Tahun
2011 segera akan berlalu. Banyak peristiwa telah terjadi. Terhadap 10
(sepuluh) peristiwa atau topik penting baik menyangkut ekonomi, politik
maupun sosial budaya di sepanjang tahun 2011, Hizbut Tahrir Indonesia
memberikan catatan.
1. RAKYAT MISKIN DI NEGARA KAYA
Di tahun 2011 ini sejumlah survei mengemukakan adanya peningkatan
nilai kekayaan orang-orang kaya di Indonesia. Majalah Forbes misalnya
pada November lalu merilis 40 daftar orang terkaya di Indonesia dengan
akumulasi kekayaan US$ 85,1 miliar. Angka tersebut naik 16% dari tahun
sebelumnya. Dengan kata lain, nilai kekayaan mereka setara dengan 11
persen total PDB Indonesia yang tahun ini diperkirakan mencapai US$752
miliar. Hebatnya, tiga orang terkaya dari daftar tersebut tersebut
memiliki total kekayaan US$32,5 miliar.
Sementara itu, Nomura, lembaga riset yang berbasis di Jepang, dalam laporannya
Indonesia: Builiding Momentum, menyebutkan jumlah kelas menengah
(middle class)
Indonesia dengan pendapatan US$3.000 pertahun naik drastis dari 1,6
juta orang pada 2004 menjadi 50 juta pada tahun 2009. Peningkatan
tersebut seiring dengan naiknya harga komoditas di pasar internasional.
Berbagai laporan lembaga lainnya juga memiliki keseimpulan yang sama
bahwa jumlah orang kaya di Indonesia beserta asetnya semakin tinggi.
Namun di sisi lain, tragisnya angka kemiskinan di negeri ini masih
sangat tinggi. Menurut BPS penduduk miskin Indonesia tahun 2011, dengan
pengeluaran kurang dari 230 ribu, mencapai 30 juta jiwa. Jika
ditambahkan dengan penduduk ‘hampir miskin’ yang pengeluarannya antara
Rp 233-280 ribu, jumlahnya meningkat menjadi 57 juta orang atau 24% dari
total penduduk Indonesia. Jumlah itu membengkak jika menggunakan
standar kemiskinan internasional yakni kurang dari US$2 perhari. Menurut
laporan Bank Dunia, pada tahun 2009, sebanyak 50,7% atau lebih dari
separuh dari penduduk negeri ini masih dalam kategori miskin (World
Bank,
World Development Indicators 2011).
Selain itu, potret rendahnya tingkat kesejahteraan penduduk Indonesia juga terlihat dari peringkat Indeks Pembangunan Manusia
(Human Development Index) yang
dikeluarkan oleh UNDP. Posisi Indonesia berada pada urutan ke-124 dari
187 negara. Posisi tersebut lebih rendah dari beberapa negara Afrika
seperti Gabon, Bostwana dan Afrika Selatan. Indeks tersebut dianggap
lebih peka memotret tingkat kesejahteraan penduduk suatu negara
dibandingkan dengan GDP. Ini karena indeks tersebut tidak hanya memotret
tingkat pendapatan penduduk, namun juga aspek kesehatan dan akses
mereka terhadap pendidikannya. Ini membuktikan bahwa meski Indonesia
masuk ke dalam anggota G-20, kelompok negara-negara yang memiliki GDP
terbesar dunia, namun tingkat kesejahteraan rakyatnya masih sangat
rendah.
Fakta di atas jelas sangat ironis mengingat Indonesia adalah negeri
yang memiliki kekayaan yang melimpah. Sekedar ilustrasi, Indonesia
adalah negara penghasil minyak terbesar ke-29 di dunia. Sementara itu
cadangan gasnya mencapai 160 TSCF (triliun
standard cubic feet)
atau terbesar ke-11 dunia. Indonesia juga kaya batu bara atau terbesar
ke-15 dunia dengan jumlah cadangan sebanya 126 miliar ton pada 2009.
Selain itu, negara ini juga kaya dengan barang tambang seperti: emas,
perak, nikel, timah, tembaga dan biji besi. Belum lagi hutan dan lautnya
yang memiliki potensi ekonomi yang sangat besar.
Sayangnya, kekayaan alam tersebut justru lebih banyak dinikmati oleh
negara lain dan segelintir investor swasta domestik. Berdasarkan data
Neraca Energi Kementerian ESDM tahun 2009,
dari 346 juta barrel minyak mentah yang diproduksi di dalam negeri, 38%
diekspor ke negara lain. Ironisnya pada saat yang sama Indonesia harus
mengimpor minyak mentah 129 juta BOE, atau 35% dari total produksi dalam
negeri. Ini karena 85 persen produksi minyak Indonesia dikuasai oleh
swasta termasuk swasta asing. Di sisi lain, rakyat terus dibuat sengsara
akibat harga minyak terus dinaikkan agar sesuai dengan harga
internasional.
Demikian pula dengan gas alam Indonesia. Sudahlah produksinya
dimopoli swasta asing, sebagian besar hasilnya justru dijual ke luar
negeri dengan kontrak-kontrak jangka panjang. Dari total produksi 459
juta BOE
(barrel of oil equivalent) pada 2009, hampir 60%
diekspor ke luar negeri yang terdiri dari gas alam (12%) dan LNG (48%).
Sisanya dibagi-bagi untuk industri (19%), PLN (10%), dan lain-lain.
Padahal dengan jumlah tersebut, kebutuhan domestik sangat tidak memadai.
Sejumlah industri menjerit-jerit kekurangan pasokan gas. Hal yang sama
dialami PLN. Akibat kekurangan gas, pembangkit listrik tenaga gas PLN
terpaksa menggunakan BBM yang biaya jauh lebih mahal. Padahal menurut
catatan PLN, jika Januari-September 2011, PLTG yang ada menggunakan gas
maka anggaran yang dapat dihemat setidaknya Rp 5 triliun.
Sumber energi lainnya seperti batubara juga sama, dimonopoli swasta.
Dengan produksi sekitar 250 juta ton, 77 persen justru diekspor ke luar
negeri. Kalaupun dijual ke dalam negeri termasuk kepada PLN, maka ia
dijual dengan harga internasional. Mahal dan langkanya sumber energi
tersebut membuat biaya listrik dan harga-harga barang menjadi lebih
mahal. Ujung-ujungnya rakyat yang menanggung akibatnya. Demikian pula
dengan barang tambang lainnya seperti emas, perak, tembaga, timah dan
nikel juga dimonopoli swasta. Sejumlah BUMN memang ikut menjamah
kekayaan tersebut namun peran mereka makin terpinggirkan. Bahkan untuk
menuntut kenaikan royalti dari perusahaan-perusahan tambang atau
memiliki sebagian sahamnya saja seperti pada kasus kepemilikan 7% saham
PT Newmont pemerintah tak berdaya. Padahal jika barang tambang tersebut
dikelola pemerintah maka kontribusi terhadap pendapatan negara akan
sangat besar. Selain tidak perlu berutang, negara ini dapat
mengalokasikan dana yang lebih besar untuk meningkatkan kesejahteraan
rakyat.
Ketimpangan pendapatan, kemiskinan yang merajalela serta penguasaan
kekayaan alam oleh segelintir orang jelas merupakan konsekuensi dari
pemberlakuan sistem kapitalisme. Dalam sistem tersebut, pertumbuhan
ekonomi yang tinggi dianggap sebagai jalan menuju kesejahteraan. Tak
peduli siapa yang menciptakan dan menikmati pertumbuhan itu. Asumsinya,
semakin tinggi pertumbuhan ekonomi yang dapat diraih oleh suatu negara,
semakin tinggi kesejahteraan yang dapat diciptakan. Di samping itu,
kebebasan atau liberalisasi ekonomi diberlakukan sebab dengan cara
demikian produktivitas dan efisiensi dapat digenjot. Pihak swasta diberi
ruang yang lebih dominan sementara peran negara diminimalkan. Doktrin
tersebut kemudian menjadi ruh berbagai peraturan perundangan di bidang
ekonomi seperti UU Penanaman Modal, UU Migas, UU Sumber Daya Air dan UU
Kelistrikan. Namun demikian, pada kenyataannya bukannya menguntungkan
rakyat banyak, peraturan-peraturan tersebut justru membuat rakyat negeri
ini makin merana sementara asing makin leluasa.
Jaminan Sosial Tanggung Jawab Siapa ?
Kesengsaraan rakyat tampaknya akan terus bertambah, apalagi setelah
DPR mensahkan UU BPJS. Melalui UU ini, yang katanya hendak
mengejawantahkan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) sesuai falsafah
gotong royong dan terutama sila kelima dari Pancasila, mewujudkan
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, pada faktanya menurut
mantan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari, yang kini menjadi anggota
Wantimpres, isinya jelas membebani rakyat karena sama saja dengan
memaksa rakyat untuk ikut asuransi.
Kesalahan mendasar dari sistem jaminan sosial yang diadopsi
Undang-undang SJSN ini adalah negara tidak boleh ikut campur tangan
dalam menangani urusan masyarakat termasuk dalam urusan ekonomi dan
pemenuhan kebutuhan sosial masyarakat seperti kesehatan, pendidikan
maupun keamanan.
Oleh karena itulah walaupun
namanya
Sistem Jaminan Sosial Nasional, tapi isinya adalah menarik iuran wajib
tiap bulan dari masyarakat tanpa pandang bulu, kaya maupun miskin. Hal
ini bisa dilihat pada Bab 5 pasal 17, ayat 1,2 dan 3 UU No. 40/2004
tentang SJSN dimana dalam Ayat 1 disebutkan bahwa tiap peserta
wajib membayar iuran yang besarnya berdasarkan % upah atas suatu jumlah nominal tertentu. Sementara Ayat 2 menyatakan pemberi kerja
wajib memungut iuran
dari pekerjanya dan menambahkan iuran yang menjadi kewajibannya dan
membayarkan ke BPJS secara berkala. Dan Ayat 3 menyatakan besarnya
iuran ditetapkan untuk setiap jenis program secara berkala sesuai dengan
perkembangan sosial ekonomi dan kebutuhan dasar hidup yang layak.
Konsep jaminan sosial seperti ini merupakan kebijakan tambal sulam
untuk menutupi kegagalan sistem kapitalis. Melalui konsep negara
kesejahteraan
(welfare state) maka
negara yang sejatinya dalam sistem kapitalis tidak boleh campur tangan langsung dalam urusan sosial kemasyarakatan, akan tetapi untuk menutupinya kerusakan tersebut negara dapat menjalankan beberapa pelayanan sosial.
Tapi jaminan sosial itu dilakukan dengan memungut dana dari
masyarakat. Rakyat diwajibkan terlibat dalam kepesertaan dengan cara
membayar iuran atau premi secara reguler kepada pelaksana jaminans
sosial dalam hal ini BPJS. Dengan demikian, pengingkaran terhadap
kewajiban tersebut bagi mereka yang dikategorikan mampu, dianggap
sebagai pelanggaran hukum. Sebagaimana halnya pajak, pemilik perusahaan
juga diwajibkan untuk menarik iuran kepada karyawannya melalui
pemotongan gaji. Demikian pula para pekerja di sektor informal seperti
petani, nelayan, buruh kasar yang dipandang tidak miskin, juga akan
dipunguti iuran. Kebijakan ini jelas akan semakin menambah kesengsaraan
rakyat, terlebih lagi kategorisasi miskin di negara ini sangat
beragam. Ada garis kemiskinan yang dikeluarkan pemerintah setiap tahun
berdasarkan survei pengeluaran rumah tangga. Adapula pula standar
kemiskinan Bank Dunia sebesar US$ 2 perhari. Selain itu, ada Survey
Rumah Tangga Sasaran Penerima Bantuan Langung Tunai (BLT) yang
menetapkan orang miskin berbeda dengan kriteria sebelumnya.
Masing-masing standar tersebut, menghasilkan jumlah orang miskin yang
berbeda. Terlebih lagi dengan standar kemiskinan baru yang ditetapkan
Standar Statistika Negara melalui Badan Pusat Statistik menetapkan
standar kemiskinan baru untuk perkotaan semakin rendah dengan
pengeluaraan sebesar Rp 7.000 per hari. Berarti angka kemiskinan akan
turun drastis dan muncul orang kaya baru karena orang yang
berpenghasilan Rp 217.000 perbulan dengan asumsi satu bulan 31 hari
tidak lagi masuk kategori miskin. Padahal banyak pekerja di negeri ini
termasuk di sektor formal sekalipun yang pendapatannya jauh di atas itu
tidak bisa memenuh kebutuhan pokok yang layak. Selain itu, akibat
tingginya inflasi yang tidak dapat dikendalikan pemerintah,
komersialisasi berbagai fasilitas publik dan perluasan pungutan pajak,
membuat biaya hidup rakyat akan semakin tinggi. Jika mereka kembali
dipaksa untuk membayar iuran jaminan sosial tersebut maka dapat
dipastikan beban hidup rakyat akan semakit berat.
Sementara itu, meski pengelolaan dana jaminan sosial bersifat
nirlaba, yakni keuntungannya dikembalikan kepada peserta, namun BPJS
memiliki independensi dalam pengelolaan dana tersebut. Dalam UU BPJS
pasal 8 (b) disebutkan bahwa BPJS berwenang untuk “
menempatkan
dana jaminan sosial untuk investasi jangka pendek dan jangka
panjang dengan mempertimbangkan aspek likuiditas, solvabilitas,
kehati-hatian, keamanan dana, dan hasil yang memadai.” Dengan
demikian, BPJS berhak untuk mengelola dan mengembangkan dana tersebut
pada berbagai kegiatan investasi yang dianggap menguntungkan. Dana
tersebut, seperti dana asuransi lainnya, dapat diinvestasikan pada
berbagai portfolio investasi seperti saham, obligasi dan deposito
perbankan.
Dana dari 250 juta rakyat Indonesia itu nanti disetor ke BPJS lalu
dikuasakan ke segelintir orang yang namanya wali amanah. Lembaga ini
sangat independen. Tidak boleh ada campur tangan pemerintah. Sangat
boleh jadi, nanti dana yang terkumpul ini akan digunakan untuk
kepentingan bisnis kelompok tertentu termasuk perusahaan asing. Padahal
dana ini dikumpulkan dari seluruh rakyat. Apalagi kalau 4 BUMN (ASABRI,
TASPEN, JAMSOSTEK, ASKES) digabungkan akan terkumpul dana lebih dari Rp
190 triliun!
Oleh karena itu, wajarlah kalau UU SJSN dan UU BPJS sebagaimana
halnya UU lain sarat dengan intervensi asing. Pembuatan UU tersebut
merupakan bagian dari paket reformasi jaminan sosial dan keuangan
pemerintah yang digagas oleh ADB pada tahun 2002, di masa pemerintahan
Megawati. Hal tersebut terungkap dalam dokumen
Asia Development Bank (ADB) tahun 2006 yang bertajuk “
Financial Governance and Social Security Reform Program (FGSSR). Dokumen tersebut antara lain disebutkan,
“Bantuan
Teknis dari ADB telah disiapkan untuk membantu mengembangkan SJSN yang
sejalan dengan sejumlah kebijakan kunci dan prioritas yang dibuat oleh
tim penyusun dan lembaga lain.” Nilai pinjaman program FGSSR ini sendiri sebesar US$ 250 juta atau Rp 2,25 triliun dengan kurs 9.000/US$.
Dalam kondisi tertentu, dana tersebut dapat pula dimanfaatkan pemerintah untuk mem-
bail-out
sektor finansial jika terjadi krisis. Pada krisis 2008 misalnya,
pemerintah Indonesia pernah memerintahkan beberapa BUMN untuk melakukan
buy-back
saham-saham di pasar modal untuk membantu mengangkat nilai IHSG yang
melorot tajam akibat penarikan modal besar-besaran oleh investor asing.
Dengan demikian, yang diuntungkan dengan pemberlakukan UU tersebut
nantinya adalah para investor dan negara-negara yang pembiayaan
anggarannya bergantung pada sektor finansial. Inilah salah satu alasan
mengapa pihak asing berambisi untuk mengegolkan UU ini.
Di sisi lain, dengan alasan agar dana yang dihimpun dapat
dimanfaatkan dalam jangka panjang, maka pembayaran klaim terhadap
peserta asuransi seperti pelayanan kesehatan, santunan kepada para
pensiunan akan bersifat minimalis. Bahkan yang lebih tragis, sebagaimana
yang terjadi di negara lain, perusahaan-perusahaan kesehatan yang
bekerjasama dengan BPJS dengan berbagai alasan, dapat meningkatkan klaim
pembiayaan kepada BPJS. Konsekuensinya, biaya iuran yang dikenakan BPJS
kepada para peserta akan ditingkatkan. Jika masih kurang, negara
dipaksa untuk memberikan dana talangan.
Bagi sebagian kalangan, Jaminan Sosial ini dipandang dapat
meningkatkan kesejahteraan masyarakat khususnya penduduk miskin. Padahal
kenyataannya tidak, karena jaminan sosial tidak dimaksudkan untuk
menjamin seluruh kebutuhan dasar rakyat. Bahkan dalam UU SJSN jaminan
tersebut hanya terbatas pada asuransi kesehatan, kecelakaan, hari tua
dan kematian. Padahal problem utama penduduk miskin adalah tidak
tercukupinya kebutuhan dasar mereka secara memadai khususnya pangan,
sandang dan papan.
Bahkan di negara-negara yang dianggap maju sekalipun, sistem jaminan
sosial, pada faktanya tidak mampu mencakup berbagai kebutuhan dasar
rakyatnya. Buktinya, mengutip data ILO, pengangguran yang menerima
jaminan sosial di negara-negara berpenghasilan tertinggi sekalipun hanya
39% dari total pengangguran yang ada. Di AS dan Kanada, pengeluaran
biaya kesehatan masyarakat yang dapat di-
cover oleh belanja pemerintah termasuk melalui jaminan sosial hanya 47%. Selebihnya masih ditanggung oleh publik (ILO, 2011).
Dalam sistem kapitalisme, pemenuhan kebutuhan dasar tersebut tidak
menjadi tanggungjawab negara. Negara yang menganut sistem tersebut
sebagaimana Indonesia, tidak memiliki metode baku dalam
mendistribusikan kekayaan kepada orang-orang yang tidak mampu. Negara
hanya berupaya agar pendapatan perkapita rakyat secara agregat mengalami
peningkatan tanpa melihat apakah masing-masing individu rakyatnya mampu
memenuhi kebutuhan dasarnya. Dengan demikian pemenuhan kebutuhan
pangan, sandang dan papan tetap menjadi tanggungjawab rakyatnya sendiri.
Memang di negara-negara kapitalisme, negara kadangkala melakukan
intervensi dalam bentuk subsidi. Namun demikian berbagai subsidi
tersebut tidak dimaksudkan untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar
seluruh rakyatnya. Di Indonesia misalnya, ada program penjualan beras
miskin (raskin), Jamkesmas dan bantuan biaya pendidikan sebesar 20% dari
APBN. Namun, tetap saja jumlah dan cakupannya sangat terbatas sehingga
tidak mampu menjangkau seluruh penduduk yang terkategori miskin.
Penyebab utama dari masalah ini adalah kelemahan kapitalisme dalam
mendistribusikan kekayakan di tengah-tengah masyarakat. Fokus utama dari
sistem ekonomi kapitalisi adalah pertumbuhan. Semakin tinggi
pertumbuhan ekonomi yang dapat dicapai, semakin tinggi kesejahteraan
yang dapat dicapai. Namun faktanya, kekayaan yang dihasilkan dari
pertumbuhan tersebut hanya dinikmati oleh mereka yang unggul dalam
kegiatan ekonomi khususnya para pemodal. Sementara mereka yang tersisih
dari kegiatan ekonomi, seperti orang jompo, orang cacat, pengangguran,
tetap tidak dapat menikmati kekayaan tersebut.
Para pemikir dan pengambil kebijakan di negara-negara kapitalisme
bukan tidak menyadari hal tersebut. Berbagai cara ditempuh untuk
menambal ‘lubang besar’ sistem ini, termasuk pemberian subsidi dan
program jaminan sosial. Namun kenyataannya, masalah tersebut tidak juga
dapat terselesaikan. Kemiskinan, pengangguran, disparitas pendapatan
yang tinggi, malnutrisi, akses kesehatan yang mahal tetap menjadi
masalah yang tak dapat dipecahkan oleh sistem ini.
Dalam Islam, jaminan kebutuhan dasar yaitu jaminan pemenuhan
kebutuhan pokok individu seperti sandang, pangan dan papan maupun
kebutuhan pokok berupa kesehatan, pendidikan dan juga keamanan menjadi
tanggung jawab Negara.
Secara praktis, hal ini telah dilaksanakan oleh Nabi Muhammad SAW dan
para khalifah sesudahnya. Bukan hanya ketika masih hidup, setelah
seseorang meninggalpun jaminan itu masih berlaku. Nabi SAW bersabda :
«فَأَيُّمَا مُؤْمِنٍ مَاتَ وَتَرَكَ مَالاً فَلْيَرِثْهُ ، وَمَنْ تَرَكَ دَيْناً أَوْضَيَاعًا فَلْيَأْتِنِي فَأَنَا مَوْلاَهُ»
Barang siapa yang mati dan meninggalkan harta maka harta tersebut
untuk ahli warisnya akan tetapi barang siapa yang mati dan dia
meninggalkan utang atau orang-orang lemah maka datanglah kepadaku karena
Akulah yang bertanggungjawab untuk mengurusnya.
2. KORUPSI MAKIN MENJADI-JADI
Bukan hanya tanaman, korupsi juga tumbuh subur di Indonesia.
Keberadaan lembaga ‘super body’ Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun
seperti tak mampu menyelesaikan persoalan akut ini. Kepolisian dan
kejaksaan pun setali tiga uang. Meski ada kasus-kasus yang mencuat ke
publik dan sempat ditangani secara hukum, itu hanyalah sebagian kecil
dari mega korupsi yang telah terlanjur menggurita.
Dan pemberantasan korupsi tampak berjalan di tempat. Tidak ada efek
yang signifikan dari berbagai penanganan yang sudah dilakukan. Tak
mengherankan jika nilai Indonesia dalam pemberantasan korupsi masih di
bawah 5 dari rentang skor nol sampai 10 berdasarkan
Corruption Perceptions Index
(CPI) terhadap 183 negara yang diumumkan oleh Transparency
International pada bulan Desember 2011. Indeks terakhir ini menunjukkan
kenaikan 0,2 dibandingkan tahun lalu. Artinya tidak ada perubahan
signifikan.
Menurut Transparency International Indonesia, skor Indonesia dalam
CPI adalah 3,0, bersama 11 negara lainnya. Negara-negara tersebut adalah
Argentina, Benin, Burkina Faso, Djibouti, Gabon, Madagaskar, Malawi,
Meksiko, Sao Tome & Principe, Suriname, dan Tanzania. Dua belas
negara itu menempati posisi ke-100 dari 183 negara yang diukur
indeksnya. Di kawasan ASEAN, skor Indonesia di bawah Singapura, Brunei,
Malaysia, dan Thailand. Tapi Indonesia unggul atas Vietnam, Kamboja,
Laos, dan Myanmar.
Sepanjang 10 tahun menjadi obyek survei Transparancy International,
pemberantasan korupsi tidak menunjukkan perubahan yang berarti. Total
peningkatan skor hanya 0,8. Saat ini misalnya, masyarakat hanya disuguhi
kabar pemberantasan korupsi kelas teri. Sementara kasus korupsi kelas
kakap seperti BlBI atau skandal Bank Century, jauh dari harapan. Banyak
yang menguap.
Tak salah pula jika ada yang mengatakan bahwa korupsi seperti virus
yang telah menjamah seluruh bagian negeri ini. Hasil survei KPK yang
dipublikasikan akhir November 2011 mengungkapkan Kementerian Agama
menduduki peringkat terbawah dalam indeks integritas dari 22 instansi
pusat yang diteliti. Peringkat terburuk selanjutnya adalah Kementerian
Tenaga Kerja dan Transmigrasi serta Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil
Menengah.
Nilai ketiga kementerian tersebut jauh di bawah standar integritas
pusat yang mencapai 7,07. Angka indeks integritas pusat (IIP)
Kementerian Agama hanya 5,37, Kemenakertrans 5,44, serta Kementerian
Koperasi dan UKM 5,52. Rendahnya angka indeks integritas itu menunjukkan
bahwa masih banyak praktik suap dan gratifikasi dalam pelayanan publik
di lembaga pemerintah.
Temuan Transparancy International tersebut mengukuhkan apa yang
sebenarnya terjadi di tengah masyarakat. Partai politik dan legislatif
sebagai lembaga yang pernah dicap sebagai lembaga terkorup ternyata tak
melakukan pembenahan. Malah mereka memanfaatkan kedudukannya untuk
mengeruk uang negara.
Kasus paling menghebohkan tahun 2011 adalah korupsi Wisma Atlet SEA
Games di Palembang, Sumatera Selatan. Tak tanggung-tanggung, kasus ini
melibatkan pejabat teras Partai Demokrat-partai pengusung dan ‘milik’
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Bendahara Umum Partai Demokrat M
Nazaruddin terlibat di dalamnya. Ia sempat melarikan diri ke luar negeri
selama tiga bulan sebelum akhirnya ditangkap di Kolombia.
Nazaruddin dalam pelariannya mengungkap bahwa apa yang dilakukannya
sebenarnya adalah perintah dari Ketua Umum Partai Demokrat Anas
Urbaningrum. Selain itu, dana hasil korupsi ini dibagi-bagi kepada
anggota DPR. Ia menyebut keterlibatan anggota DPR Angelina Sondakh, I
Wayan Koster, dan Mirwan Amir.
Tiga anggota DPR ini hingga akhir 2011 ini belum ditetapkan sebagai
terdakwa. Yang diseret ke meja hijau baru M Nazaruddin, Sesmenpora Wafid
Muharam, Manajer Marketing PT Duta Graha Indah (DGI), Muhammad El
Idris, dan Manajer Marketing PT Anak Negeri Mindo Rosalina Manulang.
Menteri Pemuda dan Olahraga, Andi Mallarangeng, yang disebut juga oleh
Nazaruddin masih aman. Dalam sidang perdana
Muhammad El Idris, terungkap Nazaruddin mendapat jatah uang sebesar Rp 4,34 miliar.
Namun dalam pelariannya Nazaruddin mengatakan bahwa uang hasil
korupsi itu masuk ke Partai Demokrat, langsung ke tangan Anas. Jumlahnya
jauh dari yang terungkap di pengadilan. Miliaran rupiah itu mengalir ke
Partai Demokrat. Termasuk ke kongres partai itu di Bandung, Jawa Barat
tahun 2010.
Ternyata, korupsi Nazaruddin memang jauh lebih besar lagi.
Ketua KPK Busyro Muqaddas mengungkapkan ada 35 kasus yang menjerat
Bendahara Umum Partai Demokrat yang sudah dipecat itu. Total
nilai semua kasus itu adalah Rp 6,037 triliun. Namun, hingga akhir
tahun 2011, tak ada lagi kabar tentang penanganan kasus perampokan uang
rakyat itu.
Di tengah penanganan kasus Nazaruddin, tiba-tiba mencuat kasus suap
di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans). Tiga
orang ditangkap KPK. Mereka adalah Dharnawati (pengusaha swasta), Danong
Irbarelawan (Kabag Perencanaan dan Evaluasi di Kemenakertrans) dan I
Nyoman Suwisma (Sesditjen Pembinaan Pembangunan Kawasan
Transmigrasi/P2KT).
Dhanawati tertangkap tangan sedang menyerahkan uang suap senilai Rp
1,5 miliar yang terbungkus kardus durian sesaat sebelum Lebaran tiba. Di
persidangan terungkap uang Rp 1,5 miliar itu merupakan bagian dari
commitment fee
senilai Rp 7,3 miliar yang harus disetor ke Menakertrans. Uang itu
untuk memuluskan proyek percepatan pembangunan infrastruktur di daerah
bidang transmigrasi di 19 kabupaten di seluruh Indonesia. Nilai dana
pembangunan itu Rp 500 miliar.
Kasus ini pun menyeret Badan Anggaran DPR. Wakil rakyat itu diduga
terlibat langsung dalam pengaturan proyek-proyek pemerintah. Bahkan
anggota DPR Wa Ode Nurhayati menyebut bahwa badan tersebut mengutip 6-7
persen dari proyek-proyek di daerah.
Sayangnya, KPK tidak kunjung segera menyeret pihak-pihak yang
dianggap ikut menikmati dana haram tersebut, baik itu wakil rakyat
hingga Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi serta orang-orang di
sekeliling menteri.
Tidak hanya kalangan eksekutif dan legislatif, korupsi telah menjalar
pula ke kalangan yudikatif. Selama tahun 2011 tercatat beberapa hakim
dan jaksa yang ditangkap KPK. Hakim terakhir yang ditangkap adalah Hakim
ad hock Pengadilan Hubungan Industri (PHI) Bandung, Imas
Dianasari. Ia diancam hukuman 20 tahun penjara karena menerima suap
total Rp352 juta dari Manager HRD PT Onamba Indonesia, Odih Juanda.
Sedangkan jaksa yang tertangkap di November 2011 adalah Sistoyo dari
Kejaksaan Negeri Cibinong, Jawa Barat. Menurut KPK, ia menerima suap
senilai Rp 99,9 juta.
Sementara itu, penegak hukum terlihat tak berani menangani kasus
korupsi kelas kakap dan menyerempet orang-orang penting di kekuasaan.
Kasus korupsi Rp 6,7 triliun Century tak ada perkembangan. Demikian juga
kasus yang melibatkan istri petinggi PKS Adang Darajatun, Nunun
Nurbaeti. Sosialita ini kabur ke luar negeri hingga kini.
Di sisi lain, banyak koruptor yang diadili di pengadilan tindak
pidana korupsi daerah yang bebas. Sedangkan para koruptor yang terjerat
hukum pun, sejauh ini mendapat hukuman yang tergolong ringan. Hampir
semuanya dihukum penjara di bawah lima tahun. Itu pun mereka mendapatkan
remisi (pengurangan) hukuman dan perlakuan khusus saat di penjara.
Sempat pemerintah di bawah Menteri Kehakiman dan HAM Amir Syamsudin
mengeluarkan moratorium terhadap remisi para koruptor, tapi begitu
dikecam oleh partai politik, kebijakan itu direvisi kembali. Kebijakan
ini jelas tidak akan menjerakan orang untuk berbuat korupsi dan malah
bisa menyuburkan korupsi itu sendiri. Tak heran jika korupsi menggurita
di mana-mana. Tak salah bila koran Singapura, The Strait Times, pernah
menjuluki Indonesia sebagai The Anvelope Country.
3. SEA GAMES DAN PENGHAMBURAN UANG RAKYAT
Indonesia baru saja usai menjadi tuan rumah pesta olahraga Asia
Tenggara (SEA Games) XXVI pada 11 - 22 November lalu. Di tengah
kesulitan ekonomi yang melanda rakyat, pemerintah tetap saja menggelar
acara itu secara spektakuler. Tidak hanya dari sisi pelaksanaan, tapi
juga dari sisi infrastruktur. Tak mengherankan jika pesta olahraga 2
tahunan ini terasa lain karena menghabiskan banyak biaya.
Lebih dari Rp 3 triliun total dana yang dihabiskan untuk
penyelenggaraan Sea Games lalu. Dana sebesar itu didapat dari APBN 2010
Rp 350 miliar rupiah dan dari APBN 2011 senilai Rp 2,1 triliun. Itu pun
belum cukup sehingga pemerintah menambah lagi Rp 1 triliun dari APBN
termasuk Rp 600 miliar dari anggaran untuk sektor pendidikan dan
sumbangan dana dari sponsor.
Dana itu digunakan untuk membangun sarana-sarana olah raga yang baru.
Pembangunan Jaka Baring Sport Center saja membutuhkan dana lebih dari
Rp 3 triliun rupiah. Itu untuk membangun venues olahraga beserta
fasilitas pendukung, seperti jalan, jembatan, saluran, pintu-pintu air.
Sementara pembukaan dan penutupan menelan dana sekitar Rp 150 miliar.
Tampak ada keinginan yang kuat dari pemerintah untuk meningkatkan
citra Indonesia di kawasan Asia Tenggara. Pembukaan dan penutupan dibuat
sespektakuler mungkin dengan mendatangkan para ahli dari luar negeri
agar acaranya mirip dengan pembukaan Olimpiade Beijing, China.
Bagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, SEA Games ini sangat
membanggakan. Apalagi setelah Indonesia bisa menjadi juara umum. Ini
kali pertama Indonesia juara umum setelah yang terakhir tahun 1997.
Indonesia meraih 182 medali emas, 153 perak, 142 perunggu. Diikuti
Thailand 108 emas, dan Vietnam 96 emas. Hasil ini lebih baik dibanding
pada SEA Games sebelumnya di Vientiene, Laos. Saat itu, Indonesia hanya
sampai peringkat ketiga.
Sebagai bentuk penghargaan kepada para atlet yang dianggap
mengharumkan nama bangsa, pemerintah memberikan bonus sebesar Rp 200
juta per keping emas. Demikian pula bagi peraih perak dan perunggu,
mereka pun mendapatkan bonus kendati lebih kecil. Totalnya menghabiskan
biaya lebih dari Rp 350 miliar.
Penghamburan uang rakyat itu terasa sangat menyesakkan rasa keadilan
masyarakat. Banyak masyarakat yang terlunta-lunta kehidupannya tapi
tidak pernah diurus karena dianggap tidak memberikan jasa kepada negara.
Padahal banyak hal yang diberikan/dilakukan masyarakat secara langsung
dalam membantu mengatasi persoalan di tengah masyarakat.
Peraihan prestasi para atlet olahraga sesungguhnya tak berdampak
kepada kemajuan bangsa. Kalaupun memperoleh kehormatan, itu sifatnya
sangat pribadi dan temporer. Paling banter yang menikmati ‘pujian’ itu
adalah atlet itu sendiri dan pemerintah yang sedang berkuasa. Pengalaman
negara Uni Sovyet yang sering menjadi juara umum dalam olimpiade
internasional menunjukkan hal itu. Moncernya prestasi olahraga tak
berpengaruh apa-apa. Negara itu tetap saja runtuh, dan olahraga tak
mampu menopangnya.
Belum lagi dampak perhelatan olahraga ini memunculkan hal-hal negatif
di tengah masyarakat. Olahraga senantiasa diiringi dengan perilaku seks
bebas. Makanya, Komisi Penanggulangan AIDS Palembang sempat akan
memasang ATM kondom di hampir 200 pojok kota. Dampak lainnya, masyarakat
kecil dikorbankan kehidupannya/pencahariannya untuk menghormati pesta
tersebut. Dan yang paling menghebohkan, dana besar itu menjadi bancakan
para koruptor. Mereka merampok uang rakyat itu atas nama pembangunan
sarana olahraga.
4. GEJOLAK PAPUA DAN KISRUH FREEPORT
Sepanjang tahun 2011 bumi Papua terus bergejolak. Sebagiannya
merupakan kelanjutan dari gejolak yang sudah lama berlangsung di sana.
Berbagai gejolak di Papua sepanjang tahun 2011 itu dapat dikelompokkan
menjadi empat:
Pertama, yang bisa dikatakan
sebagai fenomena baru, yakni gejolak yang terkait dengan perebutan
kekuasaan dalam Pilkada. Misalnya, pada 31 Juli lalu terjadi konflik
antar warga terkait pilkada di kawasan Ilaga, Kabupaten Puncak Jaya.
Akibatnya, 20 orang tewas.
Kedua, konflik terkait PT Freeport
Indonesia (PTFI). Pada pertengahan bulan Maret 2011 terjadi aksi
pemogokan oleh para karyawan PTFI. Mereka menuntut kenaikan upah.
Menejemen PTFI menolak tuntutan para karyawan tersebut. Akibatnya, aksi
mogok karyawan makin membesar dan meluas, hingga akhirnya para karyawan
memblokade jalan masuk ke PTFI. Suasana tambah panas setelah pada 10
Oktober terjadi bentrok polisi dengan karyawan di daerah Gorong-Gorong
Kelurahan Koperapoka, Distrik Mimika Baru dan mengakibatkan dua orang
korban tewas (satu karyawan dan satu orang anggota Brimob) serta 8 orang
lainnya terluka. Hingga kini masalah ini belum tuntas. Entah
kebetulan atau tidak, semua itu terjadi disaat pemerintah berusaha
melakukan renegosiasi dengan PTFI dimana pemerintah meminta PTFI
menaikkan pembayaran royalti PTFI agar sesuai ketentuan PP No 45/2003,
yaitu royalti emas 3,75 persen, tembaga 4 persen, dan perak 3,25 persen.
Saat ini, royalti yang diterima negara dari PTFI untuk emas 1 %, untuk
tembaga 1,5% (jika harga kurang dari US$ 0.9/pound) sampai 3.5% (jika
harga US$ 1.1/pound) dan untuk perak 1,25 %. PTFI menolak permintaan
pemerintah itu.
Ketiga, terjadinya berbagai kasus
penembakan yang menyasar karyawan PTFI, karyawan kontraktor PTFI,
pendulang emas, masyarakat umum dan aparat baik kepolisian maupun TNI.
Menurut data Kontras, sejak Juli 2009 hingga November 2011, telah
terjadi 26 kali penembakan di Papua. Rinciannya, pada 2009 terjadi 12
penembakan, 2010 terjadi satu penembakan, dan pada 2011 terjadi 13 kali
penembakan. Dari jumlah itu sejak Oktober 2011 terjadi 11 kali
penembakan dengan korban jiwa 9 orang, yaitu tujuh orang karyawan
Freeport dan dua orang pendulang emas.
Kasus penembakan paling akhir terjadi pada 18 November di Mil 51.
Tidak ada korban. Lalu 20 November di Mil 51 terjadi lagi penembakan
yang menewaskan Fery William Sanyakit (50) dan melukai dua orang polisi,
dan pada 22 November di Mil 51-52 yang melukai sopir bus PT KPI Abu
Bakar Shidiq dan praka Tekad. Sejak juli 2009 terhitung ada 12 orang
tewas dan 46 terluka karena rangkaian penembakan itu. Namun dari semua
itu belum ada satupun pelaku yang ditangkap.
Keempat, gejolak terkait upaya memerdekakan
Papua dari NKRI. Upaya itu dilakukan melalui tiga elemen yang bermain
dalam satu tujuan yang sama dan berbagi tugas.
Pertama, elemen gerakan bersenjata yaitu TPN/OPM (Tentara
Pembebasan Nasional/Organisasi Papua Merdeka). Selama ini TPN OPM
inilah yang melakukan berbagai penyerangan dan kontak senjata di Papua,
termasuk beberapa penyerangan pada akhir-akhir ini seperti yang diakui
oleh OPM sendiri. Pada Juli 2011, 16 orang yang diduga OPM melakukan
penyerangan di wilayah Paniai. Mereka melarang pembangunan menara
televisi Papua. Terjadi lah baku tembak dengan polisi. Juga penyerangan
di wilayah Nafri pada 1 Agustus. Sebuah mobil diserang oleh sejumlah
orang dengan senjata tajam dan senjata api yang mengakibatkan empat
orang tewas, tiga luka berat dan dua luka ringan.
Kedua, elemen diplomatik di luar negeri terutama dua organisasi yaitu ILWP (
International Lawyer for West Papua) dan IPWP (
International Parliament for West Papua).
Keduanya bermarkas di Eropa (Inggris) dan diinisiasi serta dimotori
oleh organisasi yang dipimpin oleh Beny Wenda, yaitu FWPC (
Free West Papua Campaign).
ILWP dan IPWP inilah yang diberi mandat TPN/OPM dan didukung oleh KNPB
untuk memperjuangkan kemerdekaan Papua melalui internasionalisasi
masalah Papua dan mendorong PBB untuk membahasnya baik dalam Majelis
Umum atau dalam Komite Kolonialisasi.
ILWP pada 1 Agustus 2011 mengadakan konferensi untuk mengangkat
masalah kemerdekaan Papua di tingkat Internasional. Konferensi itu
diselenggarakan di East School of the Examination Schools, 75-81 High
Street, Oxford dengan tema: “
West Papua? The Road to Freedom“. Pembicaranya antara lain: John Saltford, akademisi Inggris pengarang buku “
Autonomy of Betrayal“,
Benny Wenda pemimpin FWPC yang tinggal di Inggris, Ralph Regenvaru,
Menteri Kehakiman Vanuatu, Clement Ronawery saksi Penentuan Pendapat
Rakyat tahun 1969 dan Frances Raday anggota ahli Komite PBB untuk
Pengurangan Diskriminasi terhadap Perempuan; dan dua pembicara dari
Papua melalui video-link yaitu Dr. Benny Giay dan Pendeta Sofyan Yoman.
Ketiga, elemen politik dalam negeri baik LSM-LSM atau
organisasi yang menguatkan tuntutan referendum baik melalui berbagai
demonstrasi, seminar atau aktifitas lainnya. Diantaranya adalah aksi
demontrasi pada 1 Agustus 2011 yang dimotori oleh KNPB (Komita Nasional
Papua Barat) di Jayapura, Nabire, Timika dan Manokwari guna mendukung
kemerdekaan Papua dan dimaksudkan sebagai dukungan terhadap konferensi
yang dilakukan di London oleh ILWP.
Pada 19 Oktober di gelar Kongres Rakyat Papua (KRP) III di Lapangan
Zakeus, Padang Bulan, Abepura, Kota Jayapura. KRP III itu digagas oleh
Kepemimpinan Kolektif Nasional Bangsa Papua Barat (KKNPB) beserta
organisasi-organisasi di bawahnya, antara lain Presidium Dewan Papua,
Yepena (
Youth Papua National Authority), West Papua National
for Leader Nation, dan Bintang 14 Melanesia Barat. KRP III diakhiri
dengan pendeklarasian berdirinya Negara Federasi Papua Barat oleh
Forkorus Yoboisembut, dengan Kepala Negera adalah Forkorus Yaboisembut
sendiri dan Edison Waromi sebagai Perdana Menteri. KRP III ini akhirnya
dibubarkan secara paksa oleh aparat kepolisian dan TNI hingga menewaskan
enam orang.
Aksi paling akhir adalah aksi di Manokwari, Papua Barat, pada Kamis
(17/11) yang dimotori oleh Komite Nasional Papua Barat (KNPB) dan Dewan
Rakyat Papua. Aksi itu menyerukan pemisahan Papua dari Indonesia dan
membawa petisi berisi pernyataan rakyat. Tokoh masyarakat dan gereja
Papua Barat, ML Wanma, mengatakan isi petisi itu antara lain mempertegas
pernyataan kemerdekaan Papua (BBC, 17/11/2011).
Masalah di Papua itu menarik perhatian AS. Sebab kepentingan
nasional AS memang terkait dengan Papua. Masalah Papua itu setidaknya
disinggung tiga kali oleh pejabat tinggi AS. Menhan AS Leon Panetta
dalam kunjungan kehormatan kepada Presiden SBY di Nusa Dua, Bali, Senin
(24/10/2011) menyinggung masalah Papua. Berikutnya, menjelang kunjungan
Obama, menlu AS Hillary Clinton angkat suara mengenai konflik di Papua.
Hillary menyampaikan kekhawatiran akan kondisi HAM di Papua. Ia
menyerukan adanya dialog untuk memenuhi aspirasi rakyat di wilayah
konflik tersebut (AFP, 11/11). Dan Obama sendiri dalam pembicaraannya
dengan Presiden SBY di Bali juga menyinggung masalah Papua.
Terkait masalah di Papua, menurut studi yang dilakukan LIPI ada 4 akar masalah di Papua.
Pertama, masalah sejarah dan status politik integrasi Papua ke Indonesia yang bagi sebagian orang Papua dianggap belum benar.
Kedua,
masalah operasi militer yang berlangsung sejak tahun 1965 menimbulkan
trauma dan luka kolektif di masyarakat Papua tentang kekerasan negara
dan pelanggaran HAM.
Ketiga, deskriminasi dan marjinalisasi masyarakat Papua oleh berbagai kebijakan yang dibuat Pemerintah.
Keempat, kegagalan pembangunan Papua, khususnya pendidikan, kesehatan, dan ekonomi (Vivanews.com, 15/11).
Persoalan di Papua makin bertambah kerus setelah upaya Pemerintah
Indonesia untuk mengubah isi kontrak karya dengan dua perusahaan tambang
raksasa, PT Freeport Indonesia dan PT Newmont Nusa Tenggara, menemui
jalan buntu. Kedua perusahaan raksasa asal Amerika Serikat itu menolak
mentah-mentah usul perubahan terhadap empat hal yang selama ini dianggap
merugikan pemerintah Indonesia. Yakni luas wilayah kerja, perpanjangan
kontrak, penerimaan negara atau royalti, dan kewajiban pengolahan dan
pemurnian (Indopos, 6 Oktober 2011).
Khusus mengenai royalti, pemerintah Indonesia ingin menaikkan royalti
emas di angka 3,75 %, tembaga 4 %, dan perak 3,25 % sesuai ketentuan PP
No 45/2003. Saat ini, royalti yang diterima pemerintah dari Freeport
hanya di kisaran 1 % untuk emas, 1,5-3,5 % untuk tembaga dan 1,25 %
untuk perak. Akibat kecilnya royalti, pendapatan pemerintah sangat kecil
dibandingkan dengan pendapatan yang diperoleh PT Freeport tiap tahun
yang sangat besar (lihat tabel dibawah). Selama 5 tahun saja dari tahun
2004 -2008 pendapatan yang diperoleh Freeport sebesar 19.893 milyar US$
atau setara Rp 198 triliun. Sementara yang diterima pemerintah Indonesia
dalam bentuk pajak dan royalti hanya sekitar Rp 41 triliun selama 5
tahun itu. Tapi PTFI menolak ajuan pemerintah tersebut.
Produksi dan Pendapatan PT Freeport Tahun 2004-2008
Tahun |
Produksi |
Pendapatan |
GP |
Pajak |
Royalti |
Emas (RibuOns) |
Tembaga (Juta tons) |
Juta US$ |
Juta US$ |
Juta US$ |
Juta US$ |
2004 |
1.456,20 |
996,5 |
1.980 |
804 |
266.4 |
43,5 |
2005 |
2.789,40 |
1.445,90 |
4.012 |
2380 |
781 |
103,7 |
2006 |
1.732 |
1.201 |
4883 |
2929 |
950 |
126 |
2007 |
2.198 |
1.151 |
5315 |
3234 |
1326 |
133 |
2008 |
1.163 |
1.094 |
3703 |
1415 |
612 |
113 |
|
9.338,60 |
5.888,40 |
19.893,00 |
10.762,00 |
3.669,00 |
519,20 |
Sumber: Eramuslim (2010)
Protes juga dilakukan oleh ribuan karyawan PT Freeport yang menuntut
kenaikan gaji. Sejak Kamis 15 September 2011 lalu, ribuan karyawan PT
Freeport masih melakukan aksi mogok kerja. Mereka menuntut peningkatan
kesejahteraan dan upah yang sebanding dengan risiko kerja yang sangat
tinggi. Menurut para karyawan, apa yang mereka peroleh jauh dari
memadai. Bahkan, dari seluruh perusahaan tambang di dunia, gaji karyawan
Freeport Indonesia yang paling rendah dan jauh dari standar bahkan bila
dibandingkan dengan gaji karyawan Frreport di negara lain padahal
tingkat risiko kerja sangat tinggi, yakni bekerja di ketinggian 4.200
meter, berkabut, curah hujan tinggi, suhu dingin yang sangat ekstrem.
Sebagai perbandingan, tahun 2006 gaji pekerja tambang di Amerika Utara
US$ 10-70 per jam, Amerika Selatan US$ 10-100 per jam dan Indonesia
hanya US$ 0,98 - 2 per jam. Tahun 2010 gaji pekerja tambang di Amerika
Utara mencapai rata-rata US$ 66,432 per jam sedangkan Indonesia hanya
US$ 4,421-7,356 perjam.
Diskriminasi bukan hanya terjadi antara gaji karyawan PTFI di
Indonesia dan di negara lain, tapi di PTFI Indonesia sendiri terjadi
diskriminasi yang mencolok antara karyawan Indonesia dan asing. Di PTFI
ini, karyawan lokal hanya dihargai bekerja dengan nominal Rp 30 ribu-50
ribu per jam, padahal karyawan asing (ekspatriat) di level sama
rata-rata satu jam dibayar Rp 3 juta. (sumber: Batavia.com)
Akan tetapi baik tuntutan pemerintah maupun buruh tidak mendapat respon yang signifikan dari PT Freeport.
Bila diperhatikan, munculnya masalah Freeport ini baik tuntutan
pemerintah maupun tuntutan buruh sebenarnya disebabkan oleh 3 hal yang
saling terkait, yaitu kontrak karya yang bermasalah, tekanan asing serta
kebijakan ekonomi yang semakin liberal. Masalah kontrak karya, sejak
Kontrak Karya (KK) I yang ditandatangani Soeharto sebagai Ketua Presidum
Kabinet pada tanggal 7 April 1967 dan berlaku untuk Kuasa Pertambangan
(KP) selama 30 tahun, isinya memang sangat merugikan negara. Freeport
mendapatkan berbagai keistimewaan sebagai perusahaan asing yang
beroperasi di Indonesia tetapi tidak terdaftar di Indonesia dan tidak
tunduk dengan hukum Indonesia, mendapatkan
tax holiday setelah
tiga tahun berproduksi dan tanpa membayar royalti sampai tahun 1984
serta keistimewaann lainnya. Ketika KK I berakhir, Freeport memperoleh
kembali KK II selama 30 tahun sampai tahun 2021, bahkan bisa
diperpanjang sampai tahun 2042 dengan kepemilikan saham tidak banyak
berubah, yakni 81, 21 % dikuasai Freeport, 9,36 % milik pemerintah dan
9,36 % milik Indocooper Investama - sebuah perusahaan swasta lokal.
Keistimewaan dalam dalam KK ini diperoleh lewat
tekanan asing dan
kebijakan ekonomi neoliberal. Tekanan asing dilakukan oleh pemerintah AS yang dianggap “
berjasa besar”
kepada pemerintah Soeharto dalam penumpasan G30S/PKI. Utang budi inilah
yang digunakan sebagai “senjata” Freeport dan pemerintah AS untuk
menekan Indonesia menerima begitu saja permohonan KP yang sangat
merugikan itu. Sementara
kebijakan neoliberal
sangat tampak baik pada KK I maupun KK II dimana esensinya tidak lain
adalah menyerahkan pengelolaan tambang ini ke perusahaan swasta (asing).
Bahkan anehnya, ketika KK II dilakukan, Pemerintah yang ditawari untuk
memperbesar sahamnya menyatakan tidak berminat, dan justru menyerahkan
opsi saham itu kepada swasta lokal, yakni Aburizal Bakrie (Bakrie Grup)
yang membeli sekitar 10 % saham.
Ketiga sumber masalah Freeport tersebut diatas, yaitu kontrak karya
yang bermasalah, tekanan asing serta kebijakan ekonomi neoliberal,
tidak akan terjadi andai kebijakan pengelolaan sumber daya alam di
negeri ini dilakukan berdasarkan syariat Islam. Dalam pandangan syariat
Islam pengelolaan kekayaan alam seperti tambang Freeport dan tambang
lainnya diatur sebagai berikut:
Pertama, dari segi kepemilikan. Tambang tembaga, emas dan
sumber-sumber mineral dan tambang lainnya yang memiliki deposit yang
sangat besar dikategorikan sebagai milik umum (
milkiyyah ‘âmmah). Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abyadh bin Hamal al-Mazany dinyatakan bahwa:
أَنَّهُ وَفَدَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَقْطَعَهُ المِْلْحَ فَقَطَعَهُ فَلَمَّا وَلَّى
قَاَل رَجُلٌ: أَتَدْرِيْ مَا أَقْطَعْتَهُ لَهُ؟ إِنَّمَا أَقْطَعْتَ لَهُ
الْمَاءَ الْعِدَّ. قَالَ: فَرَجَعَهُ مِنْهُ
Bahwa ia datang kepada Rasulullah saw meminta (tambang) garam, maka
beliau pun memberikannya. Setelah ia pergi ada seorang laki-laki yang
bertanya kepada beliau, “
Wahai Rasulullah, tahukah apa yang engkau
berikan kepadanya? Sesungguhnya engkau telah memberikan sesuatu yang
bagaikan air mengalir. Lalu ia berkata: Kemudian Rasulullah saw pun
manarik kembali tambang itu darinya” (HR Abu Dawud).
Dalam hadits ini Rasulullah saw meminta kembali tambang garam yang
telah diberikan kepada Abyadh bin Hamal setelah beliau tahu bahwa
tambang garam itu depositnya sangat banyak. Ini menunjukkan bahwa
‘illah
(sebab disyariahkannya suatu hukum) dari larangan tambang itu dimiliki
secara pribadi adalah karena jumlahnya yang sangat banyak. Maka larangan
tersebut tidak terbatas pada tambang garam saja. Cakupannya bersifat
umum, meliputi semua barang tambang apa pun jenisnya yang depositnya
melimpah laksana air mengalir.
Semua barang tambang seperti itu menjadi milik umum sehingga tidak
boleh dimiliki oleh atau diberikan kepada seseorang atau beberapa orang.
Juga tidak boleh diberikan keistimewaan kepada seseorang atau lembaga
tertentu untuk mengeksploitasinya. Wajib ditetapkan sebagai milik umum
atau milik masyarakat.
Kedua, pengelolaan barang milik umum tersebut sepenuhnya
dilakukan oleh pemerintah sebagai wakil rakyat dimana hasilnya harus
dipergunakan untuk kemaslahatan seluruh rakyatnya. Jika dalam proses
eksplorasi dan eksploitasinya membutuhkan bantuan pihak swasta, maka
posisi mereka hanyalah sebatas pekerja (ajir) dengan kompensasi
tertentu. Dengan demikian pemerintah tidak diboleh melakukan perjanjian
dengan pihak swasta dalam pembagian kepemilikan saham dari aset milik
umum itu.
Negara wajib melindungi milik umum. Negara harus mencegah individu
atau perusahaan swasta memiliki aset-aset yang termasuk milik umum. Jika
ada individu atau swasta yang sudah terlanjur menguasainya seperti
dalam kasus Freepoort saat ini, maka yang harus dilakukan oleh Negara
bukan melakukan negosiasi untuk menaikkan royalti atau menaikkan
prosentase kepemilikan saham
tapi negara harus mengambil alih.
Pabrik dan instalasi yang sudah dibangun perusahaan swasta itu pun
harus diambil atau diganti dengan harga yang sepadan. Diriwayatkan dalam
salah satu hadits bahwa ada dua orang yang bersengketa dan meminta
Rasulullah saw memberikan keputusan. Yang menjadi penyebabnya, salah
satu dari mereka menanam kurma di tanah milik yang lain. Terhadap kasus
tersebut, Rasulullah saw memutuskan bahwa pemilik tanah berhak atas
tanahnya, dan pemilik pohon kurma harus mencabut pohon itu. Dari Rafi’
bin Khudayj bahwa Rasulullah saw bersabda:
مَنْ زَرَعَ فِي أَرْضِ قَوْمٍ بِغَيْرِ إِذْنِهِمْ فَلَيْسَ لَهُ مِنَ الزَّرْعِ شَيْءٌ وَلَهُ نَفْقَتَهُ
Siapa saja yang menanam di tanah suatu kaum tanpa izin, maka dia
tidak berhak atas tanaman itu sama sekali, namun dia berhak atas biaya
yang dikeluarkannya (HR Ibnu Majah, Ahmad, Abu Dawud, dan al-Tirmidzi)
Dengan demikian, jika ada pihak swasta yang membangun pabrik kemudian
memproduksi barang-barang dari aset yang termasuk kepemilikan umum,
maka statusnya seperti orang yang menanam pohon di atas tanah orang lain
tanpa izin. Maka, sebagaimana hadits di atas, perusahaan swasta yang
mengelola kepemilikan umum itu harus mengambil semua asetnya atau
menjualnya kepada negara yang secara syâr’i berhak mengelola aset milik
umum tersebut
Adapun penyelesaian tuntas masalah Papua tersebut hanya bisa
dilakukan dengan pembangunan yang merata dengan melibatkan masyarakat
Papua. Hal itu perlu kebijakan pendanaan yang tepat yaitu bagi tiap
daerah diberi dana sesuai kebutuhan pembangunannya dan diutamakan
terlebih dahulu untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar seperti
infrastruktur ekonomi, pendidikan, kesehatan, perumahan dan keamanan.
Dan itu hanya bisa diujudkan oleh sistem ekonomi Islam yang menjadikan
distribusi kekayaan secara adil sebagai fokusnya. Tidak bisa oleh
sistem ekonomi kpaitalisme seperti yang terjadi selama ini, yang fokus
pada pertumbuhan dengan mengabaikan distribusi kekayaan secara adil.
Dan tidak kalah pentingnya adalah harus dilakukan peleburan masyarakat
menjadi satu kesatuan masyarakat yang di dalamnya tidak ada diskriminasi
dan marjinalisasi. Semua itu hanya bisa diujudkan jika syariah Islam
diterapkan secara utuh. Hanya itulah solusi tuntas bagi semua problem
di Papua.
5. KEDATANGAN OBAMA DI KTT ASEAN, BALI 2011:
Mengokohkan Dominasi AS atas Asia Tenggara
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Asia Timur di Bali 17-19 November
2011 telah berakhir. Obama telah kembali ke negaranya. Ia sukses membawa
misi AS di KTT ini: makin menancapkan kukunya di Asia Tenggara,
khususnya Indonesia. Obama juga pulang dengan meninggalkan sebuah
pangkalan militer di Darwin, Australia.
Sejak awal, kunjungan Obama ke KTT itu memang direncanakan untuk
kepentingan Amerika Serikat. Gedung Putih (Daniel Russel ) menyatakan
kunjungan Presiden Barack Obama ke Asia sebagai kesempatan untuk
menciptakan lapangan kerja, meningkatkan perdagangan, dan membuka pasar
untuk barang-barang Amerika. Obama berkomitmen untuk menyeimbangkan
kembali wilayah Asia, di mana demokrasi mulai muncul dan pengaruh
Tiongkok yang semakin besar. Dia mengatakan rakyat Amerika ingin tahu
apakah Amerika Serikat dapat menjadi tonggak stabilitas dan
memproyeksikan kepentingannya di kawasan Pasifik. (
http://www.voanews.com/indonesian/news/Lawatan_Obama_ke_Asia_Untuk_Penciptaan_Lapangan_Kerja.html
). Sementara Indonesia sendiri sejak awal keterlibatan adalam acara ini
tidak punya agenda jelas. Posisinya Indonesia seperti sebatas
event organizer (EO) untuk melayani kepentingan AS.
Ada sembilan butir kesepatakan KTT dalam tersebut, yakni: 1).
Langkah-langkah konkret guna memperkuat ketiga pilar Komunitas ASEAN,
2). Penguatan pertumbuhan ekonomi di kawasan. Indonesia terus mendorong
langkah-langkah bersama bagi penguatan pertumbuhan ekonomi kawasan, 3).
Mengambil peran utama dalam menata arsitektur kerja sama kawasan yang
lebih efisien dan efektif, 4). Menjaga stabilitas dan keamanan kawasan
Asia Tenggara, 5). Penguatan peran ASEAN secara global, 6). Upaya
bersama untuk memperkuat ekonomi Asia Timur (Kawasan EAS), 7). Upaya
bersama untuk membangun landasan dan tindakan nyata menangani
food, water, and energy security serta climate change, 8). Upaya bersama untuk mengatasi
non-traditional security challenges: natural disasters, terrorism, transnational crimes, 9). Upaya bersama untuk memelihara perdamaian, keamanan dan stabilitas dan ketertiban Kawasan Asia Timur.
Dari butir kesepakatan itu tampak kuatnya dominasi AS. Melalui KTT
itu AS berusaha mengerem pengaruh China dengan cara mengikat semua
sektor strategis khususnya pertahanan keamanan (militer) dan ekonomi.
Misalnya, AS dengan gamblang berencana menempatkan 2.500 personil
tentaranya di pangkalan militer AS di Darwin, Australia. Obama
mengatakan pasukan itu ditujukan untuk penanggulangan keadaan darurat
dan kemanusiaan. Pertanyaannya, keadaan darurat apa yang dimaksud?
Pastinya bukan untuk bencana alam karena Australia bukan kawasan rawan
bencana. Yang paling mungkin, kehadiran pasukan dengan kemampuan khusus
itu adalah untuk (1) mengamankan dominasi AS di ASEAN di antaranya dari
pengaruh China; (2) untuk menjaga ‘aset’ Freeport di Papua. Jarak
antara pangkalan militer tersebut dengan wilayah RI hanya 820 km, dan
dekat dengan Papua.
KTT Asia Timur ini memperlihatkan konflik yang menonjol antara China
dan Amerika Serikat. AS berusaha melebarkan pengaruhnya di ASEAN dan
mengurangi pengaruh China melalui pendekatan politik kawasan, yakni
kepada sekutu-sekutunya di ASEAN. Sedangkan China menghendaki
penyelesaian secara bilateral. Menlu Cina Wen Jibao juga menolak
masuknya “pasukan luar” untuk terlibat dalam perselisihan di kawasan
Laut China Selatan. China sendiri berusaha menancapkan pengaruhnya di
antaranya dengan berencana memberikan dana 3 miliar yuan (US$ 473
miliar) untuk kerjasama industri maritim dengan negara-negara Asia
Tenggara.
Kebijakan ini menunjukkan AS melihat ASEAN sebagai kawasan geopolitik
yang amat strategis karena sebelumnya AS telah menempatkan militernya
di Singapura, Korea Selatan, Guam dan Jepang.
KTT ini juga menghasilkan kesepakatan mengenai penanganan soal
perubahan keamanan non-tradisional yakni terorisme, bencana alam, dan
kejahatan internasional. Lagi-lagi soal terorisme sangat menonjol.
Negara-negara di kawasan ini dituntut untuk mengimplementasikan
ASEAN Convention on Counter-Terrorism (Konvensi ASEAN tentang kontra terorisme) dan
ASEAN Plan of Action to Combat Transnational Crime (Rencana Aksi ASEAN melawan Kejahatan Transnasional).
Pembahasan isu terorisme tidak pernah ketinggalan dibawa AS di
manapun. Sejak tragedi WTC 11 September 2011, AS menjadikan isu ini
untuk menggebuk siapa saja yang akan meruntuhkan hegemoninya meski itu
dilakukan dengan jalan damai.
Khusus kepada Indonesia, AS juga mengucurkan bantuan keuangan berupa
hibah dan investasi. Sejumlah perusahaan AS berencana untuk menambah
investasi ke Indonesia hingga sebesar 450 juta US$. Di antaranya adalah
Freeport, yang bersama sejumlah perusahaan lain telah bertemu dengan SBY
pada pertemuan KTT APEC di Honolulu, Hawaii, 14 Nopember lalu.
China tampaknya tidak ingin kalah dengan kampanye yang dilakukan oleh
Obama. Sebelumnya Obama menggelar kampanye diplomatik dengan menegaskan
bahwa Washington sebagai kekuatan Pasifik. Para pengamat menilai China
tampaknya terganggu dengan rencana penempatan militer AS di Australia.
Hanya berselang sepekan setelah KTT berakhir, Cina mengumumkan akan
menggelar latihan perang Angkatan Laut di kawasan samudera tersebut.
Trans Pacific Partnership (TPP)
Seperti diketahui, pada KTT APEC 2011 di Honolulu, Hawaii, Barack
Obama, mempromosikan kerjasama baru bernama Trans Pacific Partnership
(TPP). Beberapa negara ASEAN sudah bergabung dalam kerjasama perdagangan
bebas baru itu.
TPP sendiri diprakarsai sembilan negara dimana empat negara di
antaranya adalah anggota ASEAN, yaitu Brunei Darussalam, Singapura,
Malaysia, dan Vietnam. Otomatis empat negara tersebut sudah masuk
menjadi anggota TPP. Sementara sejumlah negara Asia lain yang sudah siap
bergabung yakni Jepang dan Thailand. Sedangkan dari Pasifik ada Kanada,
AS, Meksiko, Selandia Baru, dan Australia.
Bagaimana dengan Indonesia? Tampaknya belum akan segera bergabung.
Presiden SBY menegaskan, dirinya bukan mencurigai isu perdagangan bebas
baru yang digagas AS-Australia itu. Tapi yang jauh lebih penting,
menurutnya adalah terwujudnya perdagangan yang adil dan mendatangkan
manfaat nyata bagi masyarakat.
Penolakan Indonesia terhadap ajakan Presiden AS Barack Obama bukan
tanpa alasan kuat. Menteri Perindustrian MS Hidayat mengatakan
perdagangan bebas yang digagas AS itu bakal tumpang tindih dengan
perjanjian perdagangan lainnya yang sudah ada khususnya di ASEAN.
Apalagi menurutnya, konsep TPP juga belum jelas benar. Saat ini
pemerintah akan lebih fokus membenahi ekonomi terlebih dahulu, termasuk
soal daya saing.
Penolakan terhadap TPP mungkin menjadi satu langkah maju bagi
Pemerintah Indonesia. Apakah penolakan TPP merupakan langkah awal
kabinet SBY untuk melakukan koreksi atas berbagai FTA (Free Trade
Agreement) yang sangat liberal?
Mengapa AS bergitu ngotot mengajak Indonesia bergabung dalam TPP?
Semua itu tidak lepas ‘ada udang di balik batu’. Pemerintah AS tentu
berkepentingan besar terhadap TPP tersebut. Dengan beban keuangan negara
dan tekanan pengangguran yang sangat berat, serta terbatasnya pilihan
kebijakan untuk menyelamatkan ekonomi, TPP memiliki arti sangat penting
bagi AS. Apalagi AS menganggap TPP tidak hanya sebatas perdagangan
bebas, tetapi menjadi model kerja sama ekonomi yang lebih luas. Ini
tentu menjadi harapan baru bagi AS untuk menyelesaikan masalah
pengangguran dan krisis ekonomi yang tengah melanda.
Sebagai pengembang ideologi kapitalisme, AS memang terus akan
mendorong perdagangan bebas yang merupakan bagian dari paket
liberalisasi ekonomi. Dalam liberalisasi ekonomi, peran dan
tanggungjawab pemerintah dalam sektor ekonomi akan dihilangkan. Bahkan,
kemudian menyerahkan semuanya kepada individu dan mekanisme pasar
(kekuatan penawaran dan permintaan).
6. OCCUPY WALL STREET DAN KERAPUHAN KAPITALISME
Pada September 2011, ribuan orang yang menamakan gerakannya
Occupy Wall Street tumpah di distrik
Wall Street, pusat keuangan AS. Aksi yang mulanya menggugat keserakahan
Wall Street,
dan kemudian kemudian berubah menjadi gerakan anti kapitalisme itu,
kini terus berkembang dan menyebar ke berbagai negara di Eropa hingga
Asia. Isi protes mereka antara lain: menentang ketidakadilan sosial dan
ekonomi, pengangguran yang tinggi, keserakahan, korupsi, intervensi
perusahaan-khususnya dari sektor jasa keuangan pada pemerintah dan
sejumlah isu yang menjadi titik lemah kapitalisme selama ini.
Ketimpangan pendapatan negara-negara yang mempraktekkan kapitalisme
memang sangat parah. Pada tahun 2007, 1% penduduk terkaya di Amerika
Serikat memiliki 34,6% dari total kekayaan negara tersebut, dan 19%
berikutnya menguasai 50,5%. Dengan kata lain, 20% golongan atas Amerika
memiliki 85% kekayaan di negara tersebut. Sisanya, 80% populasi bawah
hanya menguasai 15% dari kekayaan di AS (
Forbes, 11/01/2011)
Selain itu, orang-orang kaya tersebut, khususnya mereka yang bekerja
pada sektor keuangan, memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap
berbagai kebijakan pemerintah, bahkan ada diantaranya yang terlibat
langsung dalam pemerintahan. Itu terjadi karena mereka merupakan sumber
utama keuangan partai politik. Dalam sistem demokrasi seperti di AS,
kekuatan finansial sangat menentukan kemenangan dalam kontestasi
politik. Akibatnya, berbagai kebijakan pemerintah, termasuk yang terkait
dengan sektor keuangan lebih berpihak kepada pemodal ketimbang
rakyat banyak. Misalnya,
Glass-Steagall Act yang sebelumnya melarang bank komersial terlibat dan menjadi penjami
n (underwriter) dalam investasi dan kegiatan asuransi dicabut akibat tekanan para pemodal di W
all Street.
Dengan dicabutnya UU tersebut, bank-bank dapat dengan leluasa
menggunakan dana nasabah untuk berinvestasi di pasar modal termasuk pada
aset-aset derivatif. Akibatnya, investasi di pasar modal mengalami
bubble hingga akhirnya meletus pada tahun 2008. Sejumlah perusahaan raksasa seperti
Lehman Brothers kolaps, sehingga sebagian diantarnya terpaksa di
bail-out oleh pemerintah. Pertumbuhan ekonomi menurun drastis sementara angka pengangguran dan kemiskinan melonjak.
Meski telah berlangsung tiga tahun, hingga kini krisis tersebut tetap terasa. Padahal pemerintah dan Bank Sentral AS,
The Fed
telah menggelontorkan lebih dari US$ 2 triliun untuk membeli aset-aset
lembaga keuangan dan industri yang mengalami krisis likuiditas. Namun
upaya tersebut tidak banyak membantu. Padahal uang-uang tersebut
merupakan utang yang nantinya dibayar oleh rakyat AS sendiri.
Murka para penentang kapitalisme juga muncul akibat besarnya keserakahan dan kejahatan kera putih (
white - collar crime) di sektor finansial yang berbasis riba dan spekulasi. Di antara kasus yang fenomenal adalah konspirasi perusahaan energi
Enron dengan auditornya
Arthur Andersen agar laporan keuangannya agar tetap kinclong di mata investor. Setelah kejahatan itu terbongkar, saham
Enron
anjlok dari U$ 90 menjadi hanya US$ 1 perlembar sebelum akhirnya
bangkrut. Artinya, nilai kekayaan pemegang sahamnya menciut 90 kali
lipat.
World Com juga menyusul bangkrut di tahun 2002 karena
terbukti menggelembungkan asetnya sebesar $ 11 miliar. Kasus mutakhir
adalah penipuan yang dilakukan oleh Bernie Madoff terhadap nasabahnya
yang mencapai US$ 65 miliar atau sekitar Rp 585 triliun. Mantan kepala
bursa saham NASDAQ tersebut kemudian diganjar 150 tahun penjara. Di
Indonesia kejahatan tersebut dapat dilihat pada kasus BLBI dimana negara
dirugikan paling sedikit Rp 1.031 triliun. Belakangan ada kasus Bank
Century yang merugikan negara Rp 6,7 triliun.
Selain bersumber dari sektor finansial, negara-negara kapitalisme
juga menghadapi krisis akibat postur APBN mereka yang disesaki utang.
Pemerintah AS kini menghadapi persoalan pelik akibat tumpukan utang yang
kini mencapai US$ 15,03 triliun. Beban utang tersebut terjadi akibat
tidak seimbangnya antara belanja publik dan militer negara itu dengan
pemasukan negara. Meningkatnya kekhawatiran investor terhadap kemampuan
AS dalam mengatasi problem utangnya membuat
Standard & Poor’s, untuk pertama kalinya dalam sejarah
menurunkan peringkat
(rating)
surat utang AS dari AAA menjadi AA+. Solusi dilematis terpaksa ditempuh
negara itu. Dalam 10 tahun ke depan kemampuan belanja pemerintah
dipastikan melemah setelah adanya program penghematan yang terpaksa
ditempuh untuk mengurangi defisit tersebut. Namun di sisi lain, program
tersebut justru mengurangi kemampuan pemerintah untuk menstimulus
perekonomian AS yang kini masih sekarat.
Hal yang sama juga dialami negara-negara di kawasan Uni Eropa (Zona
Euro). Hingga saat ini mereka masih berjuang untuk keluar dari krisis
yang menimpa kawasan tersebut. Krisis tersebut mengemuka setelah
Portugal, Irlandia, Spanyol dan Yunani menyatakan kesulitan untuk
membayar utang sehingga meminta bantuan kepada IMF dan Bank Sentral
Eropa. Namun dalam perkembangannya, negara-negara lain seperti Perancis
dan Italia, negara dengan ekonomi terbesar kedua dan ketiga di Eropa
juga menghadapi problem yang sama. Sialnya, kemampuan IMF, Bank Sentral
Eropa dan
European Financial Stability Facility (EFSF)
ternyata
tidak cukup besar untuk menalangi seluruh utang negara tersebut. Adapun
rencana penerbitan surat utang bersama negara-negara Eropa
(euro bond) untuk menalangi utang negara-negara yang mengalami krisis dikecam oleh Jerman karena khawatir ikut terjangkit krisis serupa.
Dampaknya, kepercayaan investor terhadap negara-negara tersebut makin
melemah. Bunga obligasi negara-negara tersebut makin tinggi sehingga
utang mereka makin membengkak. Di Yunani bahkan investor yang memegang
surat utang pemerintah telah kehilangan separuh dari kekayaan mereka
akibat ketidakmampuan negara tersebut membayar utang-utangnya. Di sisi
lain, upaya penghematan yang dilakukan pemerintah seperti melakukan PHK,
pengurangan subsidi dan privatisasi justu membuat perekonomian di
kawasan tersebut semakin lesu. Perdana Menteri Yunani, George Papandreou
dan Perdana Menteri Italia, Silvio Berlusconi
bahkan dipaksa mundur karena gagal mengatasi krisis tersebut.
Entah sampai kapan krisis tersebut berlangsung. Namun yang pasti
fakta di atas melengkapi sejarah kelam sistem kapitalisme, sebuah yang
diberlakukan hampir di seluruh dunia termasuk di negeri-negeri muslim
seperti Indonesia. Berbagai cara memang telah ditempuh untuk menambal
kelemahan sistem tersebut, namun tetap saja gagal dan justru melahirkan
krisis baru. Oleh karena itu, adalah hal yang aneh jika kaum muslimin
dan pemerintah di negeri-negeri muslim masih saja mempertahankan sistem
yang bobrok ini, sementara di negara asalnya ia dikecam habis-habisan
oleh penganutnya sendiri.
7.
DERADIKALISASI
Quo Vadis
Terkait isu terorisme, deradikalisasi dalam dua tahun terakhir
menjadi ungkapan yang cukup populer. Secara bahasa deradikalisasi
berasal dari kata “radikal” yang mendapat imbuhan
“de” dan akhiran
“sasi”. Radikal sendiri berasal dari kata
“radix” yang dalam bahasa Latin artinya “akar”. Jika ada ungkapan “
gerakan radikal” maka artinya gerakan yang mengakar atau mendasar, yang bisa berarti positif
(untuk kepentingan dan tujuan baik)
atau negatif. Dalam Kamus, kata radikal memiliki arti secara mendasar
(sampai kepada hal yang prinsip), sikap politik amat keras menuntut
perubahan (undang-undang, pemerintahan), maju dalam berpikir dan
bertindak
(KBBI, ed-4, cet.I.2008). Dalam pengertian
ini, hakikatnya sebuah sikap “radikal” bisa tumbuh dalam entitas apapun,
tidak mengenal agama, batas teritorial negara, ras, suku dan sekat
lainya.
Namun dalam konteks isu terorisme, radikal pemaknaannya menjadi sangat stereotip, over simplikasi dan subyektif. “
Radikal”
sebuah label yang dilekatkan kepada individu atau kelompok muslim yang
memiliki cara padang, sikap keberagamaan dan politik yang bertentangan
dengan mainstream yang ada. Atau dengan katagorisasi sebagai alat
identifikasi,
“radikal” adalah orang atau kelompok jika memiliki prinsip-prinsip seperti;
menghakimi
orang yang tidak sepaham dengan pemikiranya, mengganti ideologi
Pancasila dengan versi mereka, mengganti NKRI dengan Khilafah, gerakan
mengubah negara bangsa menjadi negara agama, memperjuangkan formalisasi
syariat dalam negara, menggangap Amerika Serikat sebagai biang
kedzaliman global.
Maka yang dimaksud
“de-radikalisasi” adalah langkah upaya untuk merubah sikap dan cara pandang diatas yang dianggap keras (dengan julukan lain;
fundamentalis) menjadi lunak; toleran, pluralis, moderat dan liberal.
Definisi radikal diatas sangat bias, persis seperti dunia Barat
menjelaskan konsep radikal secara simplistik, bahwa radikalisme banyak
diasosiasikan dengan mereka yang berbeda pandangan secara ektrem dengan
dunia Barat (
Lihat laporan utama majalah Time ed 13
September 2004, setebal sembilan halaman menjelaskan konsep radikal
menurut kacamata Barat).
Hal ini sama biasnya terjadi ketika mendefinisakan
“terorisme“.
Sebuah labelisasi kepada kelompok atau individu muslim yang secara
fisik atau non fisik mengancam kepentingan global imperialisme Barat. Di
Indonesia dengan asumsi definisi terorisme
no global concencus (tidak ada kesepakatan global)
, akhirnya pemaknaan dan implementasi kontra-terorisme melahirkan banyak korban dan umat Islam menjadi obyek sasaran.
T.P.Thornton dalam
Terror as a Weapon of Political Agitation (1964)
mendefinisikan terorisme sebagai penggunaan teror sebagai tindakan
simbolis yang dirancang untuk mempengaruhi kebijakan dan tingkah laku
politik dengan cara-cara ekstra normal, khususnya dengan penggunaan
kekerasan dan ancaman kekerasan. Terorisme dapat dibedakan menjadi dua
katagori, yaitu
enforcement terror yang dijalankan penguasa untuk menindas tantangan terhadap kekuasaan mereka, dan
agitational terror, yakni teror yang dilakukan mengganggu tatanan yang mapan untuk kemudian menguasai tatanan politik tertentu.
Jadi sudah barang tentu dalam hal ini, terorisme selalu berkaitan
erat dengan kondisi politik yang tengah berlaku. Karena itu istilah ini
juga rentan dipolitisasi. Kekaburan definisi membuka peluang
penyalahgunaan. Namun pendefinisian juga tak lepas dari keputusan
politis.
Maka deradikalisasi dan kontra-radikalisasi pada konteks ini adalah
kebijakan politik sebagai upaya baik dalam bentuk langkah strategis
maupun taktis untuk memotong seluruh variabel yang dipandang sebagai
stimulan lahirnya tindakan “terorisme” baik pra maupun pasca (terkait
pembinaan terhadap narapidana dan mantan combatan). Program ini lebih
menekankan “
soft approach“, baik kepada masyarakat secara luas,
kelompok tertentu maupun kepada individu-individu tertentu yang masuk
dalam jejaring kelompok yang dicap “radikal”, “teroris” dan semacamnya.
Langkah ini juga dikenal sebagai strategi memenangkan hati dan pikiran public
(the strategy of winning the heart and mind). Dalam
bahasa Ansyad Mbai (Ketua BNPT) sebagai perang untuk memenangkan hati
nurani. Membutuhkan banyak strategi dan bersifat jangka panjang. Dan
wasilah paling pokok yang menjadi tumpuan dalam “perang” ini adalah
media masa
(cetak, elektronik dan digital), karena medium ini menjadi tombol kunci dari “
mindset control”
terhadap persepsi publik. Disamping para komunikan yang dianggap
berkompeten untuk mempengaruhi pikiran publik dalam berbagai kesempatan.
Deradikalisasi adalah bagian dari strategi kontra terorisme. Ketika pendekatan
hard measure,
belum dianggap bisa mereduksi dan menghabisi seluruh potensi yang
mengarah ke tindakan “terorisme”, bahkan dianggap belum efektif
menyentuh akar persoalan terorisme secara komprehensif. Begitu juga
ketika strategi
Law Enforcement dirasa kurang memberikan efek jera dan belum bisa menjangkau ke akar radikalisme. Sekalipun diakui cukup efektif untuk “
disruption”, tapi tidak efektif untuk pencegahan dan rehabilitasi sehingga masalah terorisme terus berlanjut dan berkembang.
Deradikasilsasi dibangun atas asumsi adanya ideologi radikal yang
mengeksploitasi faktor komplek yang ada (kemiskinan, keterbelakangan,
marginalisasi, pemerintahan otoriter, dominasi negara
super power,
globalisasi dan sebagainya), melahirkan spirit perlawanan dan perubahan
dengan tindakan-tindakan teror ketika jalan damai (kompromi) dianggap
tidak memberikan efek apapun. Maka ideologi radikal ditempatkan sebagai
akar sesungguhnya dari fenomena terorisme. Dalam kerangka pandangan
seperti inilah program deradikalisasi dijalankan.
Pelaksana strategi ini telah belajar dari pengalaman Indonesia selama
lebih dari 50 tahun menangani DI/NII telah membuktikan bahwa
hard power approach
bukan jawaban tepat. Asumsinya selama idologi radikal mereka tidak bisa
dinetralisir, selama itu pula mereka terus melakukan aksi terorisme.
Mengambil kasus situasi di Afghanistan dan Irak, maka dalam
deradikalisasi ada upaya menggeser kepada obyek sasaran lebih luas,
yaitu kepada pihak yang dianggap pengusung ideologi
radikal-fundamentalis. Yang diposisikan sebagai eksploitator terhadap
faktor dan realitas ketimpangan sosial politik dalam konteks global
maupun lokal Indonesia.
Drama
War on Terrorism dan semua peristiwa turunannya di
Indonesia tidak terjadi secara masif kecuali pasca peristiwa WTC
9/11/2001. Kemudian AS secara sepihak membagi dunia menjadi dua: bersama
Amerika atau bersama teroris. Dari beberapa dokumen, terungkap dukungan
dana mengucur deras hingga mencapai lebih dari 500 juta Euro untuk
proyek
long term dari negara Eropa (Australia, Denmark, Belanda dan lainnya) kepada Densus 88 dan program peningkatan
capacity building
terhadap aparat kepolisian dan Intelijen Indonesia. AS sendiri melalui
Obama menyiapkan lebih dari 5 miliar US$ untuk membuat program kerjasama
keamanan bersama guna menempa badan intelijen internasional dan
infrastruktur penyelenggaraan hukum demi melumpuhkan jaringan teroris
dari pulau-pulau terpencil di Indonesia hingga ke kota-kota yang
membujur di Afrika. Bocoran Wikileaks (yang dimuat di harian Australia
The Age,17/12/2010) mengkonfirmasi bagaimana hubungan AS dan sekutunya
dengan pemerintah Indonesia dalam isu terorisme.
Di salah satu bocoran Wikileaks yang dimuat oleh harian
Sydney Morning Herald
(15/12/2010) juga menyebut Australia memberikan dukungan kepada SBY
dalam Pilpres 2009 lalu. SBY didukung karena dinilai sukses dalam
kerjasama antiterorisme. Bahkan, Indonesia secara intens juga segaris
dengan kebijakan PBB dalam proyek kontra terorisme sejak awal. Indonesia
menunjukkan komitmen melaksanakan ketentuan hukum internasional
mengenai pemberantasan terorisme dan sejauh ini telah meratifikasi 7
dari 16 instrumen internasional terkait terorisme.
Ini indikasi yang cukup untuk menjelaskan bahwa proyek deradikalisasi
dan kontra radikalisasi adalah bagian dari strategi WOT di mana arahan
dan paradigma Barat (AS) menjadi basis implementasinya.
Sesungguhnya Amerika Serikat berkepentingan dalam proyek
deradikalisasi. Karena proyek deradikalisasi adalah topeng yang bisa
menyembunyikan kepentingan busuk dunia Barat untuk melanggengkan
imperialismenya. Deradikalisasi dianggap sebagai cara efektif jangka
panjang untuk mewujudkan tatanan di dunia Islam yang ramah dan
mengakomodir ideologi Kapitalis-Sekuler yang mereka jajakan. Dan ini
klop dengan sistem sekuler yang dijaga siang dan malam
keberlangsungannya oleh para penguasa yang mengekor kepada kepentingan
Barat dengan mendapat imbalan pujian dan kemaslahatan sesaat.
Lahirnya BNPT menjadi indikasi jelas, proyek kontra-terorisme adalah
proyek “longtime” dengan target-target tertentu, dan pemerintah akan
secara kontinyu dan simultan serta melibatkan banyak
“energi/element/unsur” menjalankan “road map” yang sudah diformulasikan.
Yang tidak boleh diabaikan begitu saja adalah, bahwa
Indonesia
dengan rezimnya saat ini secara establis telah memposisikan sebagai
sub-ordinat kepentingan proyek global “war on terorism” yang digelorakan
oleh AS dan sekutunya. Dan target-target proyek di level lokal adalah turunan (
break down) dari target-target proyek global.
Sejauh ini pemerintah Indonesia dengan kacamata subyektifnya
,
radikalisme secara dominan dipandang sebagai gejala yang lahir dari
tafsiran teologi yang menyimpang, dan abai terhadap realitas sebagai
sebuah gejala sosial dari meluasnya sikap apatisme dan frustasi sosial
akibat kemiskinan, ketidakadilan, ketidakpastian masa depan, dan tekanan
hidup yang berat. Dan situasi itu korelatif dengan peran imperialisme
global yang dikomandani Amerika Serikat. Maka berapapun anak-anak negeri
ini yang ditembak mati karena alasan terorisme sesungguhnya tidak akan
bisa memadamkan potensi lahirnya “teroris-teroris” baru, jika faktor
komplek termasuk didalamnya kedzaliman global oleh dunia Barat terhadap
dunia Islam tetap ada dan diabaikan.
Pemerintah justru membuat langkah deradikalisasi secara massif yang
diimplementasikan dengan kosentrasi pada perubahan orentasi dan tafsiran
dalam keberagamaan seseorang agar lebih moderat (
wasatiyyah),
toleran dan liberal. Ini sesungguhnya bukan solusi, karena akan
menciptakan polarisasi dalam kehidupan masyarakat khususnya umat Islam.
Praktek
devide et impera (strategi belah bambu) akan menjadi pemicu permanen lahirnya sikap radikal.
Program deradikalisasi seperti itu malah menimbulkan bahaya baru buat
umat Islam, karena ada potensi penyimpangan dan tafsiran-tafsiran yang
menyesatkan terhadap nash-nash syara’ dengan menselaraskan nash-nash
syara’ terhadap realitas sekuler, dan memaksakan dalil mengikuti konteks
aktualnya dan kontruksi pemikiran tanpa dalil atau hujjah yang kokoh.
Contohnya, upaya
tahrif (penyimpangan) pada makna
jihad,
tasamuh (toleransi),
syuro dan demokrasi,
hijrah,
thagut, muslim dan kafir,
ummatan washat,
klaim kebenaran, doktrin konspirasi (QS. Al Baqarah [2] : 217) dan
upaya mengkriminalisasi dan monsterisasi terminologi daulah Islam dan
Khilafah.
Umat akan terpecah belah (berhadap-hadapan) dengan katagorisasi
radikal - moderat, fundamentalis - liberal, Islam ekstrim - Islam
rahmatan, Islam garis keras - Islam toleran dan istilah lainya yang
tidak ada dasar pijakannya dalam dienul Islam. Hal ini mirip dengan
langkah orentalis dalam memecah belah umat Islam dengan memunculkan
istilah “
Islam putihan” (berasal dari bahasa arab:
muthi’an/taat) dan “
Islam abangan” (
aba’an/pengikut/awam). Umat Islam yang taat ditempatkan sebagai musuh karena membahayakan penjajahan.
Bahaya deradikalisasi berikutnya adalah menyumbat langkah kebangkitan
Islam, menjadikan umat jauh dari pemahaman dan sikap ber-Islam yang
kaffah. Tidak mampu menjadikan Islam sebagai akidah dan syariah secara
utuh serta sebagai pedoman spiritual dan kehidupan politik. Maka bisa
disimpulkan bahwa sesungguhnya program deradikalisasi tidak lain adalah
de-Islamisasi terhadap mayoritas umat Islam yang menjadi penghuni negeri
ini.
Program ini pada akhirnya akan melahirkan bahaya
(dzarar) lebih
besar berupa tetap tegaknya sistem sekular dan langgengnya imperialisme
Barat di negeri Indonesia atas nama GWOT, HAM, Demokrasi, Pasar bebas,
dan perubahan iklim. Di bawah sistem sekular, umat Islam hidup dalam
kehidupan yang sempit, jauh dari kebahagiaan lahir batin, dan jatuh
dalam peradaban materialisme dan kerusakan moral yang luar biasa. Dan
yang paling dasyat adalah di hadapan Allah SWT termasuk golongan
orang-orang yang nista.
8. KASUS GKI YASMIN: Negara Kalah Menghadapi Arogansi Minoritas
Kisruh GKI Yasmin ini bermula dari upaya pihak Gereja Kristen
Indonesia untuk mendirikan gereja di sebidang tanah di Kompleks Taman
Yasmin, jalan KH Abdullah bin Nuh, Tanah Sareal, Kota Bogor. Berdasarkan
SKB/PBM No 9 tahun 2006, pendirian tempat ibadah ini mensyaratkan
adanya persetujuan warga sekitar, sekurang-kurangnya 90 orang.
Untuk mendapatkan tandatangan warga, GKI melakukan sejumlah penipuan:
Pertama,
meminta persetujuan pembangunan rumah sakit, yaitu Hermina. Karena
untuk pembangunan rumah sakit, maka warga pun tidak keberatan. Konon,
dari sana terkumpul sejumlah tandatangan warga.
Kedua,
mendapatkan tandatangan warga dengan modus pembagian bantuan sembako.
Menurut data Jurnal-Indonesia-Net, berdasarkan klaim GKI Yasmin tanggal
10 Maret 2002, terkumpul 170 tandatangan; 1 Maret 2003 terkumpul 127
tandatangan; 08 Januari 2006 terkumpul 40 tandatangan; 12 Januari 2006
terkumpul 66 orang dan 15 Januari 2006 terkumpul 40 orang.
Ketiga, menyuap aparat kelurahan agar mengesahkan tandatangan tersebut untuk memproses IMB.
Anehnya, meski rekomendasi tertulis dari kantor Departemen Agama
setempat dan rekomendasi FKUB juga tidak ada, tapi IMB untuk GKI Yasmin
ini bisa keluar melalui SK Nomer: 645.8-372/2006 tanggal 19 Juli 2006
yang ditandatangani Walikota Bogor. Sejak awal, sebenarnya masyarakat
tidak setuju dengan pembangunan gereja tersebut. Mantan Ketua RT 08/08,
Kelurahan Curug, Mekarwangi, -lokasi gereja itu- Muchtar menjelaskan,
warga RT telah menolak pembangunan gereja itu sejak awal. Lagi pula,
menurutnya, dari 10 KK Katolik dan 8 KK Kristen, tak ada satupun yang
menjadi jemaah GKI ini.
Setelah tahu bahwa di tempat yang semula dianggap sebagai rumah
sakit itu ternyata didirikan gereja dan IMB-nya pun telah dikeluarkan
oleh Pemkot Kota Bogor, maka masyarakat mulai resah dan melakukan
protes. Protes warga berlanjut dengan tuntutan pembatalan IMB kepada
Walikota tertanggal 25 Januari 2008. Pemkot merespon tuntutan warga
dengan mengeluarkan SK Nomer: 503/208 DTKP, tentang pembekuan IMB.
Keputusan ini kemudian digugat oleh GKI ke Pengadilan Tatausaha Negara
(PTUN) Bandung, dengan dikeluarkan Putusan Pengadilan TUN Bandung No:
41/G/2008/PTUN.BDG tertanggal 4 September 2008. Tidak puas dengan PTUN
Jabar, mereka pun membawa ke Jakarta, hingga dikeluarkan Putusan
Pengadilan TUN Jakarta No: 241/B/2008/PT.TUN.JKT tertanggal 11 Pebruari
2009. Terakhir, mereka pun membawa ke Mahkamah Agung hingga keluar Surat
Putusan PK MA No: 127/PK/TUN/2009 tertanggal 9 Desember 2010.
Surat Putusan PK MA tersebut membatalkan pembekuan IMB yang
ditandatangani oleh Dinas Tatakota dan Pertamanan Kota Bogor, SK Nomer:
503/208 DTKP. Setelah keluarnya Surat Putusan MA No: 127/PK/TUN/2009
tertanggal 9 Desember 2010, Walikota Bogor mengeluarkan SK No:
503.45-135/2011 tertanggal 8 Maret 2011 tentang Pembatalan Pembekuan IMB
melalui SK Nomer: 503/208 DTKP. Tiga hari kemudian, Walikota Bogor
mengeluarkan SK No: 645.45-137/2011 tertanggal 11 Maret 2011 yang
membatalkan SK Nomer: 645.8-372/2006 tanggal 19 Juli 2006 tentang Izin
Pendirian Bangunan GKI Yasmin.
Pada saat yang sama, Pengadilan Negeri Kota Bogor memutuskan
terjadinya pemalsuan dan tandatangan masyarakat, yaitu dengan
dijatuhkannya PUTUSAN BERSALAH Majelis Hakim kepada Munir Karta, Kamis
20 Januari 2011, selaku terdakwa kasus pemalsuan surat dan tandatangan
masyarakat setempat. Keputusan Pengadilan Negeri Kota Bogor sekaligus
menguatkan keputusan Pemkot Bogor yang membatalkan IMB tersebut.
Namun, dalam kasus gereja GKI Yasmin Bogor, opini yang berkembang
akibat pemberitaan yang keliru adalah bahwa Walikota Bogor Diani
Budiharto seolah tidak melaksanakan Putusan PK Mahkamah Agung tanggal 9
Desember 2010 yang membatalkan pembekuan IMB GKI Yasmin Bogor. Juga,
pemberitaan itu cenderung menyudutkan umat Islam Bogor sebagai tidak
toleran. Sehingga tampak seolah GKI Yasmin sebagai “korban” dari pihak
yang dituduh telah bertindak dzalim padanya, yakni Pemkot Bogor dan umat
Islam di sekitar lokasi gereja.
Padahal sesungguhnya Walikota Bogor telah melaksanakan Putusan PK MA
itu dengan mencabut pembekuan IMB yang ditandatanggani oleh Kepala Dinas
Tata Kota dan Pertamanan Kota Bogor, melalui SK tertanggal 8 Maret
2011. Namun kemudian Walikota Bogor mencabut IMB Gedung GKI Yasmin itu
melalui SK 645.45-137 tertanggal 11 Maret 2011 karena pembangunan
gereja itu melanggar Peraturan Bersama Menteri (PBM) tahun 2006 tentang
perijinan mendirikan rumah ibadah. Disamping itu, bakal Gereja yang
berada di tengah-tengah pemukiman itu ditolak warga setempat. Apalagi
proses untuk mendapatkan persetujuan warga ternyata dilakukan dengan
cara-cara curang seperti memalsukan KTP dan melakukan penyuapan terhadap
warga agar menyetujui pembangunan gereja tersebut.
Dan yang banyak tidak diketahui oleh publik, Mahkamah Agung dalam
suratnya nomor: 45/Td.TUN/VI/2011 tertanggal 1 Juni 2011, sesungguhnya
juga telah mengakui SK Walikota Bogor tentang Pencabutan IMB GKI Yasmin
tersebut dan mempersilakan pihak yang merasa dirugikan untuk menggugat
ke Pengadilan.
Negara Kalah Menghadapi Arogansi Minoritas
Proses hukum dalam kasus GKI Yasmin sebenarnya telah selesai. Tetapi, mereka tetap
ngotot dan
terus-menerus melakukan penyesatan opini yang didukung oleh media massa
yang pro mereka. Pemkot Bogor, bahkan Gubenur Jabar, Mendagri, Menag,
Menkopolhukam hingga Presiden pun terus-menerus menjadi bulan-bulanan
mereka. Tingkah mereka semakin menjadi-jadi setelah mendapatkan dukungan
dari segelintir umat Islam yang berhasil mereka pengaruhi, seperti HMI,
GP Anshor hingga PBNU termasuk kalangan Islam Liberal. Mereka semakin
besar kepala setelah mendapat kunjungan Waligereja Dunia.
Aneh sekali, negara yang dihuni mayoritas Muslim ini justru
seolah-olah tidak berdaya menghadapi arogansi mereka. Mereka
terus-menerus menteror warga dan umat Islam, termasuk juga negara,
dengan memperagakan peribadatan ilegal di jalanan, yang jelas-jelas
mengganggu ketertiban umum dan meresahkan masyarakat, tetapi negara
tidak berkutik. Para penguasa di negeri ini mengkhawatirkan citra
mereka, karena opini yang mereka galang, dicap dzalim, tidak toleran dan
menindas kaum minoritas.
Kekalahan negara inilah yang sebenarnya membuat mereka besar kepala.
Selain negara kalah, mereka juga merasa kuat karena mendapatkan dukungan
media massa. Opini media sengaja dibentuk sedemikian rupa agar berpihak
kepada mereka. Dengan cara itulah, mereka menggalang dukungan termasuk
dari kalangan umat Islam. Melalui penyesatan inilah, mereka berhasil
mengadu domba umat Islam. Ironisnya, ada ormas-ormas Islam yang merasa
gagah dan terhormat membela mereka. Sama sekali tidak merasa malu kepada
umat Islam, apalagi malu kepada Allah dan Rasul-Nya.
Islam Mengikis Arogansi Non-Muslim
Selama negara ini menerapkan sistem sekuler dan abai terhadap sistem
Islam, maka kondisinya akan tetap seperti ini. Potensi konflik berbau
SARA akan terus ada, bahkan mungkin dengan intensitas yang makin
meninggi oleh karena berbagai latar kepentingan ikut bermain.
Solusinya, negeri yang mayoritas penduduknya muslim ini harus
dikembalikan pada posisinya sebagai negeri Islam dengan diterapkannya
syariah di bawah naungan daulah Khilafah. Jika Islam diterapkan di
negeri ini, dan orang Kristen dan non Muslim lain bersedia menjadi Ahli
Dzimmah, maka mereka harus diterikat dengan syarat-syarat
dzimmah:
1- Mereka wajib membayar
jizyah, jika mampu dan tunduk kepada sistem Islam. Sebagaimana firman Allah SWT,
“Hingga mereka membayar jizyah sesuai dengan kemampuan mereka, sedangkan mereka tunduk (pada Islam).” (Q.s. at-Taubah [09]: 29)
2- Mereka wajib menerapkan hukum Islam, kecuali dalam urusan
peribadatan, makan, minum, berpakaian, termasuk kawin dan talak.
Sebagaimana sabda Nabi,
“Siapa saja yang tetap dalam keyahudian dan kenasraniannya, maka dia tidak boleh dihasut (untuk memeluk Islam).” (Lihat, Ibn Hajar, Talhis al-Habir fi Ahadits ar-Rafii al-Kabir, IV/122)
3- Selain kedua syarat di atas, negara bisa menetapkan
syarat-syarat lain kepada mereka. Khalifah Abu Bakar mensyaratkan kepada
Bazakhah, Asad dan Ghathafan agar mereka melucuti senjatanya. Khalifah
‘Umar bin al-Khatthab mensyaratkan Bani Tughlab untuk tidak
mengkristenkan anak-anak mereka. Apa yang mereka dapatkan dari kaum
Muslim, harus mereka kembalikan, tetapi tidak sebaliknya (
H.r. al-Baihaqi, Sunan al-Baihaqi, IX/335; Abu ‘Ubaid, al-Amwal, hal. 198).
Bahkan, banyak di antara mereka yang mengajukan persyaratan agar bisa
diterima menjadi Ahli Dzimmah, antara lain, tidak mendirikan gereja baru
di kotanya, tidak mendirikan biara di sekitarnya, juga asrama pendeta.
Tidak pula merenovasi gereja-gereja yang rusak, tidak juga
menggunakannya untuk memata-matai kaum Muslim. Tidak melarang kaum
Muslim singgah di malam atau siang hari di gereja. Mereka berjanji
memperluas pintu untuk orang yang lewat dan Ibn Sabil. Tidak melindungi
mata-mata di sana juga di rumah-rumah mereka. Tidak menyembunyikan orang
yang menipu kaum Muslim. Tidak membunyi lonceng, kecuali dengan pukulan
yang ringan di tengah-tengah gereja kami. Tidak menampakkan salib.
Tidak pula mengeraskan suara ketika sembahyang maupun membaca bacaan di
gereja, ketika ada orang Islam. Tidak mengeluarkan Salib dan Injil di
pasar kaum Muslim. Tidak mengeraskan suara terhadap orang-orang yang
mati. Tidak menghidupkan lilin di pasar-pasar kaum Muslim. Tidak memakan
babi di dekat kaum Muslim. Tidak menjual khamer, tidak menunjukkan
sikap syirik, tidak mengajak orang lain memeluk agama mereka. Tidak
menghalangi keluarganya yang ingin memeluk Islam. Tidak menyerupai
pakaian kaum Muslim, baik songkok, kafiyeh maupun sandal. Tidak bicara
dengan menggunakan bahasa kaum Muslim. Tidak menggunakan sebutan kaum
Muslim…
(H.r. al-Baihaqi, Sunan al-Baiqahi, IX/202; Ibn Qudamah, al-Mughni, VIII/524)
Andai saja hukum Islam diterapkan di negeri ini, dan orang-orang
non-Muslim menjadi Ahli Dzimmah dengan syarat-syarat yang telah
disebutkan di atas, maka arogansi yang mereka pertontonkan tidak akan
terjadi. Kisruh pendirian gereja seperti saat ini pun tidak akan
terjadi. Di sisi lain, Islam dan umatnya akan hidup mulia karena tidak
ada satupun pihak yang berani menghinakan mereka.
9. UU INTELIJEN DAN RUU KAMNAS:
Melahirkan Rezim Represif
DPR melalui Sidang Paripurna pada tanggal 11 Oktober 2011 akhirnya
dengan suara bulat mengesahkan UU Intelijen. UU Intelijen ini merupakan
yang pertama dari paket UU Hankam yang disahkan. Yang lainya sedang
atau akan dibahas, diantaranya RUU Kamnas, RUU Rahasia Negara, dan RUU
Komponen Cadangan.
Pengesahan UU Intelijen itu adalah akhir pembahasan yang telah
berlangsung sembilan tahun. Meski begitu, UU Intelijen yang telah
disahkan itu masih banyak menuai kritik dan penolakan karena dinilai
akan melahirkan rezim represif, mengekang kebebasan sipil,
mengkriminalisasi masyarakat dan menjadikan rakyat sebagai lawan.
Sementara pada saat yang sama terasa UU itu tidak sensitif dan terasa
tumpul terhadap ancaman dari luar.
Diantaranya karena di dalam UU Intelijen itu terdapat ada
istilah-istilah yang tidak didefinisikan dengan jelas, tolok ukur dan
kriteria tidak jelas serta mengandung pengertian yang kabur.
Misalnya, definisi ancaman pada Pasal 1, frase “yang dinilai dan/atau
dibuktikan”, tolok ukur dan kriterianya tidak jelas. Begitu juga apa
yang dimaksud “ketahanan nasional” pada Pasal 31, “
kegiatan yang
mengancam ketahanan nasional meliputi ideologi, politik, ekonomi,
sosial, budaya, pertahanan dan keamanan, serta sektor kehidupan
masyarakat, termasuk pangan, energi, sumber daya alam, dan lingkungan
hidup “ cakupannya sangat luas, tidak jelas tolok ukur dan
batasannya seperti apa, sampai tingkat apa bisa dikatakan mengancam
ketahanan nasional serta siapa yang berwenang menilai dan
memutuskankannya. Maka semuanya akan bergantung pada penafsiran dan
penilaian subyektif penguasa intelijen. Karenanya, UU ini sangat bisa
dijadikan alat kekuasaan untuk memata-matai rakyat dan musuh politiknya
dengan dalih kepentingan nasional. Sikap kritis dan kritik atas
kebijakan pemerintah akan dibungkam dengan dalih menjadi “ancaman”.
Wewenang Badan Intelijen untuk melakukan penyadapan meski dibatasi
harus dengan penetapan Ketua Pengadilan, masih sangat mungkin
disalahgunakan demi kepentingan tertentu. Sebab penyadapan itu hanya
didasarkan pada alasan demi fungsi intelijen dan atas perintah kepala
BIN. Sementara fungsi intelijen itu cakupannya sangat luas. Jadi
penyalahgunaan penyadapan sulit untuk dibuktikan.
Wewenang Badan Intelijen untuk memeriksa aliran dana dan melakukan
penggalian informasi juga sangat membuka terjadinya penyalahgunaan
kekuasaan (
abuse of power), sebab hanya dibatasi alasan demi
fungsi intelijen dan atas perintah kepala BIN. Meski penggalian
informasi tidak boleh dengan melakukan penangkapan dan/atau penahanan,
hal itu tidak bisa mencegah penyalahgunaan. Pada masa orde baru dikenal
istilah penggalian informasi, dimana tersangka dan tahanan kepolisian
“dibon” oleh intelijen untuk digali informasinya (diinterogasi) dan
dikembalikan dalam keadaan babak belur. Bukan tidak mungkin hal itu
akan terulang lagi. Apalagi untuk penggalian informasi itu UU intelijen
mewajibkan penegak hukum membantu intelijen.
UU inteljen ini juga berpotensi mengkrimininalisasi rakyat khususnya
para peneliti dan insan pers, dengan delik kelalaian yang menyebabkan
bocornya rahasia intelijen atau membocokan rahasia intelijen. Hal itu
akan berpotensi membungkam ruang kritik terhadap pemerintah. Ini jelas
menjadi ancaman bagi sikap kritis dan keterbukaan.
Celakanya UU ini tidak mengatur mekanisme pengaduan dan gugatan bagi
individu yang merasa dilanggar haknya oleh kerja-kerja lembaga
intelijen. Sehingga individu rakyat yang merasa dilanggar haknya tidak
bisa mendapatkan keadilan.
Apalagi UU ini tidak memberikan mekanisme kontrol dan pengawasan yang
tegas, kuat dan permanen terhadap semua aspek dalam ruang lingkup
fungsi dan kerja intelijen (termasuk penggunaan anggaran). Akibatnya,
intelijen akan menjadi
“super body” yang tidak bisa dikontrol dan bisa dijadikan alat kepentingan politik status quo.
Dengan demikian UU Intelijen yang sudah disahkan ini sangat mungkin
melahirkan rezim represif. Alih-alih melindungi rakyat, UU justru akan
mengkriminalisasi rakyat yang kritis, mengekang keterbukaan sipil,
melanggar hak privasi rakyat, menjadikan rakyat seolah “musuh”yang harus
diawasi. Tapi ironinya, UU ini terasa sangat tidak sensitif dan begitu
tumpul terhadap ancaman dan pihak asing yang nyata-nyata sangat
merugikan dan menyengsarakan negeri ini dan rakyatnya.
Spirit yang sama juga dimiliki oleh RUU Keamanan Nasional (Kamnas)
yang saat ini dalam tahap pembahasan di DPR. RUU Kamnas di dalamnya
terdapat banyak pasal dan istilah yang multi tafsir, pengertiannya tidak
jelas dan ambigu. UU ini berpotensi merugikan hak dan privasi publik
dan berpotensi digunakan sebagai alat represi Pemerintah.
Misalnya, apa pengertian ancaman keamanan nasional yang cakupannya
bukan saja dalam bentuk militer tetapi juga selain militer (bukan
bersenjata) tidak cukup jelas. Diantaranya, yang diangap ancaman bukan
bersenjata adalah radikalisme dan ideologi asing. Pengalaman sejarah di
masa lalu dimana Pancasila bisa ditafsirkan ke arah kiri seperti pada
masa Orde lama, lalu ke arah kapitalisme seperti ada masa Orde baru dan
tafsir neo liberal pada masa reformasi. Itu artinya kriteria ideologi
asing itu akan bergantung pada corak ideologi penguasa. Itu artinya
siapa saja yang bertentangan dengan ideologi penguasa akan dinilai
sebagai ancaman nasional. Ketika penguasa mengusun ideologi kapitalisme
liberal, maka siapa saja yang mengkritisi atau menentang idelogi
kapitalisme liberal akan bisa dianggap sebagai ancaman nasional dan
karenanya harus ditindak. Padahal selama ini ideologi kapitalisme
liberal itu telah nyata-nyata merugikan negara dan menyengsarakan rakyat
negeri ini.
Ancaman keamanan nasional yang akan dieliminir nantinya bukan saja
yang aktual, tetapi juga yang bersifat potensial. Sementara tolok ukur
dan kriterinya berpotensial itu tidak jelas. Lagi-lagi hal ini akan
bergantung pada penafsiran subyektif penguasa. Itu artinya RUU Kamnas
berpotensi besar dijadikan alat kekuasaan. Dengan kata lain, melalui
RUU ini sangat berpeluang lahirnya tirani baru.
Dalam RUU Kamnas ini yang dikategorikan ancaman bukan saja terhadap
negara dan penyelenggara pemerintahan, tetapi terhadap perorangan atau
kelompok. Artinya bisa saja seseorang atau kelompok akan ditindak secara
hukum bila dianggap telah mengancam seseorang atau kelompok lain, baik
secara aktual maupun potensial. Pasal ini akan memberi ruang yang luas
bagi individu maupun kelompok liberal atau kelompok sesat untuk tetap
eksis dan mengembangkan ajaran mereka asal sejalan dengan keamanan
nasional. Sebaliknya, kalangan muslim yang kritis apalagi melakukan aksi
penentangan terhadap kelompok-kelompok tersebut bisa ditindak secara
hukum karena mengancam seseorang/kelompok lain. Upaya perjuangan umat
untuk menegakkan syariah Islam yang merupakan perintah agama dan
perjuangan umat menentang penjajahan kapitalisme, dengan RUU Kamnas ini
akan dihambat dan dianggap sebagai ancaman. Maka RUU Kamnas ini bila
tidak diwaspadai justru akan melanggengkan penjajahan atas negeri ini.
10. ARAB SPRING, REVOLUSI TIMUR TENGAH DAN KEBANGKITAN ISLAM
Dunia dikagetkan dengan aksi seorang anak muda pedagang bernama
Mohamed Bouazizi yang membakar diri sebagai bentuk protes tindakan
dzalim aparat atas dirinya yang tengah berjualan. Apa yang dilakukannya
menjadi pemicu lahirnya revolusi di Tunisia. Revolusi yang pada akhirnya
menggulingkan Ben Ali, yang telah berkuasa lebih dari 30 tahun. Aksi
bakar diri pemuda ini tidak hanya membakar Tunisia. Apinya menjalar ke
seluruh dunia Arab. Inilah yang kemudian dikenal dengan
Arab Spring,
al-rabi`e al-arabi.
Arab Spring membakar Mesir, lalu Libya. Husni Mubarak dan
Qaddafi jatuh. Revolusi Timur Tengah yang telah mengakibatkan puluhan
ribu tewas itu kini masih terus bergejolak di negara-negara Arab lain,
yakni Yaman dan Suriah. Mungkin akan segera menyusul yang lain.
Sangat kentara bahwa aksi itu, baik yang terjadi di Tunis, Mesir
maupun Libya dan Yaman, pada mulanya bersifat spontan. Hal ini
menunjukkan realitas bahwa telah lenyapnya rasa takut dalam diri
masyarakat terhadap penguasanya. Tindakan represif yang mereka alami
bertahun-tahun lamanya akhirnya mencapai titik kulminasinya. Dan inilah
yang mendorong kekuatan perlawanan.
Jadi, revolusi yang terjadi di Timur Tengah adalah revolusi rakyat.
Bukan revolusi buatan seperti halnya Revolusi Orange di Ukraina dan
Georgia yang bertujuan hanya untuk mengantarkan para politisi antek
Barat pada kekuasaannya. Tokoh jadi-jadian itu muncul dengan menipu
rakyat, mempermainkan perasaannya dan memenuhi beberapa tuntutan rakyat
yang sifatnya sesaat. Revolusi seperti ini hakikatnya adalah revolusi
para oportunis untuk memperkokoh pengaruh negara-negara Barat yang
mendukungnya dengan mengorbankan kepentingan rakyat.
Arah Perubahan dari Arab Spring
Penting untuk menelaah kemana arah perubahan dari Arab Spring ini.
Tumbangnya Zine el-Abidine Ben Ali, Mubarak dan Gaddafi, dan tak lama
lagi mungkin Bashar Assad dan Ali Abdullah Saleh menunjukkan hasil utama
yang diraih dari Revolusi Regional ini, yakni pembebasan dari
otoritarianisme rezim tiran.
Para pengamat Barat selalu memposisikan otoritarianisme vis a vis
demokrasi, sehingga seakan seakan tumbangnya rezim otoriter ini berarti
adalah kemenangan dari demokratisasi. Di sini terlihat bahwa Barat
selalu berupaya mengambil keuntungan dari proses perubahan politik
dimanapun, termasuk di Timur Tengah. Di Mesir misalnya, AS mencoba
mengambil untung ketika ‘terpaksa’ menendang Mubarak, anteknya yang
digulingkan dari pemerintahan. Kemudian para pemimpin Dewan Militer,
yang juga adalah antek AS mulai melakukan pembodohan terhadap rakyat
dengan berbagai cara. Hanya saja rakyat telah menyadari hal itu,
sehingga terus melanjutkan revolusinya dengan menuntut penggulingan
pemerintahan Dewan Militer.
Hal ini juga tampak di Tunisia, karena kekuatan Eropa, dalam hal ini
Inggris dan Perancis, di Tunisia cukup dominan sehingga mereka bisa
mengendalikan pergolakan itu melalui tangan antek-anteknya yang
terlatih, yang menyusup di antara orang-orang yang melakukan perlawanan.
Berikutnya mereka bisa menjaga bangunan rezim untuk menjaga
keberlangsungan pengaruh kekuatan Eropa itu meski disertai sedikit
“operasi artifisial”. Hal yang sama dengan taraf penyelesaian yang
berbeda juga terjadi di Libya, Yaman dan Suriah.
Namun demikian, banyak pihak termasuk PM Israel Benyamin Netanyahu
memprediksi Arab Spring akan berubah menjadi “gelombang Islamis,
anti-Barat, anti-liberal, anti-Israel, dan anti-demokrasi”. Beberapa
indikasi terlihat dengan menguatnya perubahan ke arah Islam. Partai
Islam moderat, Ennahda, memenangkan pemilu di Tunisia. Partai Islam juga
memenangkan pemilu di Maroko. Hal yang sama terjadi di Mesir dimana
Partai Keadilan dan Kebebasan, sayap politik Ikhwanul Muslimin,
memenangi pemilu disana.
Revolusi rakyat yang diberkati ini adalah kesempatan emas untuk
melakukan perubahan radikal. Semestinya tokoh rakyat yang menuntut
perubahan, berjuang terus hingga mereka memegang kendali semua urusan
dan menerima kekuasaan dari rakyat, mengingat bahwa rakyatlah pemilik
kekuasaan yang sebenarnya, dan menundukkan militer pada kekuasaan ini.
Dan menjadikan kekuasaan ini untuk menegakkan perubahan yang hakiki,
yaitu perubahan ke arah Islam.
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Menilik berbagai persoalan yang timbul di sepanjang tahun 2011 sebebagaimana diuraikan diatas, dapat disimpulkan bahwa:
1. Setiap sistem yang tidak bersumber dari Allah SWT, Sang
Pencipta manusia, kehidupan dan alam semesta yang Maha Tahu, pasti akan
menimbulkan kerusakan dan akhirnya tumbang. Rapuhnya kapitalisme dengan
berbagai bentuk kerusakan dan segala dampak ikutan yang ditimbulkannya
berupa kemiskinan dan kesenjangan kaya miskin serta ketidakstabilan
ekonomi dan politik, seperti yang saat ini tengah terjadi di berbagai
belahan dunia adalah bukti nyata. Kenyataan ini semestinya menyadarkan
kita semua untuk bersegera kembali kepada jalan yang benar, yakni jalan
yang diridhai oleh Allah SWT, dan meninggalkan semua bentuk sistem dan
ideologi kufur.
2. Sekuat apapun sebuah rezim yang otoriter, korup, menindas
rakyat dan durhaka kepada Allah SWT, meski telah dijaga dengan kekuatan
senjata dan didukung oleh negara adidaya, cepat atau lambat pasti akan
tumbang dan tersungkur secara tidak terhormat. Jatuhya Ben Ali, Mubarak,
Qaddafi dan mungkin segera menyusul penguasa Syria, Bashar Assad, dan
penguasa Yaman, Ali Abdullah Saleh, serta penguasa lalim di negara lain,
adalah bukti nyata. Kenyataan ini semestinya memberikan peringatan
kepada penguasa dimanapun untuk menjalankan kekuasaannya dengan benar,
penuh amanah demi tegaknya kebenaran, bukan demi memperturutkan nafsu
serakah kekuasaan dan kesetiaan pada negara penjajah. Pembuatan
peraturan perundang-undangan yang bakal membungkam aspirasi rakyat,
seperti UU Intelijen atau RUU Kamnas dan peraturan perundangan serupa di
negeri ini, mungkin sesaat akan berjalan efektif, tapi cepat atau
lambat itu semua justru akan memukul balik penguasa itu sendiri.
3. Oleh karena itu, bila kita ingin sungguh-sungguh lepas dari
berbagai persoalan yang tengah membelit negeri ini seperti sebagiannya
telah diuraikan di atas, maka kita harus memilih sistem yang baik dan
pemimpin yang amanah. Sistem yang baik hanya mungkin datang dari Dzat
yang Maha Baik, itulah syariah Allah dan pemimpin yang amanah adalah
yang mau tunduk pada sistem yang baik itu. Di sinilah esensi seruan
Selamatkan Indonesia dengan Syariah
yang gencar diserukan oleh Hizbut Tahrir Indonesia. Karena hanya dengan
sistem berdasar syariah yang dipimpin oleh orang amanah (Khalifah) saja
Indonesia benar-benar bisa menjadi baik. Dengan sistem ini pula
terdapat nilai transedental (ibadah) dalam setiap aktifitas sehari-hari
yang akan membentengi setiap orang agar bekerja ikhlas, tidak
terkontaminasi oleh kepentingan pribadi, golongan maupun asing. Memiliki
paradigma yang jelas bahwa memimpin adalah amanah dari Allah dan
syariah adalah jalan satu-satunya untuk memberikan kebaikan dan
kerahmatan Islam bagi seluruh alam semesta, sedemikian kedzaliman dan
penjajahan bisa dihapuskan di muka bumi.
Insya Allah