Oleh: Agus Trisa
Beberapa waktu yang lalu saya membuat status tentang kaidah daripada,
sebuah ‘kaidah’ yang diusung oleh para penganut politik pragmatis.
Pemikiran ini memang telah merasuk kuat ke dalam diri kaum muslimin
sehingga menjadikannya sebagai pijakan berpikir, untuk hal apapun
termasuk dalam hal pengurusan urusan umat (politik).
Islam adalah sebuah agama yang di dalamnya tidak hanya terdapat hubungan
antara manusia dengan Allah, tetapi juga mengatur hubungan dirinya
dengan orang lain. Di dalam Islam juga terdapat fikrah (pemikiran) dan
thariqah (metode penerapan fikrah). Realitas masyarakat saat ini adalah
masyarakat yang beragama Islam tetapi menggunakan ideologi sekuler.
Sehingga bisa dipastikan bahwa orang-orang yang setiap hari rajin salat,
zakat, sedekah, zikir, menunaikan haji, dan lain sebagainya kebanyakan
adalah orang-orang yang tidak menyetujui politik Islam, ekonomi Islam,
sistem sosial Islam, politik luar negeri Islam, dan lain sebagainya.
Akibatnya adalah terjadinya ketimpangan sosial. Perbuatan tidak
menerapkan syariat Islam itulah yang telah menyebabkan masyarakat jatuh
ke dalam ketimpangan sosial, politik, ekonomi, dan sebagainya.
Berdasarkan realitas tersebut, ada para aktivis muslim yang merasa
“peduli’ terhadap kondisi tersebut. Tetapi ada semacam kebingungan,
bagaimana mengubah realitas yang tidak Islami itu menjadi sesuatu yang
Islami. Kemudian dipikirkanlah berbagai cara sehingga menghasilkan
sebuah uslub amar makruf nahi munkar dengan menyatu ke dalam sistem.
Perbuatan menyatu ke dalam sistem tersebut berangkat dari asal pemikiran
yang sederhana.
Para aktivis itu pun kemudian berpikir bahwa: bagaimana mengubah
realitas jika kita tidak masuk ke dalam sistem? Bagaimana akan mengubah
realitas jika tidak diubah dari dalam? Mereka juga berpikir: Benar,
Islam harus diterapkan menyeluruh, tetapi jika tidak bisa menyeluruh
apakah harus meninggalkan semua syariat Islam itu alias tidak berbuat
apa-apa?
Pemikiran-pemikiran seperti itu terus mengacaukan para aktivis sehingga
menjadi sesuatu yang menyulitkan untuk berpikir jernih. Lalu dibuatlah
pemikiran-pemikiran yang khas, yaitu menggunakan ‘kaidah daripada’. Para
aktivis itu berpikir: ‘daripada tidak berbuat apa-apa, mendingan
menyatu ke dalam sistem agar bisa berbuat apa-apa’, ‘daripada hanya
berwacana tentang penegakan Islam, mendingan bekerja nyata’, ‘daripada
berwacana tentang kesejahteraan rakyat, mendingan bekerja untuk
kesejahteraan rakyat’, dan sebagainya.
Ada juga yang berpemikiran: ‘daripada dipimpin oleh orang kafir,
mendingan dipimpin oleh orang yang beragama Islam’, ‘daripada dipimpin
orang yang sekulernya banyak, mendingan dipimpin oleh orang yang
sekulernya sedikit’, ‘daripada dipimpin orang laki-laki kafir, mendingan
dipimpin perempuan tapi muslim’, dan sebagainya. Kaidah-kaidah sejenis
selalu mengacaukan pra aktivis sehingga mereka pun terjebak di dalamnya.
Merasa kesulitan keluar, dan malu untuk cabut dari pemikirannya, maka
ditanggalkanlah berbagai atribut perjuangan Islam dan diadopsilah
pragmatisme politik sekuler dengan menyatukan diri ke dalam sistem
sekuler tersebut. Masya Allah..
Seolah-olah para aktivis itu dihadapkan pada sesuatu yang sama-sama
buruk. Seolah-olah masuk ke dalam sistem itu buruk, dan berada di luar
sistem itu juga buruk, tetapi keburukan di luar sistem itu lebih besar
sehingga lebih memilih masuk ke dalam sistem yang dinilai keburukannya
lebih kecil.
Ada juga asumsi-asumsi lain seperti berikut: Indonesia adalah negara
sekuler. Agar jangan sampai dikuasai orang-orang yang sekulernya banyak,
mendingan masuk ke sistem sekuler itu dan ‘menyekulerkan diri’ agar
rakyat memilih dirinya yang lebih sedikit sekulernya.
Padahal, tidak jelas di dalam pandangan mereka: yang bahaya itu yang
bagaimana dan yang tidak bahaya itu yang bagaimana. Mereka sebenarnya
tidak memiliki kejelasan akan hal tersebut. Sehingga muncullah
asumsi-asumsi yang kabur tentang berbagai macam definisi yang tidak
sesuai dalam pandangan syariat.
Walhasil, pragmatisme menjadi sesuatu yang akan menjadikan para aktivis
menjadi orang-orang yang mudah terbeli, bahkan membeli. Mereka mudah
untuk dibeli orang lain, mudah ditawar pihak lain. Inilah pragmatisme
politik itu. Bahkan kadang-kadang pragmatisme politik ini dibumbui
dengan berbagai macam dalil atau ‘dalil’ yang mereka anggap bisa
memperkuat argumen pragmatisme politik mereka.
Beberapa ‘dalil’ itu antara lain kaidah syara’ yang sangat terkenal, yaitu:
1)
Idzaa ta’aarodho syarrooni au dhororooni dafa’a asyaddadh dhororoini wa a’zhomasy syarroini
(Jika ada dua keburukan atau kemadharatan bertemu maka yang lebih berat
madharatnya dan lebih besar keburukannya harus dihilangkan)
2)
Idzaa ta’aarodho mafsadataani ruu’iya a’ zhomuhumaa dhororon bi irtikaabi akhoffihimaa
(Jika ada dua kemafsadatan bertemu maka yang harus diperhatikan adalah
yang lebih besar mafsadatnya, dengan melaksanakan yang lebih
ringan-kemafsadatannya)
Kaidah yang atas, pada intinya memerintahkan kita agar kita memilih
kemadharatan yang lebih kecil daripada kita mengalami kemadharatan yang
lebih besar. Asumsinya begini: berjuang di dalam sistem kufur merupakan
suatu kemudharatan. Tetapi ketika orang-orang yang tidak berpihak pada
Islam berkuasa dalam sistem kufur ini, maka ini merupakan kemadharatan
yang lebih besar daripada kemadharatan yang pertama. Sehingga,
berdasarkan hal tersebut, mereka (orang-orang pragmatis) lalu menerapkan
kaidah syara’ di atas. Asumsinya: dengan berjuang di dalam sistem kufur
maka telah memilih kemudharatan atau kemafsadatan yang lebih kecil
daripada kemudharatan/kemafsadatan yang kedua.
Ada juga kaidah yang lain yang juga digunakan mereka (orang-orang pragmatis), yaitu sebagai berikut.
3)
Maa laa yudroku kulluhu laa yutroku jalluhu
(Apa-apa yang tidak bisa diraih semuanya jangan ditinggalkan semuanya)
Asumsi orang-orang pragmatis begini: Kita (orang Islam) ingin meraih
semua kekuasaan di negeri ini untuk diterapkan syariat Islam. Tetapi
tidak bisa, sebab dihalang-halangi orang-orang yang tidak berpihak pada
Islam. Dengan berdasarkan kaidah di atas, kita (umat Islam) jangan
meninggalkan kekuasaan semuanya, paling tidak, ada satu atau dua
kekuasaan yang bisa dipegang orang-orang yang memperjuangkan syariat
Islam.
Demikianlah. Pragmatisme politik diberi ‘lipstik’ kaidah-kaidah syara’
untuk metode ‘dakwah’ mereka. Lalu bagaimana sebenarnya mendudukkan
kaidah-kaidah di atas? Apakah benar demikian? Jika iya, berarti kaidah
itu sah (legal) untuk dijadikan alasan pragmatisme politik. Apakah
demikian?
Hakikat Dhoror
Dalam kaidah pertama dan kedua, disebutkan istilah
dhoror. Apa yang dimaksud dengan
dhoror itu? Menurut ulama ushul yang banyak membuat berbagai kaidah-kaidah syara’, yang dimaksud dengan
dhoror adalah:
Sampainya batas ketika sesuatu yang dilarang itu diperoleh, maka akan
menemui kecelakaan atau kebinasaan atau nyaris binasa. Atau bisa juga
bermakna: Suatu keterpaksaan yang sangat mendesak yang dikhawatirkan
akan menimbulkan kebinasaan atau kematian. Pemahaman ini bisa kita lihat
dalam kitab Asybah wan Nazhooir karya Imam As Suyuthi.
Cakupan
dhoror itu ada dua aspek:
pertama, memang secara jelas ditunjukkan bahayanya (baik oleh benda/perbuatan); dan yang
kedua, dikatakan
dhoror karena
ada qarinah atau indikasi yang menyertainya. Contoh pada aspek yang
pertama bisa terjadi pada benda dan perbuatan, tidak dikhususkan pada
salah satunya. Pada benda, misalnya racun. Sedangkan pada perbuatan,
misalnya seseorang yang membongkar rahasia kekuatan pasukan Islam (dalam
suatu medan jihad) ketika dirinya ditawan musuh. Keduanya sama-sama
merupakan hal yang berbahaya.
Contoh pada aspek yang kedua: mata uang dollar itu mubah, halal zatnya
(bendanya). Tetapi bisa haram memperjualbelikannya karena akan
membahayakan stablitas keuangan negara. Ada lagi, seseorang yang
memberikan informasi tentang usaha-usaha dakwah kepada orang kafir. Pada
dasarnya hukum memberikan informasi tentang aktivitas dakwah itu mubah,
tetapi tetap saja tidak dibenarkan, karena bisa menggerus dakwah Islam.
Jadi,
dhoror itu bisa menimpa diri sendiri, bisa juga menimpa orang lain. Ingat, sekali lagi batasan
dhororadalah
sampainya seseorang atau orang lain dalam kebinasaan atau kematian atau
nyaris binasa seperti kelumpuhan dan lain sebagainya.
Pertanyaannya:
Apakah kalau kaum muslimin tidak berkecimpung di politik praktis maka
akan mengakibatkan kaum muslimin di Indonesia ditimpa berbagai
dhoror?
Atau kaum muslimin di Indonesia akan binasa atau mati seluruhnya? Atau
kaum muslimin akan mengalami kondisi yang mengakibatkan diri mereka
tersiksa secara fisik hingga mengalami kelumpuhan atau kesakitan yang
luar biasa?
Jawabannya, belum pasti. Karena belum pasti, maka kaidah di atas tidak bisa diberlakukan.
Jadi, jika seseorang tidak berada dalam konteks
dhoror tersebut, maka dalam konteks seperti ini tidak ada pilihan: mana di antara keduanya yang paling ringan
dhoror-nya. Bahkan cara ini tergolong cara yang bodoh dalam menghadapi dan menyelesaikan persoalan.
Misalnya, lokaslisasi pelacuran adalah haram. Keberadaan lokalisasi pelacuran itu dilegalkan dengan alasan menghindari
dhoror yang lebih besar, yaitu terjadinya seks liar atau transasksi seks bebas. Atau melegalkan ATM Kondom dengan alasan menghindari
dhoror yang lebih besar, yaitu tersebarnya virus HIV/AIDS. Penerapan kaidah syara’ seperti ini jelas keliru,
bodoh, dan serampangan. Sebab, kedua
dhorortersebut
merupakan bentuk pelanggaran syariat, yang sebenarnya bisa dihindari
dan tidak engharuskan memilih salah satu di antara keduanya. Bahkan
menghilangkannya pun bisa.
Jadi, tidak bisa kita mengatakan: daripada dikuasai orang-orang yang
sekulernya banyak, mendingan dikuasai orang-orang yang sekulernya
sedikit. Atau: daripada virus HIV/AIDS tersebar, mendingan legalkan ATM
Kondom atau lokalisasi pelacuran. Atau yang lainnya.
Melaksanakan Kewajiban yang Sukar Dilaksanakan
Berkaitan dengan kaidah syara’ yang kedua, yaitu: jika tidak bisa diraih
semuanya, maka jangan ditinggalkan semuanya, maka jawabannya adalah
sebagai berikut.
Kaidah:
maa laa yudroku kulluhu laa yutroku jalluhu, adalah
sebuah kaidah kaidah syara’ yang memerintahkan kita melaksanakan
kewajiban, karena kewajiban itu memang wajib dilaksanakan meski
kewajiban itu memang sukar untuk dilakukan. Sehingga, apa pun yang
terjadi, kewajiban syara’ itu memang harus dilaksanakan, sekalipun
sulit. Mengapa? Sebab, sukarnya melaksanakan kewajiban tidak akan
menggugurkan kewajiban secara keseluruhan.
Menurut Imam As Suyuthi, kaidah syara’ ini digali dari hadis Rasulullah saw., “
Idzaa amartukum bi amrin fa’tu minhu mastaho’tum (Jika aku memerintahkan kepada kalian suatu urusan/perintah, tunaikanlah urusan/perintah itu sesuai dengan kemampuan kalian).”
Oleh karena itu, maksud dari kaidah syara’ tersebut adalah bahwa
kewajiban itu memang harus ditunaikan sesuai dengan kemampuan yang
dimiliki. Artinya, kita harus mengerahkan kekuatan semaksimal mungkin
untuk melaksanakan kewajiban tersebut, sekalipun sulit dilakukan.
Penerapan kaidah ini, misalnya sebagai berikut.
Misalnya kita dipenjara. Padahal waktu salat tiba. Sementara itu kita
tidak diperbolehkan keluar untuk mengambil air wudhu. Maka kondisi itu
tidak akan bisa menghapus kewajiban seseorang untuk mendirikan salat.
Sebab, tidak bisa dilakukannya wudhu atau tayamum tetap tidak bisa
menggugurkan kewajiban salat. Artinya, jika tidak bisa melaksanakan
kewajiban salat secara ideal, jangan ditinggalkan semua (kewajiban salat
itu). Tetapi, tetaplah salat, sekalipun sulit dilakukan atau dengan
kondisi yang tidak ideal.
Atau begini: ketika seseorang baru masuk Islam dan belum menguasai
bacaan-bacaan salat, dia tetap wajib salat meskipun dia harus dipandu
oleh orang, dan tetap berusaha untuk menghafalnya.
Kaidah ini tidak bisa diberlakukan pada: keterlibatan kaum muslim di
pemerintahan kufur. Sebab, masih ada kemungkinan lain untuk meraih
kekuasaan, tanpa harus terlibat di dalamnya. Yaitu meraih kekuasaan
dengan jalan umat, bukan parlemen atau melalui sistem kufur tersebut.
Jadi, konteks yang ditinggalkan bukan sistem kufurnya, tetapi cara untuk
meraih kekuasaan tersebut.
Artinya: Jika tidak bisa melaksanakan semua kewajiban syariat (secara
kaffah), jangan ditinggalkan semua kewajiban itu, sebab masih ada
kewajiban lain yang bisa ditunaikan, yaitu meraih kekuasaan dengan jalan
umat.
Dikatakan meninggalkan semuanya (meninggalkan upaya meraih kekuasaan),
jika seseorang berdiam diri dan tidak melakukan apapun. Ini dikatakan
meninggalkan semua upaya untuk meraih kekuasaan.
Jadi, maknanya bukan: karena kita tidak bisa meraih semua kekuasaan, maka harus mengambil salah satu kekuasaan.
Ini tidak benar. Sehingga penggunaan kaidah-kaidah di atas sebagai
‘dalil’ untuk memperkuat argumen pragmatisme politik, jelas sesuatu yang
serampangan.
Dalam pandangan Hizbut Tahrir, dalil syariat itu hanya ada empat, yaitu
Alquran, Sunnah, Ijma’ sahabat, dan qiyas syar’i. Sedangkan yang lain,
seperti syar’u man qablana (syariat-umat-umat terdahulu), mazhab
sahabat, ‘urf, mashalih mursalah, dan sebagainya bukanlah dalil syariat,
tetapi sesuatu yang dianggap dalil padahal bukan dalil. Apalagi kaidah
syara’, jelas itu bukan dalil. Sebab, pada dasarnya kaidah syariat
adalah setiap kadiah yang digali dari dalil-dalil syariat.
Jadi, penerapan kaidah-kaidah di atas untuk memperkuat argumen pragmatisme politik, jelas tidak tepat.
Wallahu a'lam..