Jumat, 29 Januari 2010
JUBIR HTI : ANTEK PENJAJAH DI BALIK PENGGUGAT UU PENODAAN AGAMA
Kelompok-kelompok liberal antek penjajah terus saja berulah. Melalui Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi, mereka menggugat Penetapan Presiden No.1/PNPS/1965 yang sudah diundangkan melalui UU No.5 Tahun 1969 tentang Penodaan Agama. Siapa mereka dan apa motifnya? Untuk menjawab itu wartawan www.mediaumat.com berbincang dengan Jurubicara Hizbut Tahrir Indonesia Muhammad Ismail Yusanto. Berikut petikannya.
Siapa saja penggugat itu?
Kita mendapatkan informasi dari Mahkamah Konstitusi (MK) para penggugat itu Asfinawati dkk. mengatasnamakan Tim Advokasi Kebebasan Beragama. Tim ini mewakili para pemohon tujuh lembaga (Imparsial, Elsam, PBHI, Demos, Setara Institute, Desantara Foundation, YLBHI) dan empat individu (Abdurrahman Wahid, Siti Musdah Mulia, Dawam Raharjo, dan Maman Imanul Haq).
Memang di dalam dokumen yang kita terima itu tidak disebut-sebut Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) dan figurnya pun hanya yang tadi disebut di atas. Jauh dari nama-nama yang tertera dari AKKBB. Tetapi kita tidak terlalu sulit menyimpulkan bahwa mereka ini adalah kelompok inti dari AKKBB.
Jadi sebenarnya kita bisa menyatakan bahwa permohonan pencabutan PNPS ini adalah kelompok yang sedari dulu begitu getol mendukung aliran sesat Ahmadiyah.
Apa motifnya?
Setidaknya ada dua motivasi. Pertama, motif sosiologis, dalam arti ini menjadi pintu bagi mereka untuk melindungi kelompok-kelompok yang mereka sebut dengan kelompok minoritas.
Karena selama ini mereka melihat bahwa kelompok-kelompok yang dianggap melakukan penyimpangan terhadap agama itu disebut sebagai penistaan terhadap agama, misalnya seperti Lia Eden, Ahmad Musadeq, Ahmadiyah, dll. Itu selalu terkena pasal yang mereka gugat itu. Maka kemudian AKKBB melihat UU tersebut itulah sebagai biang dari munculnya kriminalisasi terhadap–yang mereka sebut sebagai–kebebasan beragama.
Kedua, motif ideologis yaitu mereka ingin menegakkan sekularisme, pluralisme, dan liberalisme (sipilis) dan UU yang mereka gugat itu dianggap sebagai UU yang sangat bertentangan dengan paham sipilis. Jadi saya melihat pada akhirnya motif ideologi itu yang lebih kental mewarnai dari tuntutan Asfinawati dkk kepada MK untuk mencabut UU itu.
Bukankah mereka melakukan itu dengan alasan menegakkan HAM karena dinilai UU tersebut melanggar kebebasan beragama dan memicu terjadinya kekerasan?
Alasan tersebut sama sekali tidak tepat karena: Pertama, kita harus memisahkan terlebih dahulu yang disebut kebebasan beragama atau kebebasan berkeyakinan dengan penistaan. Saya kira kita semua sangat memahami mengenai prinsip kebebasan beragama atau kebebasan berkeyakinan.
HTI sendiri berpandangan bahwa setiap manusia itu bebas memilih agama dan keyakinannya itu, tidak boleh dipaksa. Bahkan tidak boleh dipaksa atau memaksa seseorang untuk masuk agama Islam.
Hanya saja kebebasan beragama ini tidak boleh diartikan sebagai kebebasan untuk mengacak-acak agama atau kebebasan untuk menghina dan menistakan agama .
Nah, yang terjadi selama ini ada banyak penghinaan atau penistaan terhadap agama seperti halnya yang dilakukan Ahmadiyah , ketika dia mengatakan bahwa ada Nabi setelah Nabi Muhammad SAW. Kemudian dia mempunyai kitab suci namanya Tadzkiroh. Itu betul betul pengacakan terhadap Al-Quran. Karena dia comot Al-Quran pada salah satu ayat kemudian dia campur dengan ayat pada surat yang lain, lalu dijadikan satu dibuat redaksi sendiri, itu tiada lain sebagai pengacak-acakan agama atau penistaan agama.
Itu sangat berbahaya kalau kemudian tindakan semacam ini dibiarkan, justru dengan adanya UU ini, mencegah terjadinya anarki sebab kalau tidak ada UU ini maka orang akan dengan leluasa melakukan penistaan terhadap agama dan pada saat yang sama ada banyak juga orang yang dengan leluasa mengekspresikan kekesalan terhadap pihak yang menistakan agama.
Masyarakat itu kan kadar emosi, kesadaran, pemahaman, tingkat pengendalian dirinya berbeda-beda. Begitu dia melihat bahwa nabinya dihina, Al-Quran diacak-acak, ada mungkin orang yang tidak bisa menahan diri, ada yang marah tapi masih porsi proposianal. Tapi siapa yang bisa menjamin bahwa semua orang seperti itu, siapa yang bisa menjamin bahwa tidak ada individu-individu yang kemudian mengambil langkah sendiri-sendiri.
Jadi kalau dikatakan bahwa UU ini memicu terjadinya kekerasan, itu tidak berpengaruh sebaliknya. UU itu. justru mengeliminasi adanya kekerasan. Sudahlah ada UU seperti ini saja reaksinya umat macam-macam. Ada juga yang menempuh anarkisme, apalagi kalau tidak ada. Saya kira alasan mereka bahwa UU itu memicu kekerasan, itu tidak benar. Kalau pun ada itu reaksi yang sangat minim bukan reaksi besar namun itu sebenarnya karena kelambanan aparat dalam bertindak.
Kalau UU tersebut sudah tidak ada aparat tidak akan bisa bertindak. Yang terlambat saja memunculkan reaksi apalagi tidak bertindak, itu pasti akan menimbulkan reaksi yang lebih besar lagi.
Jadi menurut saya Tim Advokasi Kebebasan Beragama telah membuka pintu untuk terjadinya kekacauan sosial karena dia menginginkan dihapuskanya UU yang melindungi kehormatan agama. Dengan kata lain mereka melindungi pengacak-acak agama dan pelanggar HAM.
Kemudian setalah saya membaca dokumennya, argumen-argumen yang mereka bangun ternyata mereka itu mencoba untuk merelatifkan definisi penyimpangan agama, penistaan agama yang ujungnya adalah mereka menginginkan perlindungan terhadap orang yang murtad untuk tidak beragama.
Maka sebenarnya mereka menginginkan di negeri ini semakin berkembangnya sipilis a+ (sekularisme, pluralisme, liberalisme, atheisme plus penjajahan). Karena kita tengarai ini semua tidak terlepas dari kepentingan kelompok liberal di Barat untuk mengokohkan dominasinya di Indonesia. [www.mediaumat.com]
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar