RUU Intelijen = Lahirnya Rezim
Represif
Proses pembahasan RUU
Intelijen di DPR tinggal selangkah lagi. Pada tanggal 30 September lalu
Komisi I DPR telah mengetuk palu persetujuan RUU Intelijen sebagai keputusan
komisi untuk diajukan ke Sidang Paripurna DPR.
Draft final ini
merupakan hasil dari perkembangan pembahasan sebelumnya. Dalam draft
final ini terdapat perubahan terutama dalam hal definisi dan kategori ancaman,
tentang penyadapan, pemeriksaan aliran dana, penggalian informasi dan ancaman
sanksi pidana. Draft final inilah yang menjadi obyek analisis sekarang.
Beberapa catatan
kritis atas draft final RUU Intelijen itu masih relatif sama dengan yang sebelumnya.
Di dalam draft terakhir itu juga masih terdapat sejumlah pasal yang
bermasalah. Draft terakhir itu jika disahkan nantinya tetap akan
berpeluang melahirkan rezim represif yang bisa memata-matai rakyat.
Intelijen nantinya masih berpeluang dijadikan alat oleh pemerintah dalam hal
ini presiden. Kepala BIN juga tetap dijadikan sebagai satu-satunya pihak
yang bisa menentukan telah terpenuhinya indikasi dan bukti awal yang cukup pada
diri seseorang sehingga orang tersebut boleh disadap, diselidiki dan digali
informasinya.
Berikut ini beberapa
catatan kritis yang perlu menjadi perhatian semua elemen masyarakat terkait
draft RUU Intelijen yang akan diajukan ke sidang paripurna DPR 27 September
nanti:
Pertama, ada kalimat-kalimat dan frase yang
tidak didefinisikan dengan jelas, pengertiannya kabur dan multitafisr, sehingga
nantinya berpeluang menjadi pasal karet. Misalnya, pada pasal 1
ayat (4) disebutkan, “Ancaman adalah setiap upaya, pekerjaan, kegiatan, dan
tindakan, baik dari dalam negeri maupun luar neger, yang dinilaidan/atau
dibuktikan dapat membahayakan keselamatan bangsa, keamanan, kedaulatan,
keutuhan wilayah Negara KEsatuan Republik Indonesia, dan kepentingan nasional
di berbagai aspek, baik ideologi, politik, ekonomi,sosial budaya, maupun pertahanan
dan keamanan“.
Dalam definisi
ancaman ini ada frase “yang dinilai dan/atau dibuktikan”, kata yang dinilai itu
sangat fleksibel. Tolok ungkapan yang dinilai itu tidak jelas tolok
ukurnya apa, dan siapa yang menilai? Begitu juga apa yang dimaskud “kepentingan
nasional” itu, siapa yang memutuskan sesuatu menjadi kepentingan nasional, apa
tolok ukurnya, setingkat apa kepentingannya, dsb. Semua itu tdak
jelas. Semuanya itu akan bergantung pada penafsiran subyektif dan akan
mengikuti “selera” pemegang kebijakan dan kendali terhadap operasional
intelijen, yaitu Kepala BIN dan tentu saja presiden sebagai atasannya.
Karenanya, hal UU ini bisa dijadikan alat demi kekuasaan dengan dalih
kepentingan nasional. Bisa jadi, sikap kritis dan kritik atas kebijakan
pemerintah akan dibungkam dengan dalih menjadi “ancaman”.
Kedua, di dalam RUU Intelijen
draft final ini Pasal 1 dikatakan Intelijen Negara adalah “penyelenggara
intelijen”. Definisi ini belum bisa menutup peluang Intelijen
dijadikan alat penguasa untuk memata-matai rakyat dan musuh politiknya.
Definisi ini tidak secara tegas menyatakan intelijen sebagai alat negara.
Ketiga, di Pasal 31 RUU Intelijen
final dinyatakan: “Selain wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 Badan
Intelijen Negara memiliki wewenang melakukan penyadapan, pemeriksaan aliran
dana, dan penggalian informasi terhadap setiap orang yang terkait dengan: a.
kegiatan yang mengancam ketahanan nasional meliputi ideologi, politik, ekonomi,
sosial, budaya, pertahanan dan keamanan, serta sektor kehidupan masyarakat,
termasuk pangan, energi, sumber daya alam, dan lingkungan hidup; dan/atau (b).
kegiatan terorisme, separatisme, spionase, dan sabotase yang mengancam
keselamatan, keamanan, dan kedaulatan nasional, termasuk yang sedang menjalani proses
hukum.
Pernyataan, “kegiatan
yang mengancam ketahanan nasional meliputi ideologi, politik, ekonomi, sosial,
budaya, pertahanan dan keamanan, serta sektor kehidupan masyarakat, termasuk
pangan, energi, sumber daya alam, dan lingkungan hidup “ cakupan pernyataan
ini sangat luas, fleksibel dan tidak jelas misalnya, tolok ukur dan batasannya
seperti apa? sampai tingkat apa bisa dikatakan mengancam ketahanan nasional
dalam berbagai aspek itu? siapa yang berwenang menilai dan memutuskankannya?
Lalu pasal 32 menyatakan,
(1) Penyadapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 dilakukan berdasarkan
peraturan perundangan-undangan. (2) Penyadapan terhadap Sasaran yang mempunyai
indikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 dilaksanakan dengan ketentuan: a.
untuk penyelenggaraan fungsi Intelijen; b. atas perintah Kepala Badan Intelijen
Negara; dan c. jangka waktu penyadapan paling lama 6 (enam) bulan dan dapat
diperpanjang sesuai dengan kebutuhan. (3) Penyadapan terhadap Sasaran yang
telah mempunyai bukti permulaan yang cukup dilakukan dengan penetapan ketua
pengadilan negeri. Pembatasan harus dengan penetapan ketua pengadilan
negeri ini, mudah-mudahan bisa membatasi penyadapan sehingga tidak terjadi
penyadapan liar.
Keempat, di Pasal 33 dinyatakan (1) Pemeriksaan
terhadap aliran dana sebagamana dimaksud dalam Pasal 31 dilakukan dengan
ketentuan: a. untuk penyelenggaraan fungsi intelijen. b. atas perintah Kepala
Badan Intelijen Negara. (2) Dalam melakukan pemeriksaan terhadap aliran dana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Bank Indonesia, bank penyedia jasa keuangan
atau lembaga analisis transaksi keuangan wajib memberikan informasi kepada
Badan Intelijen Negara.
Ketentuan ini sangat
longgar. Ketentuan ini akan bertentangan dengan UU tentang PPATK.
Sebab dalam UU PPATK, laporan PPATK hanya diberikan kepada penegak hukum atau
atas perintah pengadilan. Artinya untuk proses penegakan
hukum. Pasal ini hanya menyatakan untuk fungsi Intelijen, artinya
untuk penyelidikan, pengamanan dan penggalangan. Padahal fungsi itu
sangat luas cakupannya. Contoh, sekedar mencari, menemukan, mengumpulkan
informasi adalah bagian dari fungsi penyelidikan. Pasal ini juga tidak
membatasi untuk kasus apa pemeriksaan itu boleh. Artinya pemeriksaan itu
bisa dilakukan untuk kasus apa saja. Yang menentukan satu-satunya adalah
kepala BIN. Masalah ini akan bertabrakan dengan UU perbankan.
Disamping akan membuka peluang untuk dijadikan alat demi kepentingan kekuasaan
khususnya penguasa.
Kelima, di pasal 34 dinyatakan, (1)
Penggalian informasi terhadap setiap orang termasuk yang sedang menjalani
proses hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dilakukan dengan ketentuan: a.
untuk penyelenggaraan fungsi Intelijen. b. atas perintah Kepala Badan Intelijen
Negara. c. Tanpa melakukan penangkapan dan atau penahanan, dan d. bekerjasama
dengan penegak hukum terkait. (2) Dalam melakukan penggalian informasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) penegak hukum terkait wajib membantu
Badan Intelijen Negara. Berikutnya di penjelasan dinyatakan,
“ketentuan ini dimaksudkan sebagai upaya terakhir untuk mendalami informasi
sebagai tindak lanjut dari informasi yang diperoleh sebelumnya, antara lain
melalui pengintaian, penjejakan, pengawasan, penyurupan, pemeriksaan aliran
dana atau penyadapan.
Memang secara
eksplisit dinyatakan penggalian informasi itu tidak dengan melakukan
penangkapan dan atau penahanan. Namun, pasal ini sebenarnya masih
bermasalah. Sebab keputusan dilakukannya peggalian informasi itu hanya
disandarkan para “atas perintah kepala BIN”. Di sinilah ada peluang
disalahgunakan dan dijadikan alat demi kepentingan kekuasaan. Disamping
itu ketentuan “bekerjasama dengan penegak hukum terkait” jika dikaitkan dengan
ayat setelahnya, ayat (2), ketentuan itu hanya asesoris, sebab penegak hukum wajib
membantu BIN. Itu artinya BIN bisa “memerintah” penegak hukum terkait
itu. Dengan alasan bahwa penggalian informasi tidak bisa dilakukan dengan
baik kecuali orangnya ditangkap atau ditahan, maka BIN nantinya bisa “memaksa”
penegak hukum terkait itu untuk menangkap dan atau menahan orang yang
diinginkan oleh BIN. Alasannya, UU mewajibkan penegak hukum membantu BIN.
Sedangkan BIN butuh orang itu ditangkap dan atau ditahan. Maka penegak
hukum wajib menangkap orang itu sesuai permintaan bantuan -perintah- BIN.
Jika penegak hukum itu menolak akan bisa menyalahi UU. Meski memang dalam
hal ini polisi juga harus menaati UU lainnya yang melarang dilakukan
penangkapan dan atau penahanan tanmpa adanya bukti awal yang cukup. Itu
artinya meski wajib membantu BIN tetapi jika untuk menangkap atau menahan bisa
saja polisi menolaknya. Apalagi lagi dalam praktiknya seringkali terjadi
‘permainan kotor’ antar instansi pemerintah atau negara untuk kepentingan
penguasa.
Keenam, mekanisme pengaduan dan gugatan bagi individu
yang merasa dilanggar haknya oleh kerja-kerja lembaga intelijen belum
dijelaskan detil. Di Pasal 15 memang dinyatakan: (1) Setiap
orang yang dirugikan akibat dari pelaksanaan fungsi Intelijen dapat mengajukan
permohonan rehabilitasi, kompensasi, dan restitusi. (2) Permohonan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Pertanyaannya, bagaimana mekanisme pengajuan
rehabilitasi, kompensasi dan restitusi itu dilakukan?
Ketujuh, RUU Intelijen tidak mengatur
dengan jelas mekanisme kontrol dan pengawasan yang tegas, kuat dan permanen
terhadap semua aspek dalam ruang lingkup fungsi dan kerja intelijen (termasuk
penggunaan anggaran). Akibatnya, intelijen memungkinkan akan menjadi “super
body” yang tidak bisa dikontrol dan bisa dijadikan alat kepentingan politik
status quo.
Memang di Pasal 43
dinyatakan ketentuan Komisi DPR yang menangani bidang Intelijen jika memerlukan
pendalaman dalam hal melakukan pengawasan bisa membentuk tim pengawas tetap
beranggotakan 13 orang. Tim ini diberi wewenang menindaklanjuti pengaduan
masyarakat terkait aktivitas penyelenggaran Intelijen yang melanggar peraturan
perundangan. Tim juga bisa melakukan penyelidikan atas hal itu.
Pertanyaannya, sejauh mana efektifitas pengawasan model seperti ini bisa
mengontrol Intelijen? Tindakan apa jika ternyata ditemukan pelanggaran?
Pengawasan mode seperti ini tidak bersifat tetap dan terus menerus secara
khusus mengawasi kerja Intelijen. Disamping itu, proses pengawasan oleh DPR itu
hanya pengawasan politik, bukan hukum. Sehingga konsekuensinya hanya
konsekuensi politik. Apalagi, tim itu tidak bisa mengambil tindakan
terhadap pelanggaran jika ada. Jika dikatakan “kan bisa diteruskan ke
penegak hukum?”. Faktanya, belajar dari kasus Century, semua itu tidak
ada artinya, tidak memiliki kekuatan dan berlalu begitu saja.
Kedelapan, RUU ini bisa menjadi preseden buruk
bagi jurnalis, khususnya jurnalis investigatif. RUU ini berpotensi untuk
membungkam suara-suara kritis. Dengan delik kelalaian di pasal 45 bisa
menjadi ancaman bagi sikap kritis dan keterbukaan. Apalagi cakupan
Rahasia Intelijen seperti dijelaskan Pasal 25 sangat luas dan lentur.
Misalnya, “ayat (2) Rahasia Intelijen sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikategorikan dapat: … c. merugikan ketahanan ekonomi nasional. d. merugikan
kepentingan politik luar negeri dan hubungan luar negeri, … i. mengungkap
rencana dan pelaksanaan yang berkaitan dengan penelenggaraan fungsi intelijen.”
Masalahnya adalah fungsi intelijen itu mencakup penyelidikan (mencari,
menemukan, mengumpulkan informasi dan …. ). Sementara klasifikasi Rahasia
Intelijen itu ditetapkan oleh BIN dan tentu saja pengklasifikasian itu tidak
bisa diketahui oleh semua orang. Jadi bisa saja seseorang apalagi jurnalis
investigatif tanpa sadar menemukan, mengetahui atau memiliki informasi yang
diklasifikasikan sebagai Rahasia Intelijen, lalu ia sebarkan, tulis, ungkap
atau sampaikan informasi yang ia miliki kepada oran lain atau khalayak baik
secara personal atau melalui media massa. Tindakan demikian boleh jadi
bisa dijerat dengan Pasal “kelalaian” mengakibatkan bocornya Rahasia Intelijen.
Ancaman sanksi di
dalam RUU ini pasal 47 tidak akan bisa mencegah penyalahgunaan
penyadapan. Sebab menurut RUU final itu, penyalahgunaan hanya jika
penyadapan dilakukan di luar fungsi penyelidikan, pengamanan dan
penggalangan. Fungsi intelijen itu cakupannya sangat luas dan
fleksibel. Jadi penyalahgunaan penyadapan sulit untuk dibuktikan.
Kesembilan, terkait dengan BIN. BIN diberi
fungsi yang meluas hingga ke daerah. Di dalam penjelasan pasal 10 ayat
(1) dinyatakan “Yang dimaksud dengan “menyelenggarakan fungsi intelijen dalam
dan luar negeri”, termasuk membentuk unit organisasi struktural di daerah dan
perwakilan di luar negeri.” Karena BIN juga memerankan fungsi koordinasi
semua penyelenggara intelijen (TNI, Polri, Kejaksaan dan
kementerian/nonkementerian) yang masing-masing memiliki struktur hingga daerah,
maka BIN seperti diharuskan membentuk struktur organisasi di daerah. Disampin
itu BIN khususnya Kepala BIN diberi wewenang sangat besar dan luas dalam hal
penyelenggaraan intelijen termasuk menentukan sasaran penyadapan, pemeriksaan
aliran dana dan pendalaman.
Kesepuluh, Cakupan fungsi intelijen TNI,
intelijen Kejaksaan, intelijen kementerian/nonkementerian tidak
dijelaskan. Dikhawatirkan intelijen semua itu akan menyasar rakyat sebab
fungsi semua lembaga itu terkait dengan rakyat. Domain fungsi intelijen
BIN tidak dijelaskan dengan jelas dan hanya dibatasi dengan penjelasan sebagai
penyelenggara Intelijen Negara dalam negeri dan luar negeri. Intelijen
pertahananan menjadi domain TNI, penegakan hukum menjadi domain intelijen
kejaksaan, dalam rangka tugas kepolisian menjadi domain intelijen Polri dan
dalam rangka pelaksanaan tugas kementerian menjadi domain intelijen
kementerian/nonkementerian, yang semuanya juga belum dijelaskan dan hanya
dinyatakan “dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan”. Itu
artinya fungsi intelijen BIN akan sarat dengan nuansa politis dan ideologi
sehingga wajar jika BIN dengan semua paparan diatas sangat mungkin dijadikan
alat politik penguasa.
Disamping semua itu,
RUU Intelijen ini pada akhirnya akan berpeluang sangat merugikan rakyat.
Umat Islam khususnya para aktivis Islam akan menjadi sangat dirugikan dan
berpeluang menjadi korban. Upaya penegakan ajaran Islam yang bersumber dari
Allah SWT atas kepentingan asing atau pihak tertentu, bisa jadi dipersepsikan
sebagai ancaman. Disamping itu, elemen masyarakat yang bersuara kritis
dan para jurnalis pun akan bisa menjadi korban dengan dalih mengancam keamanan
atau kepentingan nasional yang ditafsirkan secara subyektif oleh
penguasa. (Lajnah Siyasiyah Hizbut Tahrir Indonesia)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar