Pemerintah kembali mengangkat wacana pembubaran ormas, salah satunya adalah ormas Islam yang selalu vokal dan aktif memberantas kemaksiatan, FPI, dengan alasan sering melakukan tindak kekerasan. Padahal parpol peserta pemilu maupun pemilukada jauh lebih banyak yang melakukan tindak kekerasan apalagi ketika calon yang diusungnya kalah. Kalau begitu, lantas apa motif di balik rencana pembubaran ini? Temukan jawabannya dalam wawancara wartawan mediaumat.com dengan Ketua Lajnah Siyasiyah DPP HTI Harits Abu Ulya berikut ini.
Bagaimana tanggapan anda dengan rencana pemerintah membubarkan FPI, FBR dan BMB?
Tidak mudah, karena Indonesia menganut demokrasi dengan begitu kebebasan berpendapat, berserikat dan berkelompok di jamin Undang-Undang. Kalau toh memaksakan diri untuk melakukan itu, maka perlu ada perubahan di Undang-undang keormasan yang ada yaitu UU No.8 Tahun 1985 tentang Ormas.
Pemerintah melalui Kemendagri telah menyiapkan draft revisi atau penyesuaiannya. Dan tentu akan banyak mendapat tantangan dari masyarakat. Kalau sampai pemerintah membubarkan ormas seperti FPI, FBR dan lainya maka akan menjadi presden buruk dalam kehidupan sosial politik.
Kalau ada oknum ormas tertentu melakukan tindak kekerasan, itu tidak bisa di generalisir bahwa ormas secara institusional melakukan tindakan tersebut atau itu menjadi garis perjuangan ormas tersebut.Tentu tidak demikian…, Di Indonesia di era reformasi ada sekitar 9000 ormas yang terdaftar di Kementerian Dalam Negeri, dan yang tidak mendaftar jumlahnya masih banyak.
Dari jumlah tersebut yang kerap melakukan tindakan kekerasan tidak hanya “oknum” dari ormas yang berbendera keagamaan, tapi opini yang dibangun media selama ini selalu mengesankan yang berbuat kekerasan selalu ormas-ormas keagamaan tertentu. Kalau pemerintah represif, tentu bagi ormas yang dibubarkan cukup dengan merubah dengan nama baru maka dia bisa eksis lagi.
Apa motif di balik rencana pembubaran itu?
Saya melihat dan mengamati dari opini yang berkembang masalah ormas ini, ada beberapa hal yang perlu di cermati. Pertama, pemerintah berusaha memaksakan diri memasukkan Pancasila menjadi ideologi ormas. Tapi ini gagal, karena disaat yang sama bisa melihat keberadaan parpol yang juga tidak bisa di seragamkan harus mengadopsi Pancasila menjadi ideologi partai. Kalau partai saja tidak bisa, bagaimana dengan ormas? Atau sekarang muncul wacana perlunya ormas berwatak “lokal”, artinya mengedepankan nilai-nilai kultural masyarakat Indonesia. Tapi ini menjadi ambigu dan sulit dirumuskan karena parameternya tidak jelas.
Kedua, ada kecenderungan terus mengekspos beberapa kasus friksi sosial, dan dikait-kaitkan dengan ormas keagamaan tertentu. Dan ketika opini mengelinding, ditindak lanjuti oleh pemerintah untuk kembali mendiskusikan eksistensi ormas-ormas keagamaan yang ada. Saya melihat, dengan upaya revisi undang-undang keormasan pemerintah hendak mengunci mati langkah ormas-ormas Islam yang dianggap vokal selama ini. Banyak lini yang pemerintah bermain, terutama di penguatan legal frame. Ada usaha serius untuk melahirkan regulasi yang bisa mengendalikan ormas, karena selama ini peran pemerintah sebagai pembina, pengawas dan pemberi sanksi bila ormas melanggar dirasa masih kurang efektif. Perlu ada undang-undang yang lebih keras, dijadikan pijakan untuk menindak.
Ketiga, saya menangkap sikap “hipokrit” pemerintah. Kenapa juga tidak mempersoalkan LSM-LSM yang kerap melakukan pelanggaran?
Bagaimana dengan ormas pemuda yang berlabel nasionalis seperti merah putih, pancasila, demokrasi atau ormas lain yang tidak jarang melakukan tindak kekerasan atau diduga menjadi ‘backing’ premanisme ?
Inilah satu contoh sikap hipokrit pemerintah. Kenapa tidak merespon serius jika yang melakukan kelompok seperti itu. Maka jangan salahkan jika masyarakat cenderung melihat pemerintah tebang pilih kalau mau menertibkan ormas. Dan tebang pilihnya, berangkat dari sentimen dan paradigma yang tidak sehat.
Ada orang-orang dilingkungan pemerintah yang alergi dan salah paham terhadap eksistensi ormas Islam dengan segala aktifitasnya.Yang jelas masih banyak orang liberal di sekitar kekuasaan. Dan mereka terus berusaha dengan berbagai cara dan upaya (pendekatan) untuk mendorong pemerintah berani melakukan langkah terobosan (merevisi UU ormas) biar mulus niat busuk kelompok liberal ini terhadap ormas-ormas Islam tertentu.
Bagaimana pula dengan parpol yang sering rusuh-rusuh bila jagoan yang diusungnya kalah pilkada?
Ya kalau konsisten, nanti kita tuntut kepada pemerintah agar partai-partai itu juga harus dibubarkan saja. Karena setiap pemilu selalu ada saja yang melakukan tindak kekerasan. Baik pemilu nasional, maupun pemilukada. Lagian hasil pemilu tidak juga membawa perubahan nasib rakyat. Sudah membuang banyak duit, rakyat sering jadi korban dan rakyat hanya jadi obyek kepuasaan syahwat kekuasaan orang dan kelompok-kelompok partai yang ada.
Kalau mekanisme pemerintah, jika ada pelanggaran pemerintah memberikan teguran secara bertahap. Di tingkat kabupaten dilakukan oleh Bupati, di Provinsi oleh Gubernur, dan pusat oleh Menteri. Setelah tiga kali teguran kemudian membawa ke Mahkamah Konstitusi untuk dibekukan atau membawa ke Mahkamah Agung untuk dibubarkan.
Itu skenarionya, tapi kita ambil sampel kasus kekerasan politik karena pemilu yang terjadi dibanyak tempat dan setiap pemilu terulang, kenapa pemerintah tidak serius melihat hal ini? Terlihat sekali, paradigma yang subyektif dari pemerintah dan orang-orang opurtunis di legislatif bermain seenak perutnya.
Bagaimana seharusnya pemerintah bersikap?
Kalau pemerintah mau terbuka dan obyektif, maka tidak perlu kuaatir terhadap keberadaan ormas-ormas keagamaan khususnya Islam. Selama jelas-jelas mereka berdiri tegak berdasarkan Islam dan garis perjuangannya juga berlandaskan Islam maka sesungguhnya itu ada berkah dan kebaikan untuk bangsa Indonesia.
Justru yang perlu diwaspadai adalah ormas-ormas/orpol/LSM komprador yang menebarkan virus Sepilis (sekulerisme, pluralisme dan liberalisme) yang jelas-jelas membahayakan nasib Indonesia ke depan. Pemerintah perlu secara terbuka kalau berani, debat publik dengan mengundang ormas-ormas yang dituduh selalu melakukan kekerasan atau ormas Islam tertentu yang dianggap meresahkan masyarakat.
Apakah benar paradigma dan argumentasi pemerintah, biar masyarakat yang cerdas ini menilai. Jangan sampai istilah “meresahkan”, membuat tidak “nyaman” masyarakat itu hanya propaganda dan akal-akalan untuk membungkam langkah ormas Islam dalam upaya amar makruf nahi mungkar, khususnya yang di arahkan kepada penguasa yang selama ini di anggap dzalim dan lalai terhadap urusan umat Islam yang mayoritas menghuni tanah air Indonesia ini.
Contoh sikap lembeknya pemerintah adalah kasus kelompok sesat Ahmadiyah yang terkatung-katung hingga saat ini.Terus ngapain pemerintah ujug-ujug ngurus pembubaran ormas? Saya rasa banyak batu sandungan yang akan menjadikan sakit sembelit bagi pemerintah sendiri dan akhirnya seperti kurang kerjaan! []
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar