I made this widget at MyFlashFetish.com.

Khilafah

Gempita Konferensi Rajab 1432 H

Rabu, 21 Juli 2010

Koreksi Atas Artikel Sabili: “Menguak Hizbut Tahrir”

Baru-baru ini Majalah Sabili (No. 21 TH XVII 13 Mei 2010/28 Jumadil Awal 1431 H, hlm. 50-57) menurunkan sebuah tulisan dengan judul, “Menguak Hizbut Tahrir”.



Sayang, tulisan itu penuh dengan ketidakakuratan dan kekeliruan yang bisa menjurus pada kebohongan dan fitnah. Tidak hanya itu, tulisan ini juga mengesampingkan prinsip-prinsip syar’i dan ilmiah. Pasalnya, tulisan tersebut banyak merujuk pada buku Al-Mawsu’ah al-Maysirah fi al-Adyan wa al-Madzahib al-Mu’ashirah yang dikeluarkan oleh An-Nadwah al-’Alamiyah li asy-Syabab al-Islami (WAMY), dan tidak merujuk pada sumber-sumber primer Hizbut Tahrir. Padahal buku keluaran WAMY itu juga tidak merujuk pada sumber-sumber primer Hizbut Tahrir, tetapi merujuk pada buku lain karya Shadiq Amin yang berjudul Ad-Da’wah al-Islamiyyah Faridhah Syar’iyyah wa Dharurah Basyariyyah. Buku karya Shadiq Amin ini pun dipenuhi dengan fitnah dan kedustaan.

Sepertinya tidak ada upaya sungguh-sungguh dari Sabili untuk mengkonfirmasi langsung perkara yang dituduhkan pada Hizbut Tahrir. Padahal Hizbut Tahrir sangat terbuka untuk itu, apalagi pada Sabili yang selama ini telah terjalin hubungan komunikasi yang sangat baik. Perkara yang ditanyakan kepada Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia hanya tiga perkara, itu pun tidak akurat dalam pengutipan. Misal, saya tidak pernah menyatakan bahwa buku WAMY yang menjadi rujukan tulisan tersebut bagus untuk dibaca. Bagaimana mungkin buku yang tidak akurat dikatakan baik untuk dibaca?

Tulisan tersebut juga kurang akurat dalam hal referensi kitab (buku). Tertulis, misalnya, “Dia (Abdul Qadim Zallum) menulis buku Hakadza Hudimat al-Khilafah.” Perlu diketahui, Syaikh Abdul Qadim Zallum rahimahullah tidak pernah mengarang kitab dengan judul demikian, tetapi berjudul, Kayfa Hudimat al-Khilafah.

Di halaman 52 juga ditulis “Tokoh Hizbut Tahrir lainnya adalah Abdurrahman al-Maliki dari Suriah, salah satu tokoh dewan pimpinan partai dan penulis buku Al-‘Uqubat.”

Abdurrahman al-Maliki bukanlah tokoh dewan pimpinan partai. Abdurahman al-Maliki juga tidak pernah mengarang buku Al-‘Uqubat. Salah satu buku yang pernah beliau karang berjudul Nizham al-’Uqubat. Buku tersebut juga bukan buku rujukan (mu’tamadah) Hizbut Tahrir.

Batas Perjuangannya 13 Tahun?

Sabili menulis: “Dalam garis perjuangannya, Hizbut Tahrir menentukan batas waktu 13 tahun sejak didirikannya. Artinya, Hizbut Tahrir sudah harus mencapai tampuk pemerintahan selambat-lambatnya 13 tahun. Kemudian batas waktu itu diperpanjang sampai tiga dasawarsa karena pertimbangan kondisi dan karena adanya tekanan yang bertubi-tubi.”

Pernyataan ini tidak pernah diungkap dalam kitab-kitab mutabannat (rujukan), nasyrah (selebaran), ta’mim maupun kutaib yang dikeluarkan oleh Hizbut Tahrir. Yang dibahas oleh Hizbut Tahrir adalah batas waktu umat Islam kosong tanpa Khilafah. Dalam konteks penegakkan Khilafah dan pengangkatan seorang khalifah, Hizbut Tahrir justru berpendapat bahwa tenggat waktu yang ditetapkan syariah adalah 3 hari 3 malam. Artinya, kaum Muslim dilarang tidak memiliki seorang khalifah lebih dari 3 hari 3 malam. Ketentuan seperti ini ditetapkan berdasarkan Ijmak Sahabat. Ketika Umar bin al-Khaththab ra. tertikam, beliau memberi batas waktu 3 hari kepada dewan syura yang dipimpin oleh ‘Abdurrahman bin ‘Auf untuk mengangkat seorang khalifah. Umar juga berwasiat kepada dewan syura, jika lebih dari 3 hari mereka tidak bisa mengangkat seorang khalifah dari mereka, maka anggota yang menolak akan dibunuh. Untuk melaksanakan wasiat itu, Umar bin al-Khaththab memerintah-kan 50 orang pemuda yang dipersenjatai dengan pedang (Ajhizah Dawlah al-Khilafah fi al-Hukm wa al-Idarah, hlm. 53).

Melalaikan Aspek Ruhani?

Tertulis: “Hizbut-Tahrir melalaikan aspek ruhani. Ruhani dipandang hanya sebagai ide. Hizbut-Tahrir berpendapat, di dalam diri manusia tidak ada gejolak ruhani dan kecerdasan jasadi. Di dalam diri manusia hanya ada kebutuhan dan insting yang harus dipenuhi….”

Pernyataan semacam ini pun tidak pernah ditemukan dalam kitab-kitab mutabannat (rujukan) Hizbut Tahrir. Pandangan Hizbut Tahrir tentang ruh telah dijelaskan panjang lebar dalam Kitab Mafahim Hizb at-Tahrir. Hizbut Tahrir berpandangan bahwa ruh itu memiliki makna ganda. Ruh bisa bermakna nyawa (sirr al-hayah/rahasia hidup manusia) yang menghidupkan kesadaran dan organ manusia. Ruh juga bisa bermakna idrak shillah billah (kesadaran akan hubungan dengan Allah swt). Hizbut Tahrir juga mengenalkan istilah ruhiyyah dan nahiyah ar-ruhiyyah.

Jika yang dimaksud aspek ruhani adalah kesadaran akan hubungan dengan Allah, bagaimana bisa dinyatakan Hizbut Tahrir mengabaikan aspek ruhani? Di dalam kitab-kitab pembinaannya, Hizbut Tahrir selalu menekankan kepada anggotanya untuk berpegang teguh dengan akidah Islam, terikat dengan syariah Islam dan selalu menampilkan perilaku yang berakhlakul karimah sebagai wujud kesadaran hubungan dengan Allah SWT. Hizbut Tahrir mengeluarkan banyak kitab mutabannat yang menekankan kewajiban dan pentingnya terikat dengan akidah dan syariah Islam; misalnya Asy Syakhshiyyah al-Islamiyyah, juz 1, Nizham al-Islam, Mafahim Hizbut Tahrir, dan lain sebagainya.

Untuk mencetak kader dakwah yang memiliki kepribadian Islam yang tinggi, Hizbut Tahrir juga mensyaratkan anggotanya untuk mengkaji kitab Min Muqawwimat an-Nafsiyah al Islamiyah (Pilar-pilar pengokoh Nafsiyah Islamiyah).

Tentang Azab Kubur dan Kemunculan Dajjal

Sabili menulis: “Hizbut Tahrir melarang anggotanya percaya pada siksa kubur dan munculnya Dajjal. Menurut mereka, orang yang memercayainya dipandang sebagai pendosa.”

Lagi-lagi, tak ada satu pun kitab yang menjadi rujukan di Hizbut Tahrir menyatakan hal itu. Dalam masalah-masalah akidah, pandangan Hizbut Tahrir sejalan dengan pandangan para ulama dari kalangan Sahabat, tabi’in, tabi’ at-tabi’in, dan ulama-ulama mu’tabar lainnya. Intinya, akidah harus dibangun di atas dalil qath’i (pasti), baik tsubut maupun dilalah-nya. Dalil yang memenuhi syarat ini hanya al-Quran dan hadis mutawatir yang dilalah-nya qath’i. Adapun terkait hadis ahad, Hizbut Tahrir—seperti pendapat mayoritas kaum Muslim dari kalangan Sahabat dan ulama salafush-shalih—berpandangan bahwa hadis ahad wajib diamalkan (wujub al-‘amal), dan tidak menghasilkan keyakinan (al-‘ilm), dalam pengertian hanya menghasilkan zhann belaka.

Apa yang dipegang oleh Hizbut Tahrir sama persis seperti yang dijelaskan oleh Imam an-Nawawi dalam Muqaddimah Syarh Shahih Muslim:

Khabar ahad adalah hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat mutawatir, baik perawinya satu atau lebih. Masih diperselisihkan hukum hadis ahad. Pendapat mayoritas kaum Muslim dari kalangan Sahabat dan tabi’in, kalangan ahli hadis, fukaha, dan ulama ushul yang datang setelah para Sahabat dan tabi’in adalah: khabar ahad (hadis ahad) yang tsiqqah adalah hujjah syar’i yang wajib diamalkan; khabar ahad hanya menghasilkan zhann, tidak menghasilkan ilmu (keyakinan). Kewajiban mengamalkan hadis ahad kita ketahui berdasarkan syariah, bukan karena akal….Sebagian ahli hadis berpendapat bahwa hadis-hadis ahad yang terdapat di dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim menghasilkan ilmu (keyakinan), berbeda dengan hadis-hadis ahad lainnya. Pada penjelasan sebelumnya kami telah menjelaskan kesalahan pendapat ini secara rinci. Semua pendapat selain pendapat jumhur adalah batil. Kebatilan orang yang berpendapat tanpa hujjah dalam masalah ini telah tampak jelas….Adapun orang yang berpendapat bahwa hadis ahad menghasilkan keyakinan, sesungguhnya orang itu terlalu berbaik sangka. Bagaimana bisa dinyatakan hadis ahad menghasilkan keyakinan (ilmu), sedangkan hadis ahad masih mungkin mengandung ghalath, wahm, dan kadzb? Wallahu a’lam bish shawab (Imam an-Nawawi, Syarh Shahih Muslim).

Hizbut Tahrir tidak pernah menolak hadis ahad yang sahih, baik yang berkaitan dengan syariah (amal) maupun keyakinan (akidah). Hadis ahad yang berbicara masalah amal (syariah) waijib diamalkan. Hadis ahad yang berbicara tentang keyakinan/akidah cukup dibenarkan (tashdiq). Sebab, hadis ahad itu tidak menghasilkan keyakinan yang pasti (tashdiq al-jazim), tetapi sekadar zhann belaka.

Berkenaan dengan siksa kubur, Hizbut Tahrir tidak pernah menyinggung masalah ini secara rinci di dalam kitab-kitab mutabannat. Hizbut Tahrir juga tidak pernah mengeluarkan instruksi kepada anggotanya untuk tidak memercayai siksa kubur dan kemunculan Dajjal. Yang benar, Hizbut Tahrir meminta kepada anggotanya untuk menerima semua hadis sahih dan melarang anggota mengingkari atau menolak hadis-hadis sahih (baik mutawatir maupun ahad).

Mengabaikan Amar Makruf Nahi Mungkar?

Sabili menulis: “Tokoh-tokoh Hizb al-Tahrir memandang tidak perlu adanya usaha amar ma’ruf dan nahi munkar. Menurut mereka, usaha tersebut pada saat ini merupakan salah satu kendala tahapan pergerakan. Sebab, kewajiban amar makruf nahi munkar merupakah salah satu tugas negara Islam jika telah berdiri”.

Jelas ini pun keliru. Dalam Kitab Manhaj Hizbut Tahrir fi at-Taghyir disebutkan dengan sangat jelas sebagai berikut:

Amar makruf nahi mungkar termasuk perkara yang Allah wajibkan atas kaum Muslim. Sebab, Allah SWT berfirman: Hendaklah ada di antara kakian segolongan umat yang menyerukan kebajikan dan melakukan amar makruf nahi mungkar. Merekalah orang-orang yang beruntung (QS Ali Imran [3]: 104). Amar makruf nahi mungkar adalah kewajiban bagi kaum Muslim dalam setiap kondisi, baik Daulah Khilafah telah berdiri maupun belum; baik hukum Islam sudah diterapkan di pemerintahan dan masyarakat atau belum. Amar makruf nahi mungkar telah ada pada masa Rasulullah saw. dan Khulafaur Rasyidin dan orang-orang setelah mereka. Amar makruf nahi mungkar tetap fardhu bagi kaum Muslim hingga akhir zaman. Akan tetapi, amar makruf nahi mungkar bukanlah thariqah (metode) untuk menegakkan Khilafah dan mengembalikan Islam dalam kehidupan negara dan masyarakat, walaupun ia merupakan bagian dari aktivitas “melangsungkan kehidupan Islam” karena di dalamnya ada aktivitas mengoreksi penguasa, yakni menyeru penguasa untuk mengerjakan yang makruf dan meninggalkan yang mungkar. Akan tetapi, aktivitas melangsungkan kehidupan Islam berbeda dengan amar makruf nahi mungkar…. (Manhaj Hizbut Tahrir fi al-Taghyir, hlm. 8).

Dari uraian yang tersebut dalam Kitab Manhaj Hizbut Tahrir fi at-Taghyir jelas, bahwa tidak ada satu pun pernyataan dari Hizbut Tahrir yang menunjukkan pengabaian dirinya terhadap aktivitas amar makruf nahi mungkar. Bahkan perjuangan Hizbut Tahrir di berbagai belahan dunia justru menunjukkan kenyataan sebaliknya. Di berbagai negara, banyak syabab Hizbut Tahrir ditangkap, dibunuh, dan diintimidasi oleh para penguasa zalim dan fasik karena keberanian mereka dalam mengoreksi penguasa dan menyingkap persekongkolan jahat dengan negara-negara kafir imperialis. Tulisan Sabili juga memuat peristiwa penangkapan, penyiksaan serta kesulitan-kesulitan yang dihadapi syabab Hizbut Tahrir di berbagai belahan dunia akibat keberanian para syabab Hizbut Tahrir dalam menegakkan amar makruf nahi mungkar. Lalu bagaimana dia bisa menyatakan tokoh-tokoh Hizbut Tahrir mengabaikan amar makruf nahi mungkar?

Cita-cita Utama: Merebut Kekuasaan?

Pada halaman 55 tertulis “Tergambar bahwa cita-cita utama Hizbut-Tahrir adalah merebut kekuasaan.”

Cita-cita utama Hizbut Tahrir sebagaimana disebut dalam Kitab Hizbut Tahrir adalah sebagai berikut:

Tujuan Hizbut Tahrir adalah melangsungkan kembali kehidupan Islam, mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia. Tujuan ini bermakna mengembalikan kaum Muslim ke kehidupan islami di Darul Islam dan masyarakat Islam. Di dalamnya seluruh urusan kehidupan masyarakat berjalan sesuai dengan hukum-hukum Islam dan sudut pandang masyarakat adalah halal dan haram di bawah naungan Daulah Islamiyah, yakni Daulah Khilafah, yang di dalamnya kaum Muslim mengangkat seorang khalifah yang dibaiat atas dasar pendengaran dan ketaatan, untuk berhukum dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, dan untuk mengemban Islam ke seluruh penjuru dunia dengan dakwah dan jihad (Hizb at-Tahrir, hlm. 6).

Benar, kekuasaan dibutuhkan untuk bisa melanjutkan kehidupan Islam, namun itu bukanlah tujuan. Kekuasaan hanyalah thariqah (metode) untuk melanjutkan kehidupan Islam dengan menerapkan syariah Islam secara menyeluruh.

Membolehkan Orang Kafir Menjadi Anggota?

Pada halaman 55 juga dinyatakan: “Orang kafir diperbolehkan menjadi anggota Hizb at-Tahrir.”

Pernyataan ini sangat keliru. Pasalnya, Hizbut Tahrir sejak didirikan pada tahun 1953 tidak pernah mengubah pendiriannya. Sejak berdirinya, Hizbut Tahrir hanya beranggotakan kaum Muslim saja. Di dalam Kitab At-Ta’rif (Mengenal Hizbut Tahrir (terj.) dalam bab Keanggotaan Hizbut Tahrir tertulis dengan jelas:

Hizbut Tahrir menerima keanggotaan setiap orang Islam, baik laki-laki maupun wanita, tanpa memperhatikan lagi apakah mereka keturunan Arab atau bukan, berkulit putih ataupun hitam. Hizbut Tahrir adalah sebuah partai untuk seluruh kaum Muslim dan menyeru umat untuk mengemban dakwah Islam… (Mengenal Hizbut Tahrir dan Strategi Dakwah Hizbut Tahrir, hlm. 27, 2008, Pustaka Thariqul Izzah, Bogor).

Membolehkan Mencium Wanita Asing?

Pada halaman 55 juga dinyatakan: “Boleh berciuman dengan wanita asing (bukan istri), baik disertai nafsu atau tidak.”

Jelas ini adalah tuduhan palsu. Pasalnya, Hizbut Tahrir mengharamkan kaum Muslim mencium wanita ajnabiyyah atau sebaliknya. Keharaman mencium wanita ajnabiyyah atau sebaliknya disebutkan dengan jelas dalam Kitab An-Nizham al-Ijtima’i fi al-Islam, ed. IV (Mu’tamadah) halaman 53 yang menjadi kitab rujukan utama Hizbut Tahrir: Ciuman seorang laki-laki terhadap wanita asing yang diinginkannya, atau sebaliknya, adalah ciuman yang diharamkan.

Tentang Memandang Gambar Porno

Pada halaman 55 pun dinyatakan (mengutip buku keluaran WAMY): “Boleh memandang gambar-gambar porno”.

Pernyataan seperti ini pun tak pernah tercantum dalam kitab-kitab mutabannat, nasyrah, ta’mim, qarar maupun kutaib yang dikeluarkan Hizbut Tahrir. Al-‘Alim al-’Allam Syaikh Atha’ Abu Rusytah, Amir Hizb, dalam tulisannya telah mengharamkan kaum Muslim melihat gambar porno. Pasalnya, melihat gambar porno adalah wasilah menuju tindak keharaman (Lihat: Website Hizbut Tahrir Pusat).

Ikhtilaf Bukanlah Kesesatan

Majalah Sabili juga mengangkat pendapat-pendapat Hizbut Tahrir yang dikesankan sebagai pendapat sesat dan menyimpang. Padahal pendapat-pendapat tersebut adalah pendapat islami meski masih dijadikan perdebatan oleh ulama-ulama mu’tabar. Namun sayang, pendapat-pendapat tersebut dikesankan sebagai pendapat aneh dan menyimpang dari Islam. Pada halaman 56, Sabili, misalnya, menyebutkan, “Seorang laki-laki dan perempuan yang berzina dengan salah seorang muhrimnya harus dipenjara selama 10 tahun.”

Pernyataan ini berasal dari Kitab Nizham al-’Uqubat karya Dr. Abdurrahman al-Maliki. Namun, redaksinya tidak lengkap. Lengkapnya: “Siapapun yang menikah (bukan berzina) dengan salah seorang mahram yang abadi, seperti ibu dan saudara perempuan, dipenjara 10 tahun.”

Dr. ‘Abdurrahman al-Maliki berpendapat bahwa orang yang menikahi mahram abadinya tidak boleh dikenai had zina, sebab masih ada syubhat akad yang menghalalkan farji seseorang, meskipun akad nikah itu fasid. Pendapat seperti ini juga dipegang oleh ulama Hanafiyah. ‘Abdul Qadir al-Audah dalam kitabnya (At-Tasyri’ al-Jana’i al-Islami, II/363), menyatakan, “Akan tetapi Abu Hanifah sendiri berpendapat, orang yang menikahi ibunya, anak perempuannya, bibi, (mahram abadi), kemudian menyetubuhinya, maka untuk kasus ini tidak dikenai had zina, meskipun mereka mengaku mengetahui hal itu adalah tindakan haram. Untuk kasus semacam ini cukup dikenai hukuman ta’zir.”

Ia melanjutkan, “Imam Abu Hanifah tidak menjatuhkan had untuk kasus semacam ini karena ada syubhat.”

Atas dasar itu, pendapat Dr. ‘Abdurrahman al-Maliki bukanlah pendapat yang menyimpang. Bahkan pendapat ini merupakan pendapat tangguh yang dipegang oleh Imam Abu Hanifah.

Pada halaman 56 juga dinyatakan bahwa Hizbut Tahrir berpandangan bahwa Negara Islam boleh menyerahkan jizyah (upeti) kepada negara kafir.

Pernyataannya ini juga tidak lengkap. Yang benar, Hizbut Tahrir berpendapat bahwa dalam keadaan darurat Daulah Islam boleh meminta damai dengan kaum kafir dengan menyerahkan sejumlah harta kepada mereka. Pendapat ini juga dikesankan seolah-olah menyimpang dari Islam. Padahal para fukaha empat mazhab telah membahas masalah ini dalam kitab-kitab mereka dan mayoritas mereka membolehkan menyerahkan harta kepada negara kafir dalam keadaan darurat.

Di dalam Kitab Bada’i’ ash-Shanai’ (Kitab Fikih Mazhab Hanafi) disebutkan: “Tidak mengapa kaum Muslim meminta perjanjian damai dari orang kafir yang untuk itu, kaum Muslim harus menyerahkan sejumlah harta, jika keadaannya darurat, berdasarkan firman: Wa in janahu lis salmi fajnah laha. ‘ (Bada’i’ ash-Shanai’, XV/316).

Pendapat senada dikemukakan oleh ulama Malikiyah (Lihat: Qawanin al-Ahkam asy-Syar’iyyah [Kitab Fikih Madzhab Maliki], hlm. 175; maupun Syafi’i dan Hanbali.

Demikianlah, semoga risalah ini mampu menyingkap mana yang benar dan mana yang batil, sekaligus mengembalikan kita pada pangkuan kebenaran dan cahaya persaudaraan karena Allah. WaLlâhu a’lam bi ash-shawâb.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar