Pengantar
Pada setiap Bulan Dzulhijjah, umat Islam selalu diingatakan tentang
hakikat pengorbanan. Tentu saja, karena pada bulan ini terdapat hari
raya Idul Adha yang dilatarbelakangi oleh sikap pengorbanan Nabiyullah
Ibrahim As. dan Ismail As. Kisah pengorbanan keduanya senantiasa
abadi, hingga tak satu pun jiwa orang-orang yang beriman kepada Allah
SWT melewatkan peristiwa paling spektakuler di dunia tersebut.
Membicarakan kisah pengorbanan, khususnya bagi muslimah, tentu bisa
digali dari berbagai peristiwa baik yang dialami para nabi, shahabat
atau pun orang-orang shalih di masa lalu. Terlebih, kehidupan umat
Islam di awal pertumbuhannya penuh dengan lika-liku yang tak lepas dari
pengorbanan kaum perempuan. Salah satu sosok pahlawan perempuan di masa
Nabi Muhammad Saw. adalah Nusaibah Binti Ka’ab ra. Jiwa pengorbanannya
menjadikan setiap orang yang menelurusuri sejarah peri kehidupannya,
tertegun takjub, bahwa ternyata seorang perempuan mampu menjadi orang
terkemuka di hadapan Nabi dan umat Islam pada masa itu. Tulisan
berikut akan memaparkan bentuk pengorbanan salah seorang shahabiyat Nabi
Saw. tersebut.
Keimanan yang Lurus
Dia bernama Nusaibah Binti Ka’ab bin Amru bin ‘Auf al shohabiyyah al
Fadhillah al Mujahidah al Anshoriyyah al Khazrajiyyah. Ummu Imaroh
adalah julukan bagi wanita mulia ini. Beriman di kala kebanyakan orang
mengingkari ajaran Nabi Muhammad Saw. adalah perkara yang tidak mudah.
Namun, demikianlah yang dilakukan Ummu Imaroh kala itu. Suatu saat
beliau menyimak paparan yang disampaikan suaminya, Zaid Bin Ashim yang
baru saja menerima dakwah Islam dari Mush’ab Bin Umair. Zaid
menceritakan tentang seorang Rasul yang diutus dari kalangan Quraisy dan
menyeru kepada manusia untuk beriman kepada Allah SWT. Dakwah sang
Rasul yang begitu tegar dan berani meski mendapatkan tantangan yang luar
biasa pun disampaikan Zaid dengan penuh keyakinan. Ia pun menceritakan
betapa yang disampaikan Mush’ab Bin Umair tersebut telah membuat
dirinya takjub hingga mengimani ajaran Rasulullah Saw.
Saat itulah hati Ummu Imaroh bergetar. Beliau tak dapat
menyembunyikan bisikan hati kecilnya untuk turut mengimani apa yang
dibawa Rasul tersebut. Tak ada alasan untuk menolak, tak ada keberatan
untuk meningggalkan, maka Ummu Imaroh selanjutnya menyatakan, “Saya beriman kepada Allah sebagai ilah (Tuhan) dan Muhammad sebagai Nabi”. Dengan demikian Ummu
Imaroh telah membuat keputusan awal yang paling baik dan menentukan
sejarah kehidupannya kelak. Beliau mulia karena memilih Islam.
Itulah pengorbanan pertama Ummu Imaroh. Beliau rela mengubur
kesombongan yang biasanya ada pada manusia tatkala diseru untuk
meninggalkan keyakinan lamanya. Kondisi seperti ini tentu jarang
dijumpai saat ini. Bahkan tak sedikit dijumpai muslim yang tidak rela
meningalkan keyakinan yang bertentangan dengan aqidah Islam. Mereka
bersyahadat namun mengemban sekulerisme, pluralisme dan liberalisme.
Dan itu terjadi karena mereka tidak mau menanggalkan kesombongan
dirinya; merasa memiliki kehidupan atau merasa mampu membuat aturan yang
adil untuk manusia. Padahal semua itu hanya omong kosong. Tidakkah
Ummu Imaroh telah memberikan pelajaran mendasar bagi kita?
Teguh dalam Janji di Hadapan Rasul
Tak cukup sekedar beriman, Ummu Imaroh yang telah membulatkan
keimanan itu pun hendak menunjukkan kesetiaannya kepada Rasulullah Saw.
Bersama suami dan kedua putranya, yaitu Hubaib dan Abdullah, Ummu
Imaroh ikut dalam rombongan yang berjalan ke bukit Aqobah untuk
menyatakan baiat atau janji kesetiaan kepada Rasulullah Saw. sebagai
pemimpin dan kepala negara bagi kaum muslim. Peristiwa tersebut lebih
dikenal dengan Baiat Aqobah kedua yang terjadi pada malam ke 13 bulan
Dzulhijjah tahun ke 13 kenabian.
Inilah bentuk pengorbanan yang kedua dari sang politisi muslimah
tersebut. Keikutsertaannya ini tentu layak diperhitungkan sebagai
bentuk pengorbanan beliau dalam bidang politik. Beliau tak ingin
ketinggalan memperoleh kebaikan dari peristiwa baiat Aqobah kedua yang
merupakan salah satu pilar bersejarah berdirinya daulah (negara) Islam
di Madinah. Tak lama setelah peristiwa tersebut Rasulullah Saw.
memerintahkan kaum muslimin di Mekkah untuk berhijrah ke Madinah dan
menegakkan masyarakat di sana.
Ummu Imaroh bukanlah orang yang tidak peduli dengan nasib agama Islam
yang terus mendapat hinaan dan tantangan dari penduduk kafir Quraisy.
Beliau juga menyadari bahwa dirinya adalah bagian dari orang-orang yang
siap membantu dakwah Nabi Saw. di Madinah. Meski beliau seorang
perempuan, kesadaran politik yang dimilikinya begitu tinggi, tak kalah
oleh mereka yang laki-laki. Beliau adalah salah satu dari dua orang
yang terlibat dalam Baiat Aqobah kedua tersebut.
Inilah yang seharusnya disadari setiap muslimah abad ini. Kehidupan
sekuler yang materialitsik telah melupakan tugas politik mereka.
Kepedulian terhadap kondisi umat dan agama ini seharusnya menjadi bagian
dalam kehidupan mereka. Sayangnya, masih banyak yang cuek alias tidak
peduli. Tak hanya itu, kesadaran atas kondisi umat yang memprihatinkan
saat ini seharusnya juga diikuti oleh semangat untuk memperbaiki dengan
berdakwah beramar makruf nahi munkar, menentang semua bentuk kedholiman
dan berperan aktif dalam dakwah menegakkan negara Islam. Ummu Imaroh
sebenarnya telah memberikan inspirasi bagi muslimah untuk tidak ragu
mengambil posisi terdepan dalam perjuangan dakwah Islam melalui
kesadaran politik Islam yang dimilikinya.
Bertempur di Bukit Uhud
Janji setia yang beliau ikrarkan di Bukit Aqobah itu pun ternyata
bukan omong kosong. Sungguh beliau telah mewujudkannya melalui sepak
terjangnya membantu dakwah Islam di Madinah dan terlibat secara aktif
dalam setiap peristiwa besar yang dialami kaum muslim.
Ummu Imaroh memang layak mendapat julukan pahlawan perempuan Anshar.
Kepahlawanannya sangat menonjol terutama dari aktivitas beliau yang
mengikuti berbagai peperangan melawan orang-orang kafir. Beliau turut
serta dalam Perang Uhud, Perjanjian Hudaibiyah, Umrah Qadha’, Perang
Hunain dan Perang Yamamah di mana tangannya terpotong . Dapatkah kita
membayangkan bagaimana jiwa seorang perempuan yang terlibat dalam
berbagai medan pertempuran? Jika ia seorang pengecut, tentu tak akan
hadir di medan laga. Jika ia bukan orang yang yakin akan pahala dan
kebaikan yang besar di sisi Allah SWT tentu ia lari dan bersembunyi.
Namun itulah Ummu Imaroh. Beliau telah meyakinkan diri menjadi bagian
yang bisa berarti dalam setiap kesempatan.
Dalam Perang Uhud, Ummu Imaroh ikut bersama suami dan kedua anaknya.
Pada waktu itu beliau membawa tempat yang berisi air. Beliau mendapati
Rasulullah Saw. bersama para shahabatnya. Namun tatkala pasukan Islam
mulai mengalami kekalahan, Ummu Imaroh pun maju ke medan perang untuk
ikut bertempur menggunakan pedang dan panah.
Ketika ada salah seorang musuh yang datang hendak menyerang
Rasulullah Saw. Ummu Imaroh dan beberapa shahabat membentuk tameng
pertahanan untuk melindungi Rasulullah Saw. hingga orang yang hendak
menyerang Rasulullah tersebut sempat memukul Ummu Imaroh . Kegigihan
Ummu Imaroh dalam melindungi Rasulullah Saw. ini terlihat dari sabda
beliau, “Aku tidak menoleh ke kiri dan ke kanan melainkan melihat Ummu Imarah”. Dan benar saja, pengorbanan Ummu Imaroh dalam perang Uhud ini tampak dari 12 bekas luka di tubuhnya.
Ummu Imaroh memang perempuan pemberani. Ia rela mengorbankan jiwa
dan raganya. Tatkala Rasulullah Saw. melihat lukanya, Beliau Saw.
bersabda kepada anak Ummu Imaroh, yaitu Abdullah, ” Ibumu, ibumu…balutlah lukanya. Ya Allah, jadikanlah mereka sahabat saya di surga “.
Mendengar doa yang disampaikan Rasulullah Saw. tersebut Ummu Imaroh pun berkata : “Aku tidak menghiraukan lagi apa yang menimpaku dari urusan dunia ini “.
Kalimat seperti ini tentu tak akan keluar dari mulut manusia yang lebih
mencintai dunia. Cukuplah hal ini menjadi bukti bahwa Ummu Imaroh
adalah orang yang telah menjual apa yang dimilikinya di dunia ini dengan
surga. Inilah bentuk pengorbanan yang paling tinggi dari seorang
manusia untuk Rabbnya.
Namun, bagaimana dengan kebanyakan muslimah kini. Kata-kata surga
bak nyanyian merdu yang biasa menghiasi telinga mereka namun tak
berbekas dalam jiwa dan amalan. Kerinduan pada keridloan Allah SWT
seakan jauh dari harapan, apalagi jika harus dibayar dengan dunia dan
isinya. Kenikmatan dunia telah banyak melalaikan visi dan misi yang
seharusnya dimiliki muslimah. Jangankan terluka oleh goresan pedang dan
anak panah -sebagaimana Ummu Imaroh- kebanyakan perempuan kini malah
berlomba-lomba mempercantik diri, memoles dan memuluskan tubuh bahkan
tak sedikit yang harus operasi plastik. Sesudah itu, mereka jajakan
kecantikannya itu di hadapan laki-laki demi segenggam uang yang pasti
akan habis dalam waktu cepat, bukan balasan surga yang pasti kekalnya
seperti yang bakal diperoleh Ummu Imaroh. Tidakah kita malu, mengapa
masih saja tertipu oleh silaunya dunia?
Isteri dan Ibu Teladan
Ummu Imaroh memang bukan perempuan biasa. Ketangguhan di medan
juang, tak mengurangi rasa tanggung jawabnya sebagai muslimah. Ia tetap
mampu mengemban kewajibannya sebagai isteri bagi suaminya dan ibu bagi
anak-anaknya. Pengorbanannya sebagai isteri nampak dari sikapnya
terhadap kedua suaminya. Dengan suami yang pertama, Ia mampu menjadi
pendamping dan teman perjuangan saat suami isteri ini menyatakan baiat
di bukit Aqobah dan bersungguh-sungguh dalam membantu dakwah Rasulullah
Saw di Madinah.
Adapun setelah hidup dengan suaminya yang kedua, Ummu Imaroh pun tak
pernah tertinggal untuk mendampingi suaminya dan memberikan berbagai
pertolongan di medan pertempuran. Keduanya nampak dalam Perang Uhud,
peristiwa Hudaibiyah, Perang Khaibar, Perang Hunain dan Perang Yamamah.
Inilah pengorbanannya sebagai isteri seorang pejuang yang siap berjuang
kapan pun, di mana pun dan dengan resiko apapun. Ummu Imaroh telah
memerankannya dengan sangat baik.
Tidakkah seharusnya hal ini menjadi inspirasi bagi para istri di
jaman modern kini. Tak seharusnya para isteri lebih mementingkan
karirnya di luar rumah, jauh dari suami atau bahkan memiliki dunia
sendiri yang lebih mereka cintai dari pada kehidupan rumah bersama suami
dan keluarga. Kemandirian perempuan yang dipropagandakan kaum feminis
dan penggiat gender berhasil menipu sebagian perempuan, sehingga mereka
lebih rela meninggalkan suaminya, tak hanya dalam aktivitas bahkan
ikatan penikahan. Perceraian meningkat karena isteri merasa lebih
mandiri secara ekonomi, memiliki kebebasan mengatur urusannya sendiri
tanpa campur tangan suami, atau semata-mata karena tidak qonaah
(menerima) apa yang diberikan suami. Sementara godaan pria lain terus
mengintai, akibatnya perselingkuhan pun tak terhindarkan. Dan akhirnya
ikatan pernikahan mudah lepas oleh ganasnya kehidupan sekuler. Inilah
penyakit yang banyak menghinggapi para isteri saat ini. Kesetiaan Ummu
Imaroh pada sang suami selayaknya memberikan pengaruh, bahwa ikatan
pernikahan sesungguhnya adalah jalan menuju ketaqwaan, jalan menuju
diraihnya berbagai kebaikan sebagai suami isteri.
Ummu Imaroh juga layak menjadi ibu teladan. Beliau telah mampu
mengantarkan putra putrinya sebagai generasi pembela Islam. Tak sedikit
pun muncul keraguan dalam hantinya untuk melepas kedua putranya (Habib
dan Abdullah) di setiap medan pertempuran dan tugas dakwah lainnya.
Keteguhan kedua putranya mengemban amanah dakwah Islam cukup menjadi
bukti bahwa mereka hidup dalam suasana pembinaan ruhiyyah yang baik di
dalam keluarga yang tentu tak lepas dari pengaruh Ummu Imaroh, sang ibu.
Saat perang Badar, anaknya -Abdullah- dengan gagah berani ikut
berjuang menegakkan panji-panji Islam sehingga Islam memperoleh
kemenangan. Adapun kiprah Habib nampak saat ia memegang amanat sebagai
utusan Khalifah Abu Bakar untuk menyampaikan surat kepada Musailamah al
Kadzdzab. Ummu Imaroh pun mendorong agar anaknya mampu mengemban amanat
tersebut dengan baik. Namun rupanya Habib harus syahid tatkala membela
Islam di hadapan kekufuran tersebut.
Mendengar kematian anaknya itu, Ummu Imaroh bukannya kecewa. Ia
malah menerimanya dengan penuh keyakinan bahwa putranya mendapatkan
kedudukan tinggi di sisi Allah SWT. Ia menerima berita kematian itu
dengan penuh kemuliaan serta kebanggaan karena telah mempersembahkan
yang terbaik untuk Islam dan kaum muslim.
Pengorbanan hakiki seorang ibu terhadap sang anak sepertinya menjadi
barang langka saat ini. Terlebih saat ibu lebih senang menjadikan
anaknya sebagai mesin uang, penghias rumah dan penyanjung harga diri
alias prestise. Jangankan menanamkan ruh jihad pada anak, mereka malah
antipati terhadap pemahaman Islam yang dianggap radikal. Berapa banyak
pula ibu yang justru lebih memilihkan lembaga pendidikan yang
berorientasi keilmuan dan pekerjaan saja untuk anaknya. Sementara
pendidikan yang lebih menekankan pembentukan kepribadian Islam dianggap
kuno, ketinggalan jaman, dan tidak bermutu. Itu semua tentu tidak
mencerminkan sosok ibu yang baik. Keteladan Ummu Imaroh dalam
mengarahkan buah hatinya selayaknya menginspirasi setiap ibu untuk
mencetak generasi yang siap mengemban tanggung jawab masa depan Islam
dan kaum muslim.
Pengorbanan Sepanjang Hayat
Ummu Imaroh memang telah dimuliakan Allah SWT melalui pengorbanannya
di sepanjang hayat. Perang Yamamah yang bertujuan untuk menumpas
gerakan Musailamah telah membawanya pada puncak pengorbanan. Saat itu
Ummu Imaroh dan anaknya -Abdullah- ikut serta dalam perang Yamamah.
Musailamah yang sebelumnya telah membunuh Habib terbunuh oleh Abdullah
-anak Ummu Imaroh yang lain. Inilah pengorbanan terakhirnya. Beberapa
tahun setelah peristiwa Perang Yamamah tersebut, Ummu Imaroh meninggal
dunia. Beliau pulang dengan dua belas bekas tusukan dan kehilangan satu
tangan serta satu anaknya, semua diperolehnya dari medan pertempuran.
Itulah pengorbanan yang ikhlas semata-mata karena Allah SWT. Beliau
tidak mengenal kesal, mengeluh, mengadu, apalagi bersedih meski tubuhnya
terluka sekalipun, meski belahan jiwanya hilang sekalipun. Karena
sesungguhnya obat dari berbagai tantangan tersebut adalah harapan yang
begitu tinggi untuk meraih ridhwanullah.
Seandainya kaum muslimah saat ini memiliki himmah dan
cita-cita semulia Ummu Imaroh, niscaya mereka tidak mudah melupakan
Allah SWT dan berputus asa dari rahmat-Nya. Sungguh, menapaki kehidupan
ini memang penuh cobaan. Tantangan perjuangan pun akan datang silih
berganti. Namun, janji Allah SWT pasti ditepati. Dia akan menolong
orang-orang yang menolong agama-Nya. Artinya, jika kaum muslim saat ini
kembali kepada agama Alllah SWT, menjunjung tinggi syariat Islam
sebagai satu-satu pengatur kehidupan mereka, niscaya umat Islam bisa
keluar dari keterpurukan, kehinaan dan ancaman musuh-musuh Islam. Semua
itu telah dibuktikan sendiri oleh Ummu Imaroh, ia telah memperoleh
kemenangan hakiki, saat segala daya upaya telah diberikan untuk menolong
agama Allah SWT meski harus menjalani berbagai kesulitan dan kesakitan.
Penutup
Pengorbanan Ummu Imaroh memang tak dapat disetarakan dengan
pengorbanan Nabi Ibrahim as.dan Nabi Ismail as. Meski kedua kisah
pengorbanan ini ada yang terjadi pada Bulan Dzulhijjah, masing-masing
memang memiliki dimensi yang berbeda. Namun, sebagai sosok perempuan
yang rela mengorbankan apa yang dimilikinya di tengah kesulitan hidup
pada zamannya, Ummu Imaroh layak menjadi teladan kaum ibu dan perempuan
pada umumnya di masa kini.
Berkaca pada keteladanan tersebut, kaum muslimah saat ini harus
memiliki kesadaran politik Islam meski mereka sebagai seorang ibu dan
isteri. Peran aktifnya sangat diperlukan untuk membangun masyarakat
Islam. Muslimah manapun juga berhak mendapatkan surga sebagaimana Ummu
Imaroh jika mereka mampu mempersembahkan jiwa dan raganya untuk Allah
SWT semata-mata. Dunia ini terlalu kecil dan tak layak ditukar oleh
surga yang luasnya tak dapat diperhitungkan manusia. Semoga akan
terlahir Ummu Imaroh lain di sepanjang perjalanan umat Muhammad Saw
ini. Aamiin. [] Noor Afeefa
Rujukan
Dr. Ahmad Sudirman Abbas, M.A, Mukjizat Doa dan Air Mata Ibu, Qultum Media, 2009.
Muhammad Ali Quthb, Perempuan Agung di Sekitar Rasulullah Saw, PT Mizan Publika
Tidak ada komentar:
Posting Komentar