Istilah demokrasi saat ini tidak dapat dilepaskan dari wacana politik apapun, baik dalam konteks mendukung, setengah mendukung, atau menentang. Mulai dari skala warung kopi pinggir jalan sampai hotel berbintang lima, demokrasi menjadi obyek yang paling sering dibicarakan, paling tidak di negeri ini.
Dengan logika antitesis, lawan kata demokrasi adalah totalitarianisme. Jika tidak demokratis, pasti totaliter. Totalitarianisme memiliki kesan buruk, kejam, dan bengis. Akibatnya, negara-negara komunis sekalipun tidak ketinggalan ikut memakai istilah demokrasi, walaupun diembel-embeli sebagai “Demokrasi Sosialis” atau “Demokrasi Kerakyatan”. Dalam kaitannya dengan masalah ini, UNESCO pada tahun 1949 menyatakan, “…Mungkin untuk pertama kali dalam sejarah, demokrasi dinyatakan sebagai nama yang paling baik dan wajar untuk semua sistem organisasi politik dan sosial yang diperjuangkan oleh pendukung-pendukung yang berpengaruh…”
Gejala serupa juga melanda Dunia Islam. Para intelektual Muslim berupaya mencari titik temu antara demokrasi dan ajaran Islam. Partai-partai politik Islam, misalnya di negeri ini, berlomba-lomba mengklaim diri sebagai “paling demokratis” agar tidak terkena serangan panah beracun dari pihak Islamophobia yang mencap Islam sebagai agama totaliter dan dogmatis. Putra-putri Islam, dengan susah-payah, berupaya “melindungi” nama baik agamanya dengan ungkapan-ungkapan bernada defensif apologetik, walaupun hal itu menyebabkan ajaran Islam menjadi kabur atau malah lenyap.
Sekularisme: Akar Demokrasi
Sejak memudarnya kejayaan Imperium Romawi (abad ke-3 M), gereja Kristen mulai masuk ke arena kekuasaan politik. Kaisar Konstantin, penguasa Romawi yang pertama kali memeluk agama Kristen, menggabungkan kekuasaan negara dengan urusan gereja sehingga pihak gereja memiliki peranan besar dalam pengambilan keputusan politik.
Kerajaan-kerajaan lokal mulai muncul di Eropa sejak tahun 476 M. Seperti halnya Romawi, gereja turut menjadi penentu dalam sepak-terjang penguasa kerajaan. Para bangsawan dan politikus, yang umumnya dari keluarga kaya, menjadi boneka yang dikendalikan penuh oleh gereja. Akan tetapi karena ajaran Kristen tidak mengatur urusan kenegaraan, gereja membuat berbagai fatwa menurut kemauan mereka sendiri yang kemudian diklaim sebagai wewenang yang diterimanya dari Tuhan. Tidak aneh jika sosok kerajaan-kerajaan Eropa saat itu lebih mirip dengan Imperium Romawi Kuno yang paganistis dan belum mengenal agama.
Gereja memiliki supremasi yang sangat tinggi hampir dalam setiap urusan. Para pemuka gereja diyakini sebagai satu-satunya pihak yang berhak berkomunikasi langsung dengan Tuhan. Hasil “komunikasi” itu kemudian diajukan kepada penguasa kerajaan untuk ditetapkan sebagai keputusan politik. Eropa memiliki sejarah yang cukup berdarah mengenai hal ini: ribuan wanita dibunuh ketika gereja mencap perempuan sebagai tukang sihir; kaum ilmuwan yang tidak setuju dengan pendapat gereja harus rela dipenjara atau bahkan dibunuh, seperti yang menimpa Galileo Galilei dan Nicolaus Copernicus; tanah milik rakyat dirampas untuk dibagi-bagikan kepada penguasa dan pemuka gereja; orang yang hendak mati pun tak luput dari pemerasan oleh gereja. Pendapatan terbesar gereja berasal dari penjualan Kunci Surga (Keys to Heaven), yaitu menjual surat pertobatan kepada orang-orang yang hendak meninggal. Dengan membayar sejumlah uang, gereja meyakinkan orang tersebut bahwa dosa-dosanya telah diampuni dan boleh memasuki surga.
Kelaliman gereja (yang difasilitasi oleh penguasa), kekalahan telak Pasukan Salib atas Pasukan Khilafah Islamiyah, dan kegeraman para pemikir Eropa terhadap gereja, menumbuhkan benih-benih pemberontakan pada abad ke-14. Hal ini juga disebabkan oleh gencarnya penerjemahan buku-buku berbahasa Arab ke dalam bahasa Latin Eropa sejak abad ke-10 yang berpusat di Andalusia (Spanyol). Kegemilangan peradaban Islam telah memberi inspirasi kepada para pemikir Eropa untuk mendobrak kejumudan yang meliputi seluruh daratan Eropa saat itu, yang dikenal sebagai Dark Ages (Masa Kegelapan).
Tahun 1618, meletus perang sipil di seluruh daratan Eropa antara pendukung dan penentang supremasi gereja. Perang itu berlangsung selama 30 tahun dan menghabiskan sepertiga penduduk Eropa serta meruntuhkan sebagian besar kerajaan yang bercokol di Eropa. Perang terlama terjadi antara Prancis dan Spanyol sampai tahun 1659. Akibatnya, para pemikir terpecah menjadi 2 kelompok: (1) Yang mempelajari filsafat Yunani, disebut Naturalis, dan meyakini bahwa akal manusia mampu menyelesaikan semua persoalan; (2) Yang berpihak pada gereja, disebut Realis, dan meyakini ajaran gereja sebagai kebenaran. Di Itali, dua kelompok ini dikenal dengan Gulf dan Ghibelline, dan mereka saling berperang memperebutkan kekuasaan. Pertentangan panjang itu akhirnya dimenangkan oleh kelompok naturalis yang mendasarkan pemikirannya pada penyingkiran peran agama (Kristen) dari kehidupan negara (sekularisme).
Sekularisme benar-benar menggembirakan hati para filosof dan politikus. Tidak ada lagi gereja yang memenjarakan kebebasan berpikir mereka. Politik dan segala urusan duniawi telah menjadi sangat bebas nilai. Tidak ada satu pun yang membatasi; tidak nilai agama dan tidak pula nilai moral. Salah satu lambang betapa liarnya dunia politik sekular adalah buku karya Niccolo Machiavelli yang berjudul The Discourses on the First Ten Books of Livy dan The Prince. Salah satu pilar pemikiran politiknya adalah, “…Politik adalah sesuatu yang sekular. Politik adalah pertarungan antar manusia untuk mencari kekuasaan.”
Sekularisme merupakan akar demokrasi. Dalam sistem politik yang sekularistik, agama hanya menjadi “inspirasi moral dan alat penyembuhan”, kehendak akal manusia menjadi penentu semua keputusan. Inilah ciri yang utama dari demokrasi, yaitu menyerahkan keputusan politik kepada kehendak masyarakat (the will of the people), sesuai dengan pertimbangan akal manusia.
Demokrasi vis a vis Islam
Ditinjau dari akar kelahirannya, Islam jelas berbeda dengan demokrasi. Sistem Islam tidak lahir dari akal-akalan manusia, tetapi merupakan wahyu Allah Swt. Memang, ada sementara pihak yang mencoba menyebut Islam sebagai Mohammedanism untuk menimbulkan kesan sebagai agama buatan Muhammad, seperti yang dinyatakan oleh H.A.R. Gibb.
Selain dari segi akar kelahirannya, pilar-pilar demokrasi bertentangan secara diametral dengan Islam. Beberapa elemen pokok demokrasi adalah: (1) Kedaulatan ada di tangan rakyat; (2) Rakyat sebagai sumber kekuasaan; (3) Penjaminan terhadap empat kebebasan pokok, yaitu kebebasan beragama (freedom of religion), kebebasan berpendapat (freedom of speech), kebebasan pemilikan (freedom of ownership), dan kebebasan bertingkah laku (personal freedom).
1. Kedaulatan
Kedaulatan (as-siyâdah) didefinisikan sebagai upaya menangani dan menjalankan suatu kehendak atau aspirasi tertentu. Dalam sistem demokrasi, kedaulatan berada di tangan rakyat. Artinya, rakyat merupakan sumber aspirasi (hukum) dan berhak menangani serta menjalankan aspirasi tersebut. Semua produk hukum diambil atas persetujuan mayoritas rakyat, baik secara langsung (demokrasi langsung) maupun melalui wakil-wakilnya di parlemen (demokrasi perwakilan). Inilah cacat terbesar dari sistem demokrasi. Manusia dengan segala kelemahannya dipaksa untuk menetapkan hukum atas dirinya sendiri. Pikiran manusia akan sangat dipengaruhi lingkungan dan pengalaman pribadinya. Pikiran manusia juga dibatasi oleh ruang dan waktu. Atas
pengaruh-pengaruh itulah, manusia bisa memandang neraka sebagai surga, dan surga sebagai neraka.
Dalam sistem demokrasi, jika mayoritas rakyat menghendaki dihalalkannya perzinaan, maka negara harus mengikuti pendapat tersebut. Budaya sebagian suku di Sumatera Utara yang terbiasa meminum tuak, dapat memaksa penguasa setempat untuk mengizinkan peredaran minuman keras. Mayoritas rakyat Iran pada Revolusi Islam 1979 menginginkan diterapkannya sistem pemerintahan Wilayatul Faqih, tetapi sekarang muncul gugatan terhadap sistem tersebut, maka penguasa harus memperhatikan kehendak tersebut. Walaupun dalam konsep Syi’ah, sistem Wilayatul Faqih adalah sesuatu yang tidak dapat ditawar-tawar.
Dalam sistem demokrasi, masyarakat kehilangan standar nilai baik-buruk. Siapa pun berhak mengklaim baik-buruknya sesuatu. Masyarakat bersikap “apa pun boleh”. Di San Fransisco, para eksekutif makan siang di restoran yang dilayani oleh pelayan wanita yang bertelanjang dada. Sebaliknya, di New York (masih di AS), seorang wanita telah ditangkap karena memainkan musik dalam suatu konser tanpa pakaian penutup dada. Newsweek menyatakan, “…Kita adalah suatu masyarakat yang telah kehilangan kesepakatan….suatu masyarakat yang tidak dapat bersepakat dalam menentukan standar tingkah laku, bahasa, dan sopan santun, tentang apa yang patut dilihat dan didengar.”
Dalam Islam, penetapan hukum adalah wewenang Allah. Penetapan hukum tidak bermakna teknis, tetapi bermakna penentuan status baik-buruk dan halal-haram. Allah Swt. berfirman:
Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. (QS al-An’am [6]: 57).
Jika kalian (rakyat dan negara) berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya). (QS an-Nisa’ [4]: 59).
Tentang apa pun kalian berselisih, maka putusannya (terserah) kepada Allah. (QS asy-Syura [42]: 10).
Dengan demikian, jelaslah bahwa Islam menempatkan kedaulatan di tangan Allah sebagai Musyarri’ (Pembuat Hukum). Segala produk hukum dalam sistem Islam harus merujuk pada al-Quran dan as-Sunnah yang ditunjuk oleh keduanya, yakni Ijma Sahabat, dan Qiyas (ijtihad).
2. Kekuasaan
Dalam sistem demokrasi, kekuasaan berada di tangan rakyat. Rakyat lalu “mengontrak” seorang penguasa untuk mengatur urusan dan kehendak mereka. Jika penguasa dipandang sudah tidak akomodatif terhadap kehendak rakyat, penguasa dapat dipecat karena ia hanya sekadar “buruh” yang digaji oleh rakyat untuk mengatur negara. Konsep inilah yang diperkenalkan oleh John Locke (1632-1704) dan Montesquieu (1689-1755), dikenal dengan sebutan kontrak sosial.
Dalam sistem Islam, kekuasaan memang berada di tangan rakyat. Atas dasar itu, rakyat dapat memilih seorang penguasa (khalifah) untuk memimpin negara. Pengangkatan seorang khalifah harus didahului dengan suatu pemilihan dan dilandasi perasaan sukarela tanpa paksaan (ridhâ wa al-ikhtiyâr). Akan tetapi, berbeda dengan sistem demokrasi, khalifah dipilih oleh rakyat bukan untuk melaksanakan kehendak rakyat, tetapi untuk melaksanakan dan menjaga hukum Islam. Seorang khalifah tidak dapat dipecat hanya karena rakyat sudah tidak suka lagi kepadanya. Ia hanya boleh dipecat jika tidak lagi melaksanakan hukum Islam walaupun baru sehari menjabat.
Untuk memutuskan apakah seorang khalifah lalai dalam pelaksanaan hukum Islam, negara mempunyai instrumen hukum berupa Mahkamah Mazhalim yang berhak mengadili dan memecat penguasa. Kaum Muslimin juga didorong untuk selalu mengoreksi penguasa. Rasulullah saw. bersabda:
Pemimpin para syuhada adalah Hamzah ibn ‘Abdul Muthalib dan seseorang yang berdiri di hadapan penguasa yang lalim, lalu ia menyuruhnya berbuat baik dan mencegahnya berbuat munkar, kemudian penguasa itu membunuhnya.
3. Kebebasan
Dalam sistem demokrasi, kebebasan adalah faktor utama untuk memberi kesempatan kepada masyarakat untuk mengekspresikan kehendaknya—apa pun bentuknya—secara terbuka dan tanpa batasan atau tekanan.
Masyarakat demokratis bebas memeluk agama apapun, berpindah-pindah agama, bahkan tidak beragama sekalipun. Juga bebas mengeluarkan pendapat, walaupun pendapat itu bertentangan dengan batasan-batasan agama. Bebas pula memiliki segala sesuatu yang ada di muka bumi, termasuk sungai, pulau, laut, bahkan bulan dan planet jika sanggup. Harta dapat diperoleh dari segala sumber, baik dengan berdagang ataupun dengan berjudi dan korupsi. Dalam sistem demokrasi, masyarakat juga bebas bertingkah laku tanpa peduli dengan mengabaikan tata susila dan kesopanan.
Sebaliknya, Islam tidak mengenal kebebasan mutlak. Islam telah merinci dengan jelas apa saja yang menjadi hak dan kewajiban manusia. Islam bukan hanya berorientasi kepada kewajiban, tetapi juga hak sebagai warganegara dan individu.
Islam, misalnya, melarang seorang Muslim untuk mempermainkan agama dengan cara berpindah-pindah agama. Rasulullah saw bersabda:
Barangsiapa mengganti agamanya (Islam), bunuhlah. (HR Muslim dan Ashab as-Sunan).
Islam juga melarang seseorang untuk memiliki benda-benda yang tidak berhak dimilikinya, baik secara pribadi maupun kelompok. Islam telah merinci beberapa cara pemilikan yang terlarang, misalnya pencurian, perampasan, suap (riswah), korupsi, judi. Sebaliknya, Islam menghalalkan beberapa sebab pemilikan, yaitu bekerja, waris, mengambil harta orang lain dalam keadaan terdesak yang mengancam jiwanya, serta harta yang diperoleh tanpa pengorbanan semisal hadiah, hibah, sedekah, atau zakat.
Dalam masalah tingkah laku, Islam memberikan batasan susila yang jelas, terutama masalah interaksi pria-wanita (ijtima’iy). Sebaliknya, di dalam sistem demokrasi, interaksi pria-wanita yang sangat bebas telah memunculkan berbagai masalah pelik, seperti menyebarnya berbagai penyakit menular seksual (PMS)
Syura = Demokrasi ??
Adanya prinsip syura dalam sistem Islam dan musyawarah dalam sistem demokrasi tidak dapat dijadikan alasan untuk menyamakan Islam dengan demokrasi. Becak memiliki roda, demikian pula dengan mobil. Akan tetapi, bukankah becak jauh berbeda dengan mobil?
Tidak semua masalah dapat dimusyawarahkan dalam Islam. Hal inilah yang membedakannya dengan sistem demokrasi yang mengharuskan setiap keputusan diambil dengan suara terbanyak, tidak peduli jika hasil keputusan itu melanggar batasan-batasan agama yang sudah mereka singkirkan jauh-jauh dari panggung kehidupan dunia. Islam membatasi musyawarah hanya untuk
masalah-masalah yang mubah. Sebaliknya, masalah-masalah yang telah jelas halal-haramnya, tidak dapat dimusyawarahkan untuk dicabut atau sekadar mencari jalan tengah.
Rasulullah saw. pernah menolak keberatan sebagian besar Shahabat ketika beliau menyetujui tawaran pihak Quraisy dalam Perjanjian Hudaibiyah. Umar ibn Khatthab menunjukkan penentangan yang paling keras. Akan tetapi, Rasulullah saw, mengatakan (yang maknanya), “Ibn al-Khatthab, aku adalah Rasulullah, dan aku tidak akan mendurhakai-Nya. Dia adalah Penolongku dan sekali-kali tidak akan menelantarkan aku.”
Setelah itu, turunlah surat al-Fath yang menjanjikan kemenangan bagi kaum Muslim.
Untuk masalah-masalah teknis dan menyangkut keterampilan tertentu, Rasulullah saw. menyerahkan keputusannya kepada para pakar dalam bidang tersebut. Ketika meletus Perang Badar Kubra, Rasulullah saw. Menempatkan pasukannya jauh di belakang sebuah sumur (sumber air). Melihat hal ini, Hubbab ibn al-Mundzir bertanya, “Ya Rasulullah, apakah ini wahyu atau sekedar pendapat Anda?” Lantas dijawab oleh beliau, “Ini hanyalah pendapatku.” Hubbab al-Mundzir kemudian mengusulkan kepada beliau untuk menempatkan pasukannya di depan sumur, sehingga mereka dapat menguasai sumur tersebut dan menimbunnya jika pasukan Quraisy menyerang sehingga musuh tidak dapat mengambil air dari sumur itu. Rasulullah saw. lantas mengubah pendapatnya dengan pendapat Hubbab tersebut.
Untuk masalah-masalah yang sifatnya mubah (boleh), Rasulullah saw. Meminta pendapat— bermusyawarah dengan—kaum Muslim. Ketika Perang Uhud, misalnya, beliau dan sebagian sahabat yang terlibat dalam Perang Badar memilih menyambut musuh dari dalam benteng kota Madinah. Akan tetapi, mayoritas penduduk Madinah dan sebagian sahabat yang tidak ikut Perang Badar memilih untuk menyongsong musuh di luar benteng. Melihat semangat yang begitu membara, akhirnya Rasulullah saw. memutuskan untuk menyambut musuh di luar benteng. Dalam hal ini, beliau hanya meminta pendapat mengenai lokasi penyambutan musuh. Sementara itu, mengenai keharusan untuk berjihad, tidak beliau musyawarahkan, karena jihad merupakan kewajiban yang tidak berhenti hingga Hari Kiamat.
Memang pada kenyataannya, menyerahkan setiap keputusan politik kepada seluruh warganegara adalah sesuatu yang mustahil dan justru dapat mengkhianati kebenaran. Sistem polis di Yunani Kuno yang digembar-gemborkan telah menerapkan demokrasi langsung (direct democracy), ternyata melakukan diskriminasi rasial dengan memberikan hak bersuara hanya kepada golongan penduduk kaya dan menengah. Golongan pedagang asing dan budak (yang merupakan mayoritas penduduk) tidak memiliki hak suara sama sekali.
Dalam lapangan peradilan, sistem juri seperti yang dipakai di AS dan Inggris telah mengundang kritik yang sangat keras. Para juri dipilih mewakili setiap komunitas di suatu kota/distrik tanpa melihat kemampuan masing-masing, sedangkan hakim hanya bertugas mengatur persidangan agar sesuai dengan hukum acara. Vonis terhadap terdakwa dijatuhkan berdasarkan kesepakatan atau suara mayoritas anggota juri. Dengan sistem seperti ini, diharapkan akan lahir keputusan pengadilan yang “demokratis”.
Demokrasi Sebagai Alat Penjajahan
Benarkah Amerika Serikat—sebagai kampiun demokrasi di dunia—telah memberi contoh terbaik tentang demokrasi? Ralph Nader, pada tahun 1972 menerbitkan buku, Who Really Runs Congress?, yang menceritakan betapa kuatnya para pemilik modal mempengaruhi dan membiayai lobi-lobi Kongres. Diperkuat oleh The Powergame (1986) karya Hedrick Smith yang menegaskan bahwa unsur terpenting dalam kehidupan politik Amerika adalah: (1) uang, (2) duit, dan (3) fulus. Dengan begitu, benarlah apa yang diteriakkan oleh Huey Newton, pemimpin Black Panther, pada tahun 1960-an, “Power to the people, for those who can afford it.” (Kekuasaan diperuntukkan bagi siapa saja yang mampu membayar untuk itu).
Sejak terbentuknya negara federasi pada tahun 1776, Amerika memerlukan waktu 11 tahun untuk menyusun konstitusi, 89 tahun untuk menghapus perbudakan, 144 tahun untuk memberi hak pilih pada kaum wanita, dan 188 tahun untuk menyusun draf konstitusi yang “melindungi” seluruh warganegara. Dengan masa lalu yang demikian kelam dan masa kini yang demikian jorok, Amerika dengan arogan mencoba memberi kuliah tentang demokrasi kepada negara-negara berkembang yang mayoritas negeri-negeri Islam.
Kampanye demokrasi dan hak asasi manusia yang dilakukan Amerika ke seluruh dunia mempunyai dua tujuan: (1) untuk melindungi keamanan Amerika; (2) meningkatkan kesejahteraan Amerika. Promosi hak asasi manusia serta demokrasi tersebut telah ditetapkan sebagai salah satu tujuan fundamental dari kebijakan luar negeri Amerika.
Negara adidaya tersebut mempunyai kepentingan untuk membuka pasar global seluas-luasnya sehingga perusahaan Amerika dapat masuk dan menguasai pasar di negara setempat. Untuk mencapai hal itu, dibutuhkan suatu rezim yang lemah, yang dapat ditekan oleh para pemilik modal atau badan-badan keuangan internasional. Rezim yang lemah ini diharapkan dapat bekerjasama secara lebih kooperatif dengan para investor Amerika dalam sektor perdagangan, dan tentunya mudah tunduk pada tekanan politik Amerika dalam sektor diplomatik.
Untuk menciptakan para penguasa yang lemah di tiap-tiap negara, dikembangkan konsep civil society (masyarakat sipil) yang mengebiri peran negara menjadi seminimal mungkin. Lembaga swadaya masyarakat (LSM) didorong untuk menjadi “pemerintah-pemerintah kecil” sehingga masyarakat dapat mengurus dirinya sendiri. Melalui skema Regional Democracy Funds, tahun 1999 Amerika telah mengajukan proyeksi dana bagi LSM-LSM sebesar US$ 39,75 juta dengan perincian US$ 15 juta untuk Afrika, US$ 5 juta untuk Asia Timur dan Pasifik, US$ 2,75 juta untuk Asia Selatan, dan US$ 13 juta untuk Amerika Latin serta Karibia. Khusus untuk ASEAN, tahun 1998 saja telah dikucurkan dana US$ 500.000 untuk membangun jaringan LSM-LSM di wilayah tersebut.
Di Indonesia, pemerintah Amerika memberi bantuan kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), suatu badan semi-independen, untuk “mengekspos segala tindak kekerasan sipil dan militer”. Atas bantuan Amerika pula, Komnas HAM membuka kantor cabang di Timor Timur dan mengadakan program pelatihan mengenai hak asasi manusia. Bantuan serupa diberikan pula kepada Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).
Untuk membentuk opini dunia, Amerika, melalui Departemen Luar Negeri, setiap tahun secara rutin mengelurkan laporan tahunan mengenai pelaksanaan HAM di setiap negara—tentunya dengan menggunakan standar Amerika yang diklaim sebagai “standar universal”. Beberapa negara yang dianggap belum mengembangkan demokrasi sesuai dengan keinginan Amerika, dimasukkan ke dalam golongan negara-negara kunci (key countries). Untuk tahun 1998, negara-negara yang digolongkan key countries adalah Cina, Tibet dan Xinjiang, Kuba, Serbia, Sierra Leone, Nigeria, dan Indonesia. Khusus untuk Indonesia, Mantan Menteri Luar Negeri AS, Madeleine Albright, menyebutnya sebagai “sebuah transisi yang mendapat prioritas.”
Tidak hanya pihak pemerintah, lembaga-lembaga swasta pun turut andil dalam penyebaran opini global tentang nilai-nilai demokrasi universal. Freedom House telah mengeluarkan laporan tentang indeks kebebasan negara-negara di dunia, yang terdiri dari beberapa parameter: kebebasan berbicara, kebebasan berserikat, kebebasan pers, persamaan di depan hukum, dan partisipasi aktif dalam politik berupa kebebasan memilih dan kompetisi antar partai politik. Atas dasar parameter-parameter tersebut, Freedom House membuat rating indeks kebebasan antara 1 sampai 7 — makin besar rating berarti makin tidak bebas. Untuk tahun 1997/1998, hanya 8,7 persen dari 48 negeri-negeri Islam digolongkan demokratis, 30 persen tergolong semi-demokratis, dan sebagian besar (60,9 persen) digolongkan sebagai negara otoriter. “Fakta” ini dihadapkan pada kondisi negara-negara non-Muslim yang 23,3 persen otoriter, 30,1 persen semi-demokratis, dan 46,6 persen demokratis.
Sudah terlalu jelas fakta yang dapat disodorkan bahwa Amerika menggunakan demokrasi sebagai alat untuk menekan negara-negara berkembang (terutama negeri-negeri Islam) agar tunduk pada keinginannya. Tidak pernah ada itikad baik Amerika untuk mendorong kesejahteraan negara-negara yang dijadikan sasaran promosi demokrasi dan hak asasi manusia. Walaupun negara tersebut “tidak demokratis”—menurut pandangan Amerika—asalkan mau tunduk pada kemauan Amerika, maka negara tersebut tidak akan diusik sedikit pun. Inilah yang dilakukan Amerika pada negara-negara Timur Tengah yang penguasanya telah berkhidmat 150 persen kepada Amerika.
Amerika (dan negara-negara Barat) mempunyai kepentingan politik dan ekonomi untuk menjaga kelangsungan hidup rezim-rezim penguasa Timur Tengah. Jika demokratisasi diartikan sebagai tampilnya kekuatan oposisi (yang didominasi oleh gerakan Islam “fundamentalis”) sebagaimana terjadi di Kuwait, Aljazair, Yordania, dan Yaman, maka Barat akan menghambat proses demokratisasi itu. Kontinuitas suplai minyak dan keberadaan pangkalan militer Barat adalah sesuatu yang jauh lebih berharga ketimbang demokratisasi.
Demokrasi tidak pernah dan tidak akan terwujud dalam aspek kehidupan praktis. Demokrasi hanyalah alat penekan dan dominasi Amerika (termasuk Barat) atat negeri-negeri Islam untuk tunduk pada kepentingan mereka. Jika Prof. Dr. Ahmad Syafii Ma’arif menyebut penjajahan sebagai sampah peradaban, maka demokrasi adalah sebaliknya: peradaban sampah! Wallâhu a’lam.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar