Suatu hari, setelah seharian berkeliling, Nasrudin Hoja pulang ke rumah. Saat istrinya membukakan pintu, ia segera masuk. Didapatinya ada sepo-tong keju di atas piring di meja makan. Ia langsung menghampiri dan menyantapnya seraya berkata kepada istrinya, “Keju itu bagus untuk kesehatan perut.” Istrinya tak berkomentar.
Esoknya, setelah seharian pergi, Nasrudin kembali pulang ke rumah. Ia berharap ada lagi keju di meja makan. Namun, ia tak menemukannya. Ia lalu menemui istrinya dan bertanya, “Kok tidak ada keju lagi?”
“Memangnya kenapa?” jawab istrinya. “Tidak apa-apa, sih. Lagipula keju tidak bagus untuk kesehatan gigi.”
“Jadi yang benar yang mana? Keju itu bagus untuk kesehatan perut atau tidak bagus untuk kesehatan gigi?” tanya istrinya.
“Tergantung,” jawab Nasruddin, “kejunya ada atau tidak…?”
Pembaca yang budiman, penulis tidak bermaksud membuat lelucon dengan mencatut cerita fiktif di atas. Penulis hanya ingin mengajak pembaca merenung, betapa bersilat lidah saat ini sudah dianggap hal biasa, bukan sesuatu yang tabu, apalagi dianggap aib dan dosa.
Lihatlah para elit politik kita. Hari ini bicara A, besok bicara B. Isuk dele sore tempe (pagi kedelai sore tempe). Demikian kata orang Jawa. Persis seperti kelakukan Nasrudin di atas. Tidak aneh jika kemudian ada yang hari ini menjelek-jelekkan tokoh A, esoknya sudah memuji-muji yang bersangkutan. Hari ini berseberangan, esoknya sudah saling bergandengan tangan. Hari ini ngambek, esoknya sudah saling berpelukan.
Siapapun bisa menilai, semua itu bukan berangkat dari sebuah ketulusan, tetapi semata-mata karena kepentingan. Mereka hakikatnya sedang mempraktik-kan adagium politik sekular yang kotor, ”Tidak ada kawan atau musuh abadi; yang ada hanyalah kepentingan abadi.”
Ironisnya, hal ini juga dipratikkan secara sempurna oleh para tokoh dan parpol Islam. Demi kepentingan kekuasa-an, apapun dilakukan. Tak ada lagi rasa malu dan sungkan. Tak ada lagi rasa bersalah dan takut dosa. Urusan halal-haram tak lagi menjadi ukuran. Urusan syariah tak lagi dipandang relevan. Urusan dakwah pun bisa dikompromikan.
Demikianlah kalau manusia sudah diharu-biru hawa nafsu, diperdaya harta, dan diperbudak syahwat kekuasaan. Semua itu berpangkal pada kecintaan manusia terhadap dunia. Padahal andai saja setiap diri sejenak mau berhitung: berapa sih harga dunia? Asal tahu saja, meski seluruh isi dunia kita miliki, itu tak ada nilainya di sisi Allah SWT. Sabda Nabi saw.:
Seandainya dunia ini sebanding harganya dengan sayap seekor lalat saja, niscaya Allah tidak akan membiarkan seorang kafir pun untuk meminum air dari dunia ini barang seteguk pun (HR at-Tirmidzi dan Ibn Majah).
Baginda Nabi saw.pun bersabda:
Dunia ini terkutuk dan terkutuk pula semua yang ada di dalamnya, kecuali mereka yang senantiasa mengingat Allah SWT (HR Ibn Majah dan ad-Darimi).
Sayang, Allah tampaknya sudah tidak lagi mereka ingat, kecuali di dalam shalat. Para elite politik, khususnya para tokoh Islam, seolah tidak pernah belajar meneladani generasi salafush-shalih dulu, yang tidak pernah silau oleh gemerlap dunia, harta dan kekuasaan. Jangankan bermimpi untuk menjadi penguasa atau bernafsu mengejar kekuasaan. Bahkan ditawari jabatan pun sering tak mereka hiraukan. Imam Syafii, misalnya, ketika ditawari suatu jabatan, ia menolaknya. Demikian pula Imam Ahmad. Saat beliau ditawari untuk menjadi hakim pada zaman Bani Umayah yang terakhir, beliau pun enggan menerimanya. Pada masa pemerintahan Abu Ja’far al-Manshur, saat beliau diminta kembali untuk menjadi hakim, beliau tetap menolaknya. Semua itu mereka lakukan bukan karena kekuasaan itu haram, tetapi semata-mata karena mereka khawatir akan Hari Pertanggungjawaban.
Karena tak pernah berambisi atas kekuasaan, tidak aneh jika generasi salafush-shalih seperti Imam Syafii dan Imam Ahmad adalah generasi yang tak pernah plin-plan. Mereka selalu istiqamah, apalagi dalam menyatakan kebenaran dan menjalankan dakwah. Sebab, mereka memang tak pernah terbebani oleh kekhawatiran akan risiko hilang kesempatan meraih jabatan atau kekuasaan.
Mereka tidak sebagaimana para tokoh saat ini, yang bertindak mencla-mencle karena khawatir tidak kebagian kue kekuasan. Lalu, agar tidak terkesan mencla-mencle, mereka sibuk berdalih dan bersilat lidah. Mereka tak risih kalaupun harus menjilat ludah yang sudah tertumpah. Ironisnya, semua itu mereka lakukan hanya demi meraih dunia yang sangat murah!
Pengokoh Nafsiyah Islam,
Bogor; 13 Juli 2010 10:51
Ujang Pebidiansyah
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Ya Allah jangan sampai kami seperti para pendewa Demokrasi, yang gila jabatan gila kedudukan demi meraih dunia yang murah ini Ya Allah...Ampunilah kami, ampuni para pejabat kami, dan sadarkanlah mereka. supaya mereka kembali kejalan Islam yang kaffah. Amiin.
BalasHapus