Rabu, 21 Juli 2010
Kewajiban Menegakkan Khilafah
Pada dasarnya, para ulama empat mazhab tidak pernah berselisih pendapat mengenai kewajiban mengangkat seorang imam/khalifah yang bertugas melakukan tugas ri’âyah suûn al-ummah (pengaturan urusan umat).
Imam al-Qurthubi, seorang ulama besar dari mazhab Maliki, ketika menjelaskan tafsir surah al-Baqarah ayat 30, menyatakan, “Ayat ini merupakan dalil paling asal mengenai kewajiban mengangkat seorang imam/khalifah yang wajib didengar dan ditaati, untuk menyatukan pendapat serta melaksanakan hukum-hukum khalifah. Tidak ada perselisihan pendapat tentang kewajiban tersebut di kalangan umat Islam maupun di kalangan ulama, kecuali apa yang diriwayatkan dari Al-A’sham (Imam al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, 1/264-265).
Al-’Allamah Abu Zakaria an-Nawawi, dari kalangan ulama mazhab Syafii, mengatakan, “Para imam mazhab telah bersepakat, bahwa kaum Muslim wajib mengangkat seorang khalifah.” (Imam an-Nawawi, Syarh Shahîh Muslim, XII/205).
Ulama lain dari mazhab Syafii, Imam al-Mawardi, juga menyatakan, “Menegakkan Imamah (Khilafah) di tengah-tengah umat merupakan kewajiban yang didasarkan pada Ijmak Sahabat. (Imam al-Mawardi, Al-Ahkâm as-Sulthâniyyah, hlm. 5).
Imam ‘Alauddin al-Kasani, ulama besar dari mazhab Hanafi pun menyatakan, “Sesungguhnya mengangkat imam agung (khalifah) adalah fardhu. Tidak ada perbedaan pendapat di antara ahlul haq mengenai masalah ini. Penyelisihan oleh sebagian kelompok Qadariah mengenai masalah ini sama sekali tidak bernilai karena persoalan ini telah ditetapkan berdasarkan Ijmak Sahabat, juga karena kebutuhan umat Islam terhadap imam yang agung tersebut; demi keterikatan dengan hukum; untuk menyelamatkan orang yang dizalimi dari orang yang zalim; untuk memutuskan perselisihan yang menjadi sumber kerusakan dan kemaslahatan-kemaslahatan lain yang tidak akan terwujud kecuali dengan adanya imam.” (Imam al-Kassani, Badâ’i ash-Shanai’ fî Tartîb asy-Syarâi’, XIV/406).
Imam Umar bin Ali bin Adil al-Hanbali, ulama mazhab Hanbali, juga menyatakan, “Ayat ini (QS al-Baqarah [2]: 30) adalah dalil atas kewajiban mengangkat imam/khalifah yang wajib didengar dan ditaati untuk menyatukan pendapat serta untuk melaksanakan hukum-hukum tentang khalifah. Tidak ada perbedaan tentang kewajiban tersebut di kalangan para imam kecuali apa yang diriwayatkan dari Al-A’sham dan orang yang mengikutinya.” (Imam Umar bin Ali bin Adil, Tafsîr al-Lubâb fî ‘Ulûm al-Kitâb, 1/204).
Imam Ahmad bin Hanbal dalam sebuah riwayat yang dituturkan oleh Muhammad bin ‘Auf bin Sufyan al-Hamashi, menyatakan, “Fitnah akan muncul jika tidak ada imam (khalifah) yang mengatur urusan manusia.” (Abu Ya’la al-Farra’i, Al-Ahkâm as-Sulthâniyah, hlm.19).
Imam Abu Muhammad Ali bin Hazm al-Andalusi azh-Zhahiri dari mazhab Zhahiri menyatakan, “Para ulama sepakat bahwa Imamah (Khilafah) adalah fardhu dan keberadaan seorang imam itu merupakan suatu keharusan, kecuali an-Najdat. Pendapat mereka benar-benar telah menyalahi Ijmak dan pembahasan mengenai mereka telah dijelaskan sebelumnya. Para ulama sepakat bahwa tidak boleh ada dua imam (khalifah) bagi kaum Muslim pada satu waktu di seluruh dunia baik mereka sepakat atau tidak, baik mereka berada di satu tempat atau di dua tempat.” (Imam Ibn Hazm, Marâtib al-Ijmâ’, 1/124).
Di tempat lain, Imam Ibnu Hazm mengatakan, “Mayoritas Ahlus-Sunnah, Murjiah, Syiah dan Khawarij bersepakat mengenai kewajiban menegakkan Imamah (Khilafah). Mereka juga bersepakat, bahwa umat Islam wajib menaati Imam/Khalifah yang adil yang menegakkan hukum-hukum Allah di tengah-tengah mereka dan memimpin mereka dengan hukum-hukum syariah yang dibawa Rasulullah saw.” (Ibnu Hazm, Al-Fashl fî al-Milal wa al-Ahwâ’ wa an-Nihal, IV/87).
Taqarrub kepada Allah yang Paling Agung
Upaya menegakkan Khilafah Islamiyah termasuk aktivitas taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah yang paling agung. Syaikhul Islam Imam Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Yang wajib adalah menjadikan kepemimpinan (imârah) sebagai bagian dari agama dan sarana untuk bertaqarrub kepada Allah. Taqarrub kepada Allah dalam hal imârah (kepemimpinan) yang dilakukan dengan cara menaati Allah dan Rasul-Nya adalah bagian dari taqarrub yang paling utama.” (Imam Ibnu Taimiyah, As-Siyâsah asy-Syar’iyyah, hlm. 161).
Al-’Allamah Ibnu Hajar al-Haitami juga menyatakan, “Ketahuilah juga bahwa para Sahabat ra. seluruhnya telah berijmak bahwa mengangkat seorang imam (khalifah) setelah berakhirnya masa kenabian adalah wajib. Bahkan mereka telah menjadikan kewajiban ini sebagai kewajiban yang paling penting. Buktinya, para Sahabat lebih menyibukkan diri dengan perkara ini dibandingkan dengan mengurusi jenazah Rasulullah saw. Perselisihan mereka dalam hal penentuan (siapa yang berhak menjadi imam) tidaklah merusak ijmak yang telah disebutkan tadi.” (Imam Ibnu Hajar al-Haitami, Ash-Shawâ’iq al-Muhriqah, 1/25).
Sayangnya, mayoritas umat Islam sekarang justru lebih menyibukkan diri dengan amal-amal sunnah, semacam zikir jama’i, gerakan sedekah, shalat dhuha, puasa sunnah dan lain-lain dibandingkan dengan melibatkan dirinya dalam perjuangan menegakkan Khilafah Islamiyah. Ironisnya lagi, sebagian mereka malah menganggap perjuangan menegakkan Khilafah Islamiyah tidak lebih agung dan mulia daripada amal-amal sunnah tersebut. Tidak hanya itu, mereka juga menganggap para pengemban dakwah Khilafah sebagai orang-orang yang tidak memiliki ketinggian ruh dan akhlaq. Padahal menegakkan Khilafah Islamiyah dan sibuk dalam aktivitas ini termasuk dalam bagian dari upaya mendekatkan diri kepada Allah yang paling agung.
Tegaknya Khilafah: Janji Allah
Ulama empat mazhab juga telah menyatakan bahwa tegaknya Khilafah Islamiyah adalah janji Allah SWT kepada orang-orang Mukmin. Pasalnya, al-Quran telah menyebutkan janji ini (tegaknya kekhilafahan Islam) dengan jelas dan gamblang. Allah SWT berfirman;
وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الأرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا يَعْبُدُونَنِي لا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman dan beramal salih di antara kalian, bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa (QS an-Nur [24]: 55).
Imam Ibnu Katsir, ketika menafsirkan ayat di atas, menyatakan, “Inilah janji dari Allah SWT kepada Rasulullah saw., bahwa Allah SWT akan menjadikan umat Nabi Muhammad saw. sebagai khulafâ’ al-ardh; yakni pemimpin dan pelindung manusia. Dengan merekalah (para khalifah) akan terjadi perbaikan negeri dan seluruh hamba Allah akan tunduk kepada mereka.” (Imam Ibnu Katsir, Tafsîr Ibn Katsîr, VI/77).
Imam ath-Thabari juga menyatakan, “Sungguh, Allah akan mewariskan bumi kaum musyrik dari kalangan Arab dan non-Arab kepada orang-orang yang beriman dan beramal salih. Sungguh pula, Allah akan menjadikan mereka sebagai penguasa dan pengaturnya.” (Imam ath-Thabari, Tafsîr ath-Thabari, XI/208).
Janji agung ini tidak hanya berlaku bagi orang-orang yang beriman dan beramal salih pada generasi Sahabat belaka, namun berlaku juga sepanjang masa bagi orang-orang Mukmin yang beramal salih. Imam asy-Syaukani berkata, “Inilah janji dari Allah SWT kepada orang yang beriman kepada-Nya dan melaksanakan amal salih tentang Kekhilafahan bagi mereka di muka bumi, sebagaimana Allah pernah mengangkat sebagai penguasa orang-orang sebelum mereka. Inilah janji yang berlaku umum bagi seluruh generasi umat. Ada yang menyatakan bahwa janji ini hanya berlaku bagi Sahabat saja. Sesungguhnya, pendapat semacam ini tidak memiliki dasar sama sekali. Alasannya, iman dan amal salih tidak hanya khusus ada pada Sahabat saja, namun bisa saja dipenuhi oleh setiap generasi dari umat ini.” (Imam asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, V/241).
Dari uraian para ulama di atas dapat disimpulkan bahwa tegaknya Khilafah Islamiyah adalah janji Allah SWT. Ini berarti bahwa Khilafah Islamiyah pasti akan ditegakkan atas izin Allah SWT. Seorang Muslim wajib mengimani bahwa Khilafah Islamiyah pasti akan tegak kembali. Seorang Muslim tidak diperkenankan sama sekali menyatakan bahwa perjuangan menegakkan kembali Khilafah Islamiyah adalah perjuangan utopis, khayalan, mustahil, romantisme sejarah dan lain sebagainya. Pernyataan-pernyataan semacam itu merupakan bentuk pengingkaran dan peraguan terhadap janji Allah SWT. Siapa saja yang mengingkari dan meragukan janji Allah maka akidahnya telah rusak dan binasa. Al-Quran telah menyatakan dengan jelas, bahwa janji Allah SWT pasti ditunaikan:
السَّمَاءُ مُنْفَطِرٌ بِهِ كَانَ وَعْدُهُ مَفْعُولا
Langit pun menjadi pecah-belah pada hari itu karena Allah. Janji Allah pasti terlaksana (QS al-Muzammil [73]: 18).
لا يُخْلِفُ اللَّهُ وَعْدَهُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لا يَعْلَمُونَ (٦)
Allah tidak akan menyalahi janji-Nya, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui (QS ar-Rum [30]: 6).
Lalu mengapa kita tidak bersegera melibatkan diri dalam perjuangan yang penuh keagungan dan keberkahan ini?
Benar, perjuangan menegakkan kembali Khilafah Islamiyah merupakan perjuangan penuh keagungan dan keberkahan. Pasalnya, ini adalah perjuangan yang direstui, yang dinyatakan oleh para ulama mu’tabar, dan dinaungi oleh janji Allah SWT, dan keberhasilannya menjadi sebab tegaknya hukum-hukum Allah SWT secara syâmil, kâmil dan mutakâmil. Wallâh al-Muwaffiq ilâ Aqwam ath-Thâriq
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar