnya pemerintahan Obama harus memandang periode kedua SBY sebagai hasil pemilu terbaik untuk membangun kemitraan AS dengan Indonesia. Ia mengakhiri tulisannya ” SBY dan tim barunya adalah mitra ideal bagi kemitraan komprehensif baru pemerintahan Obama dengan Indonesia”. (sumber: EastWestCenter.org/apb)

4. Penandatanganan Kemitraan Komprehensif ini adalah pelembagaan dari komitmen SBY -SBY adalah yang pertama kali menyerukan kemitraan strategis Indonesia-AS pada November 2008 dan belakangan diubah menjadi Kemitraan Komprehensif- dan Obama -Obama menyambut seruan SBY dan langsung menindaklanjuti dengan mengutus Hillary Clinton pada Februari 2010. Hillary segera setelah pelantikan Obama menyatakan bahwa pemerintahan Obama berkomitmen untuk bekerja ke arah kemitraan semacam itu dipandu oleh agenda yang konkret- untuk menguatkan dan memperdalam kerjasama RI-AS bersifat jangka panjang dan menjadikan persahabatan RI-AS sebagai persahabatan abadi. Bisa dikatakan kesepakatan ini mengabadikan hubungan RI-AS. Dengan kata lain melanggengkan kontrol dan hegemoni AS atas Indonesia. Siapapun presiden RI pasca SBY, maka harus menjalankan kesepakatan ini dan tidak boleh keluar dari koridornya. Ini menjadi sinyal bahwa presiden pasca SBY haruslah orang yang menerima dan mendukung sepenuhnya kesepakatan ini. Jika tidak maka akan “dihabisi” oleh AS dan orang-orangnya di Indonesia.

5. Komisi Bersama ini yang diketuai Menlu AS dan Menlu RI merupakan komponen kunci dari implementasi Kemitraan Komprehensif. Artinya semua implementasi Kemitraan Komprehensif ini di bawah kendali kementerian luar negeri. Ini juga sejalan dengan laporan tahunan kementerian luar negeri dimana banyak dialog, seminar dan sebagainya seperti seminar yang dilakukan oleh ICIS, dialog toleransi, dialog antar agama, dsb, semuanya adalah proyek kementerian luar negeri.

6. Kemitraan Komprehensif ini adalah bentuk nyata penggunaan soft power pemerintahan Obama. Tentu tujuannya adalah memperdalam pengaruh dan kontrol AS atas negara yang dijadikan sasaran soft power itu dalam hal ini adalah Indonesia. Kalau pada dua kali masa jabatan Bush, pendekatan hard power lebih mengemuka dan menghasilkan resistensi luar biasa dari dunia khususnya negeri muslim, maka beda halnya dengan soft power ini relatif tidak mendapatkan resistensi dari dunia bahkan disambut dengan tangan dan hati terbuka dan dianggap sebagai kebaikan AS -kecuali oleh pihak-pihak yang ideologis di dunia Islam-. Begitu pula yang terjadi dengan Kemitraan Komprehensif ini. Banyak pihak di negeri ini tidak menganggapnya sebagai intervensi dan kontrol AS atas Indonesia. Justru mereka anggap sebagai kebaikan AS kepada Indonesia. Mereka juga menggangap Kemitraan Komprehensif seperti ini sudah berada pada arah yang benar.

7. Hegemoni AS atas suatu negeri akan berjalan berdasarkan sistem yang dirancang -didektekan- oleh AS. Namun implementasinya tetap dijalankan oleh orang-orang AS di negeri sasaran yang menjadi antek mereka baik sadar maupun tidak. Pada era Bush masalah regenerasi orang ini tidak mendapat perhatian berarti. Maka Kemitraan Komprehensif ini terutama bidang pendidikan, dan pengembangan kapasitas SDM, bisa juga diartikan untuk menjamin terbentuknya generasi baru penerus agen-agen AS yang sudah ada.

8. Secara umum dan keseluruhan, Kemitraan Komprehensif ini akan memperdalam dan melanggengkan intervensi, pengaruh dan hegemoni AS atas Indonesia. Semua itu dengan kemitraan ini akan menjadi lebih komprehensif, melihat cakupan kemitraan yang yang begitu luas dan adanya kesiapan untuk memperluasnya ke sektor-sektor dan area kegiatan lainnya.

9. Umat perlu sadar, eksistensi hegemoni AS atas negeri-negeri Islam (Indonesia khususnya) bisa berjalan nyaris tanpa hambatan karena kontribusi dan sikap hipokrit dari para penguasanya. Dan AS memberikan reward (hadiah) dengan dukungan penuh untuk mendudukkan para “komprador” ini di berbagai posisi strategis kekuasaan negeri Islam.

10. Sesungguhnya Indonesia merdeka secara fisik, tapi masih dalam ketiak penjajahan bangsa Barat (AS dan sekutunya) dalam berbagai aspek (Ekonomi, Politik keamanan, Sosial budaya, dan hukum). Dalam konteks inilah, umat perlu “melek” dan menyuarakan kemerdekaan yang hakiki untuk Indonesia. Membebaskan dari imperialisme Barat (AS cs), dan dikembalikan kepada kehidupan dengan sistem yang sesuai fitrah, memuaskan akal, dan bisa melahirkan ketentraman batin (kalbu) dan itu tidak lain adalah Islam. Sistem yang sohih, media mencapai sa’adah (kebahagiaan) dan kamal (kesempurnaan) hidup di dunia dan akhirat. (wallahu a’lam bisshowab)

Presiden SBY tidak Paham Jihad ?

(Upaya Pendistorsian Makna Jihad)

Oleh: Harits Abu Ulya (Ketua Lajnah Siyasiyah DPP-HTI)


Dalam acara Silaturahmi Musabaqah Tilawatil Quran dan Hadis Tingkat ASEAN dan Pasifik di Istana Negara, Jl Veteran, Jakarta Pusat, Senin (4/10/2010). Yang juga dihadiri oleh beberapa menteri Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II seperti Mendiknas M Nuh, Menkopolhukam Djoko Suyanto, Mensesneg Sudi Silalahi, Menteri Agama Suryadharma Ali, juga duta besar beberapa negara Islam dari Timur Tengah. Hadir juga Dr. Sholeh bin Abdullah bin Humaid yang juga utusan resmi Pangeran Sultan bin Abdul Aziz Alu Su`ud, Duta Besar Kerajaan Arab Saudi, dan para duta besar negara-negara sahabat untuk Indonesia. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan beberapa hal sebagai bentuk respon terhadap beberapa peristiwa kekinian yang diekspos secara luas oleh media.

Presiden Yudhoyono dalam sambutanya; “Siapapun tidak boleh mengatasnamakan agama sebagai instrumen untuk melakukan tindak kekerasan dan teror,”. Presiden Yudhoyono berharap jangan sampai generasi muda menafsirkan makna jihad di dalam Al Quran secara keliru. Penafsiran keliru itu, kata Kepala Negara, adalah mengartikan jihad sebagai jalan kekerasan dan menghalalkan segala cara. “Janganlah menjadikan ajaran Islam sebagai tameng untuk membenarkan tindakan terorisme,” kata Yudhoyono. Generasi muda, menurut Presiden, seharusnya memaknai jihad sebagaimana mestinya, yaitu jihad melawan hawa nafsu, kemiskinan, keterbelakangan, perilaku korupsi, dan jihad untuk kesejahteraan bangsa dan negara.

Presiden menegaskan bahwa Islam itu damai dan teduh. Islam adalah agama yang cinta keadilan dan selalu menganjurkan kasih sayang, serta menjauhi permusuhan. Melalui Al Quran, Islam mencegah perbuatan yang keji dan mungkar, katanya. “Al Quran dan Hadits juga mengajarkan kepada kaum Muslimin untuk memelihara dan mempertahankan nilai-nilai luhur yang mulia, etika kehidupan yang baik, serta tata hubungan sosial yang harmonis dan bermartabat,” kata Presiden. Memperjuangkan Islam, imbuhnya, perlu dilandasi dengan perilaku yang baik. “Bukan sebaliknya, tindakan yang tidak Islami,” tuturnya. (Antaranews.com, 4/10, Detiknews.com,4/10)

Setidaknya ada dua hal paling urgent yang perlu di kritisi dari pernyataan Presiden SBY. Pertama; pernyataan SBY lebih tepat disebut sebagai tuduhan, jika ada sebagian orang atau kelompok yang menjadikan agama sebagai tameng atau instrumen untuk melakukan tindakan kekerasan dan teror. Sebelumnya Presiden juga mengeluarkan pernyataan yang mirip, saat memberikan sambutan pada peresmian Masjid Baiturrahim yang berada di Kompleks Istana Kepresidenan, Presiden mengatakan masjid atau rumah ibadah adalah pusat kebaikan dan pusat kebajikan untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan.

Karena itu, dia meminta agar masjid tidak dijadikan sebagai ajang untuk memprovokasi atau menyerukan tindakan kekerasan. Pernyataan Presiden itu terkait dengan aktivitas sejumlah teroris yang telah ditangkap, yang cenderung menjadikan tempat ibadah untuk mengajarkan permusuhan dan tindak kekerasan kepada orang yang berbeda akidah. (Republika.co.id,2/10)

Pernyataan di atas tentu bukan bercanda, tapi artikulasi verbal dari proses pencerapan terhadap realitas dan informasi yang masuk dalam pikiran Presiden. Maka sentimen dalam bentuk redaksi “tuduhan” perlu dibuktikan, agar program pemerintah dalam menangani kasus “terorisme” tidak melahirkan masalah dan musuh baru dengan sengaja atau tidak telah memojokkan dan menstigmasi Islam terkait terorisme. Umat Islam juga bisa mengeluarkan asumsi berlawanan; “jangan sampai penguasa menjadikan proyek kontra terorisme tameng untuk melakukan “teror” dan “mendiskritkan” Islam dan kaum muslimin“. Karena ungkapan Presiden Yudhoyono lebih sebagai asumsi yang masih perlu bukti, kalau masjid menjadi “kawah condrodimuka” lahirnya kekerasan. Jika ada satu atau dua orang yang sesuai ungkapan presiden, tentu juga tidak bisa digeneralisir dengan ungkapan diatas.

Kedua; dalam pandangan Presiden Yudhoyono, kesalahan tafsir terhadap al Qur’an dan as Sunnah dalam bab jihad-lah yang menjadi faktor tindakan kekerasan dan terorisme. Kemudian presiden menjelaskan “jihad prespektif presiden” ; seharusnya memaknai jihad sebagaimana mestinya, yaitu jihad melawan hawa nafsu, kemiskinan, keterbelakangan, perilaku korupsi, dan jihad untuk kesejahteraan bangsa dan negara. Apakah benar adanya jihad seperti penjelasan presiden? Bagi seorang muslim memang diwajibkan memahami jihad dengan benar dan aplikasinya juga benar. Tidak memahami sebagian dan membuang sebagian, apalagi dengan motif ingin melakukan “tahrif” (penyimpangan) makna jihad, karena dihadapkan kepada jalan buntu mengurai akar masalah “terorisme” sementara terminologi jihad menjadi tertuduh.

Sekilas memahami jihad yang sahih.

Seperti diterangkan dalam al Qur’an dan as Sunnah kemudian dibukukan dalam ratusan kitab fiqh oleh ulama’ salafus sholeh dan ulama’-ulama’ zaman sekarang (dan mu’tabar; jadi rujukan dan pegangan umat Islam), bisa diringkas;

Secara bahasa kata “al-jihaad” berasal dari kata “jaahada“, yang bermakna “al-juhd” (kesulitan) atau “al-jahd” (tenaga atau kemampuan). Imam Ibnu Mandzur dalam Kitab Lisaan al-’Arab nya, secara bahasa, al-jihaad artinya;mengerahkan kemampuan dan tenaga yang ada, baik berupa perkataan maupun perbuatan.

Dalam kitab Syarh al-Qasthalaani ‘alaa Shahiih al-Bukhaariy dinyatakan sebagai berikut Kata jihaad merupakan pecahan dari kata al-jahd, dengan huruf jim difathah yang berarti: at-ta’b (lelah) dan al-masyaqqah (sulit). Sebab, kelelahan dan kesulitan yang ada di dalamnya bersifat terus-menerus. Kata jihaad bisa merupakan bentuk pecahan dari kata al-juhd dengan “jim” didhammah, yang berarti: at-thaaqah (kemampuan atau tenaga). Sebab, masing-masing mengerahkan tenaganya untuk melindungi shahabatnya.

Di dalam al-Quran dan Sunnah, kata jihaad diberi arti baru oleh syariat dari arti asal (bahasanya) atau menuju makna yang lebih khusus, yaitu, “mengerahkan seluruh kemampuan untuk berperang di jalan Allah, baik secara langsung, dengan bantuan keuangan, pendapat (pemikiran), memperbanyak kuantitas (taktsiir al-sawaad) ataupun yang lain (Ibn ‘Abidiin, Haasyiyah, juz III, hal. 336) Dengan demikian, ketika kata “jihad” disebut, secara otomatis orang akan memaknainya dengan makna syariatnya -berperang di jalan Allah”, bukan dengan makna bahasanya. Jihad dengan makna khusus ini, bisa ditemukan pada ayat-ayat Madaniyah. Sedangkan kata jihad di dalam ayat-ayat Makkiyah, maknanya merujuk pada makna bahasanya (bersungguh-sungguh).

Contoh Ayat-ayat yang memberikan pengertian Jihad adalah al Qital (perang);

لا يَستَوِى القٰعِدونَ مِنَ المُؤمِنينَ غَيرُ أُولِى الضَّرَرِ وَالمُجٰهِدونَ فى سَبيلِ اللَّهِ بِأَموٰلِهِم وَأَنفُسِهِم ۚ فَضَّلَ اللَّهُ المُجٰهِدينَ بِأَموٰلِهِم وَأَنفُسِهِم عَلَى القٰعِدينَ دَرَجَةً ۚ وَكُلًّا وَعَدَ اللَّهُ الحُسنىٰ ۚ وَفَضَّلَ اللَّهُ المُجٰهِدينَ عَلَى القٰعِدينَ أَجرًا عَظيمًا

“Tidaklah sama antara mu’min yang duduk (yang tidak turut berperang) yang tidak mempunyai uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk satu derajat. Kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan pahala yang baik (surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk dengan pahala yang besar.” (QS. al-Nisaa’ : 95)

Jihaad dalam ayat ini mempunyai pengertian: keluar untuk berperang, dan aktivitas ini lebih diutamakan daripada berdiam diri dan tidak berangkat menuju peperangan.

Para ulama empat madzhab juga telah sepakat bahwa jihad harus dimaknai sesuai dengan hakekat syariatnya, yakni berperang di jalan Allah baik secara langsung maupun tidak langsung.

Madzhab as-Syaafi’i, sebagaimana yang dinyatakan dalam kitab al-Iqnaa’, mendefinisikan jihad dengan “berperang di jalan Allah”. Al-Siraazi juga menegaskan dalam kitab al-Muhadzdzab; sesungguhnya jihad itu adalah perang.

Dalam masalah ini, Ibnu Qudamah dalam al Mughni-nya berkata: Ribaath (menjaga perbatasan) merupakan pangkal dan cabang jihad. Beliau juga mengatakan: Jika musuh datang, maka jihad menjadi fardlu ‘ain bagi mereka… jika hal ini memang benar-benar telah ditetapkan, maka mereka tidak boleh meninggalkan (wilayah mereka) kecuali atas seizin pemimpin (mereka). Sebab, urusan peperangan telah diserahkan kepadanya.

Jihad Ofensif dan Jihad Defensif

Dr. Mohammad Khair Haekal di dalam kitab al-Jihad wa al-Qital menyatakan, bahwa sebab dilaksanakannya jihad fi sabilillah bukan hanya karena adanya musuh (jihad defensif), akan tetapi juga dikarenakan tugas Daulah Islamiyyah dalam mengemban dakwah Islam ke negara lain, atau agar negara-negara lain tunduk di bawah kekuasaan Islam (jihad ofensif).

Hanya saja, para ulama berbeda pendapat dalam menentukan batas minimal jihad yang dilakukan oleh negara. Imam al-Mawardiy dalam kitab al-Iqnaa’, hal.175 menyatakan, “Hukum jihad adalah fardlu kifayah, dan imamlah yang berwenang melaksanakan jihad…ia wajib melaksanakan jihad minimal setahun sekali, baik ia pimpin sendiri, atau mengirim ekspedisi perang.”

Syeikh Imam Nawawi al-Bantani al-Jawi dalam kitab Nihayah Az-Zain, “Jihad itu adalah fardhu kifayah untuk setiap tahun, apabila orang-orang kafir berada di negeri mereka. Paling sedikit satu kali dalam satu tahun, tapi apabila lebih tentu lebih utama, selama tidak ada kebutuhan lebih dari satu kali. Jika jihad tidak dilakukan maka wajib atas sebagian (kaum Muslimin) untuk mengajak jihad, dengan salah satu dari dua cara”.

Jadi dari paparan diatas cukup untuk menimbang makna jihad ala Presiden. Hakikatnya jihad itu bukan terorisme, dan jihad bukan mengajarkan umat Islam menjadi teroris. Jihad dalam ajaran Islam tetap berlaku hingga yaumil qiyamah, bagi orang yang beriman kepada Allah SWT dan Rasul-Nya tidak akan berani dan tega menuduh “ajaran jihad” dalam Islam sebagai sumber dari berbagai tindakan teror dan kekerasan.Jika ada sekelompok kecil orang mengaplikasikan makna jihad secara keliru, itu juga tidak bisa dijadikan alasan bahwa “jihad” itu telah berhenti dan tidak lagi di syariatkan. Atau kemudian perlu pemaknaan baru yang akhirnya menyimpang dan keluar dari makna yang syar’i yang dikehendaki Allah SWT dan Rasul-Nya.

Jadi dari prespektif ini, terlihat alih-alih Presiden menyelesaikan akar munculnya berbagai tindak kekerasan dan teror tapi malah mengeluarkan asumsi-asumsi yang bisa mendiskriditkan Islam dan kaum muslimin.Umat harus waspada manufer orang-orang yang membenci Islam & kaum muslim melalui permainan bahasa berusaha membikin kacau cara berfikir dan perilakunya.Wallahu a’lam

Minggu, 03 Oktober 2010

Masihkah Sakti, Pancasila..?




Oleh Lathifah Musa

Tanggal 1 Oktober sering disebut sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Bahkan pada masa Orde Baru seolah disakralkan dengan upacara-upacara untuk memperingati kesaktiannya. Bagaimana dengan Pancasila hari ini? Benarkah ia adalah ideologi yang sakti? Mengapa seakan tenggelam dalam Kapitalisme yang kian membelit Indonesia? Mengapa ada istilah, merestorasi Pancasila? Bagaimana jalan keluar menyelamatkan Indonesia, di tengah cengkeraman Kapitalisme-Liberal?
Filsafat Pancasila dan Kepentingan Rezim Penguasa
Syafi’i Ma’arif, mantan Ketua PP Muhammadiyah, pernah mengatakan bahwa Pancasila merupakan karya Bung Karno. Bung Karnolah yang pertama menyampaikan gagasan tersebut dalam sidang BPUPKI pada 1 Juni 1945. Namun sebenarnya asal usul pemikiran tersebut juga banyak menjadi polemik, karena yang disampaikan Bung Karno tgl 1 Juni sama dengan sila-sila yang pernah disampaikan Mohamad Yamin pada 29 Mei 1945. Hanya saat itu Mohamad Yamin tidak membicarakannya sebagai dasar negara.
Selanjutnya istilah “Pancasila Sakti” dipopulerkan oleh Pak Harto, presiden kedua Republik Indonesia. Sepanjang Orde Baru berkuasa, kepada rakyat Indonesia ditanamkan doktrin bahwa Pancasila yang bersumber dari nilai-nilai yang hidup dan berkembang di kalangan rakyat, merupakan ajaran yang tak boleh dibantah. Pancasila kemudian seperti disakralkan dalam rangka menguatkan rezim Pak Harto.
Mengenai asal usul nilai-nilai Pancasila, banyak yang mengatakan itu bukan berasal dari budaya asli bangsa Indonesia. Budaya asli bangsa, tentu rujukannya ke anismisme (penyembahan roh) dan dinamisme. Dalam telaah-telaah tentang nilai-nilai Pancasila ini ada yang mengatakan kemiripannya dengan asas zionisme dan freemasonry seperti Monotheisme (Ketuhanan Yang Maha Esa), Nasionalisme (Kebangsaan), Humanisme (Kemanusiaan yang adil dan beradab), Demokrasi (Musyawarah), dan Sosialisme (Keadilan Sosial).
Menurut Abdullah Patani, dalam risalah kecil berjudul Freemasonry di Asia Tenggara, yang ditulisnya di Madinah al-Munawarah pada tahun 1400 H dan diterbitkan dalam bahasa Melayu di Malaysia oleh Ali bin Haji Sulong, kesamaan sila-sila pada Pancasila dengan kelima sila pada asas Zionisme dan asas Freemasonry, tidak terjadi secara kebetulan, namun merupakan proses panjang dan sistematis, dimana para tokoh-tokoh penggagas Pancasila (Soekarno, Soepomo, dan M. Yamin) sudah sejak lama menyerap nilai-nilai zionisme dan freemasonry itu. Demikian juga dengan Ki Hajar Dewantara, yang disebut sebagai Bapak Pendidikan Nasional. Bung Karno adalah murid dari Ki Hajar dan A Baars (seorang Belanda) yang juga memiliki nilai-nilai ini. Apalagi Bung Karno semasa hidup menunjukkan sikap penghargaan yang tinggi terhadap pemikiran Mustafa Kemal Attaturk, salah seorang anggota Freemasonry dari Turki. Bahkan Soekarno cenderung meneladani Kemal di dalam menghadapi Islam, antara lain tipudaya terhadap rakyat dan ulama Islam.
Selanjutnya Pancasila yang menjadi fllsafat Bung Karno juga menerapkan doktrin NASAKOM (Nasionalisme, Agama, dan Komunisme). Ketika itu Soekarno berdalih, kita akan berhadapan dengan Neokolonialisme, penjajahan baru. Untuk menghadapinya, kalangan Islam harus menjalin kerja sama dengan komunis, sehingga tercipta kekuatan yang besar. Untuk itulah konsep Nasakom diperlukan. Namun nyatanya, bahaya Neokolonialisme hanya berhasil membuat PKI menjadi besar.

Ideologi dan Pancasila
Yang dimaksud ideologi adalah pemikiran yang mendasar. Dalam bahasa istilah disebut Mabda’, yakni pemikiran mendasar yang memancarkan sistem aturan yang akan mengeksiskannya. Pada faktanya, mulai abad ke-15 M hingga sekarang hanya ada tiga sistem yang bisa disebut mabda’, yaitu Islam, Sosialisme dan Kapitalisme. Namun saat ini yang eksis sebagai negara-negara di dunia hanyalah Kapitalisme. Karena sosialisme telah runtuh sesudah runtuhnya Uni Soviet tahun 1990 M. Sementara, sebagai sebuah mabda’, Islam telah berakhir bersamaan dengan runtuhnya Kekhilafahan Turki Utsmani tahun 1924 M. Dengan demikian, sebuah ideologi dikatakan eksis ketika ada negara yang mengembannya. Namun keruntuhan negara bukan berarti hilangnya ideologi. Ideologi tetap lestari pada diri para pengembannya.
Pengakuan bahwa Islam adalah ideology yang memiliki potensi besar untuk kembali bangkit telah diakui oleh negara adidaya AS. Itulah sebabnya mengapa dalam analisis strategis pemerintah AS, mereka memasukkan ancaman selanjutnya adalah Islam. Hal ini karena AS telah menyadari bahwa Islam adalah ideologi dan akan tampil kembali menjadi ideologi besar yang menguasai dunia. Dalam konteks ideologi inilah, tidak ada yang membicarakan Pancasila. Karena Pancasila hanyalah nilai-nilai yang diambil dari ideologi sana-sini. Pancasila tidak memiliki identitas khas ideologi manapun. Wajar bila Komunis pun terakomodasi dalam penerjemahan Pancasila versi Bung Karno.
Selanjutnya Pancasila menjadi filsafat yang disakralkan, ini terjadi di masa Orde Baru. Pancasila dijadikan asas tunggal bagi semua partai politik dan organisasi masyarakat tanpa kecuali. Ideologi itu dikampanyekan secara nasional dan lewat pendidikan sekolah. Penataran dilakukan secara berjenjang dengan menggunakan anggaran negara. Namun, Pancasila yang diajarkan sudah direduksi menjadi 36 butir-butir sifat yang harus dihafal. Pancasila juga digunakan sebagai alat pemukul bagi kelompok yang kritis. Misalnya, di jaman Pak Harto, orang yang menolak tanahnya digusur dicap “anti-Pancasila”. Orang yang mau membuat Partai selain tiga partai yang dilegalkan juga disebut “anti Pancasila”. Bahkan berjilbab pun awalnya dipandang “anti Pancasila”. Setelah Soeharto lengser, orang banyak yang skeptis dengan Pancasila.
Pada 2006, Presiden SBY berpidato tentang pentingnya Pancasila dalam menata kembali kerangka kehidupan berbangsa dan bernegara. Sehari sebelumnya, sejumlah pakar mendiskusikan Pancasila yang kemudian diterbitkan dengan judul Restorasi Pancasila. Pancasila dibahas dalam rangka menghadapi perubahan zaman, globalisasi dan desentralisasi pemerintahan.
Menurut Syafi’I Ma’arif dan Kiki Syahnakri dalam wawancara terpisah dengan Harian Kompas tgl 24 Agustus 2010, kini Pancasila dikatakan hampir tidak tersisa dalam era Kaptalisme dan Liberalisme. Di sisi lain, Presiden SBY membanggakan situasi yang demokratis ini dalam pidato kenegaraannya pada tanggal 16 Oktober 2010. Indonesia sudah menjadi negara demokrasi terbesar ketika setelah India dan AS. Sejalan dengan hal tersebut, Pancasila sendiri tenggelam dalam dominasi Kapitalisme dan Liberalisme dalam sebuah sistem yang bernama demokrasi. Maka bagaimana ia bisa berhadapan dengan ideology Kapitalisme itu sendiri?
Mengambil Sikap menghadapi Kapitalisme-Liberalisme
Selayaknya umat Islam tidak boleh berpikir bahwa ada yang bisa menyelamatkan umat ini, selain ideologi Islam. Islam adalah agama yang tidak hanya membangun sebuah pondasi pemikiran yang kokoh sebagai sebuah prinsip ideologi pengembannya, namun juga memiliki sistem hidup yang khas, lengkap, tinggi dan mulia.
Allah SWT adalah Dzat yang paling mengetahui manusia yang diciptakan-Nya, yang paling mengetahui hukum terbaik bagi umat manusia, yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, Maha Adil, Maha Perkasa, Maha Bijaksana, Maha Lembut kepada hambaNya. Dengan keyakinan ini, insya Allah pelaksanaan Hukum Islam itu mudah, dan yang penting akan menyelesaikan persoalan manusia dan menyelamatkan manusia di dunia dan di akhirat.
Mengenai Pancasila, maka filsafat ini tidak perlu lagi dibahas atau diperdebatkan, karena memang tidak bermanfaat untuk dipikirkan. Pancasila yang selama ini menjadi slogan untuk menampilkan identitas Bangsa Indonesia, namun identitas tersebut selamanya akan mengalami perubahan sejak jaman kemerdekaan, masa revolusi jaman Nasakom, masa Orde Baru atau Reformasi, atau era Kapitalisme Global seperti ini. Bagi umat Islam, yang harus melekat hanyalah memiliki identitas Islam. Yakni hanya berpegang pada al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw yang layak dijadikan pegangan sampai mati.
Allah SWT sudah memberi peringatan kepada orang-orang yang beriman: “Yaa ayyuhalladziina aamanuu ittaqullaaha haqqa tuqaatihi, walaa tamuutunna illaa wa antum muslimuun.” {Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dengan sebenar-benar taqwa, dan janganlah kalian mati melainkan kalian dalam keadaan muslim] (Ali Imran: 102).
Sumber Bacaan:
1. Kesaktian Pancasila. www.wikipedia.org
2. Pidato Kenegaraan Presiden RI 16 Agustus 2010-09-30
3. Harian Kompas, 24 Agustus 2010
4. Freemasonry di Asia Tenggara. Abdullah Pattani. Dalam asal usul Pancasila.
5. Peraturan hidup dalam Islam (Terj. An-Nizhaam al-Islaamiy). Syekh Taqiyuddin an Nabhany. Pustaka Thariqul Izzah. 2003